APA kabarnya rencana hydrocracker di Dumai Ketika Presiden
Soeharto dua pekan lalu berkunjung ke Tokyo, rencana investasi
proyek $700 juta yang ingin mengundang swasta Jepang itu memang
dibicarakan. Tapi MITI, Kementerian Industri dan Perdagangan
Internasional Jepang yang berwibawa itu, rupanya keberatan kalau
sebagian dari pembiayaan yang diharapkan datang dari swasta dan
bankir Jepang itu tidak disertai persyaratan jelas "dijamin oleh
pemerintah" alias Bank Indonesia.
Proyek itu sendiri dianggap vital oleh Pertamina. Dengan
hydrocracker, maka LSWR (low sulphur waxy residue) -- bagian
dari hasil kilang-kilang minyak di Riau yang menyuling Minas
crude dan sulit dijual ke Jepang itu sendiri -- akan bisa diolah
di dalam negeri menjadi minyak tanah, solar, minyak pelumas dan
lain-lain. Dir-Ut Pertamina Piet Harjono, atas pertanyaan pers
di Tokyo, mengatakan sesungguhnya jaminan dari pemerintah
Indonesia sudah otomatis ada. mengingat hasil-hasil dari
hydrocracker yang sampai kini harus diimpor, akan bisa dibeli
pemerintah dari dalam negeri sendiri. Dan sebagai garansi pula,
Jepang atau swasta manapun juga disetujui untuk memiliki
saham-sahamnya dalam rencana proyek itu.
Pertanyaan DPR
Tapi agaknya yang dilirik oleh Jepang adalah bidang minyak yang
dipandang kurang risikonya. Selama presiden berada di Tokyo,
Dir-Ut Piet Harjono telah menandatangani persetujuan
bantuan/pinjaman (loan) sebanyak $160 juta untuk embiayai
eksplorasi minyak di empat wilayah Pertamina, mulai dari
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa dan Kalimantan Timur.
Berbeda dengan pencarian minyak di lepas pantai, maka eksplorasi
di 4 wilayah Pertamina itu termasuk "empuk". Selain berada di
daratan, dus bisa lebih banyak menekan biaya eksplorasi, menurut
Piet Harjono, penyelidikan awal yang dilakukan Pertamina
menunjukkan di tempat-tempat tersebut ada persediaan minyak yang
cukup besar.
Alhasil, kalau ternyata nanti ladang-ladang di daratan itu
menyemburkan minyak, pengembalian hutang yang berjangka 6 tahun
itu disertai bunga 6,5%. Tapi yang menarik adalah ini:
pengembalian pinjaman itu tak usah dalam uang tunai, tapi dalam
minyak. Juga pihak Jepang berhak untuk membeli sampai 50% dari
hasilnya dengan harga yang berlaku waktu itu.
Jepang, dalam perjanjian minyak baru itu, juga setuju untuk
meminjami pembiayaan bagi setiap lapangan minyak yang ditemukan
Pertamina. Tapi untuk itu mereka akan menerima suatu bonus 4,7%
dari hasil ladang-ladang minyak yang dibantu Jepang boleh mereka
beli dengan bebas bea (free of charge). Laporan dari koran The
Asian Wall Street Journal di Tokyo itu juga menyebutkan: di
daerah-daerah di mana Pertamina kelak menerima bagian yang cukup
besar, pihak Jepang juga akan menerima 2,5% dari hasilnya secara
cuma-cuma, sebagai imbalan atas bantuan mereka dalam eksplorasi.
Dalam perjanjian itu memang disebutkan bahwa Pertamina-nya
Jepang, yakni Perusahaan Minyak Nasional Jepang (JNOC), akan
mendirikan anak perusahaannya di Indonesia untuk bekerjasama di
bawah pimpinan Pertamina. Beberapa perusahaan Jepang lain
kemungkinan akan diajak serta.
Kerjasama baru itu, oleh beberapa pengamat dianggap merupakan
suaru langkah lain dari sistim 'bagi-hasil' yang kita kenal dan
kini mencapai 85:15 untuk Indonesia. Tidak heran kalau dalam
acara 'dengar-pendapat' dengan Komisi VI DPR pekan lalu, DirUt
Piet Harjono mendapat serangan pertanyaan yang bertubi-tubi.
Mereka umumnya menilai formula baru yang dibuat dengan Jepang --
pembeli terbesar minyak Indonesia itu -- sebagai suatu "langkah
mundur".
Santoso Donoseputro, wakil ketua Komisi VI dari Fraksi PDI
merasa khawatir, bahwa dengan begitu Indonesia "menggadaikan"
ladang minyaknya. Sunario Hadade dari FKP juga merasa waswas,
demikian pula rekan sefraksinya seperti Surardjo dan Jan
Mokoginta serta Suwarno, dari Fraksi Karya juga.
Semua kekhawatiran yang beralasan itu dijawab oleh Piet Harjono
bahwa kendali masih tetap di tangan Pertamina. "Pertamina tak
akan menjual minyak dengan sistim gadai," tapi hak pembelian
hasil produksi yang oleh Piet disebut 40% itu dianggapnya
"justru ingin membatasi Jepang, karena angka 40% itu digunakan
untuk membayar kembali hutang."
Piet juga meyakinkan sidang bahwa Pertamina sendiri pada
prinsipnya ingin menangani sendiri pencarian minyaknya. "Tapi
apa yang bisa diperbuat, bila toh dananya tak ada," katanya.
Bagaimanapun, Indonesia sudah mengikat janji dengan Jepang dalam
suatu formula pinjaman dan bagi-hasil yang baru. Kalangan minyak
Amerika melihat sistim yang baru itu lebih menarik ketimbang
'bagi-hasil' (production sharing) yang sekarang berlaku. Menjadi
pertanyaan: apakah perusahaan minyak asing lainnya juga akan
melamar Pertamina agar diperlakukan seperti dengan Jepang?
Dir-Ut Piet, yang meneken perjanjian itu, belum lagi menerangkan
soal itu.