Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM, agaknya, sedang tidak bersahabat dengan para petani tembakau Kabupaten Jember di Jawa Timur. Akibatnya, mutu tembakau jenis Besuki Na Oogst (TBNO), yang ditanam pada musim tanam pertama awal Juli lalu, anjlok. Padahal, dari 50.000 bal atau kuintal daun tembakau yang telah dipetik itu, diharapkan bisa diperoleh uang sedikitnya Rp 25 milyar. Harga jual TBNO kualitas buruk ini hanya Rp 15 ribu sampai Rp 40 ribu, sedangkan untuk yang berkualitas sedang dan baik bisa mencapai Rp 500 ribu dan Rp 700 ribu per kuintal. "Saya bingung, apa ada yang mau beli tembakau saya ini," keluh H. Soewarno, salah seorang petani dari Desa Ambulu, yang memiliki 2,5 ton TBNO kualitas buruk itu. Keprihatinan Soewarno memang beralasan karena tembakau jenis ini memang tidak laku bila dilempar ke pasaran dalam negeri. TBNO ini khusus untuk konsumsi ekspor sebagai bahan pembuat cerutu, baik pembungkusnya, pembalut, maupun isinya. Karena itu, standar mutunya dijaga ketat. Tembakau jenis ini memang agak rumit cara penanamannya dan amat bergantung pada musim. Lihat saja, tiga hari setelah pembibitan, ia harus disiram hujan, setelah itu petani harus berdoa agar hujan berhenti. Pada usia 30 hari hujan diharapkan turun lagi, lantas "dituntut" setop lagi. Tanaman, kemudian, harus dihujani lagi ketika berumur 40 hari. "'Ndak mungkin kita mengatur hujan menurut kebutuhan tembakau, bukan?" kata Soewarno. Memang ada cara lain untuk menggantikan curah hujan yang tak kunjung turun, umpamanya, dengan cara mengairinya atau di-torap. Tapi penorapan ini, paling tidak, harus dilakukan tujuh kali bila ingin mendapatkan kualitas daun terbaik. Sayangnya, cara ini meminta biaya yang tidak sedikit, sekitar Rp 7.000 tiap kali penorapan untuk seperempat bahu (sekitar 0,165 ha). Kendati 50.000 kuintal TBNO sudah pasti tidak bisa diekspor, Indonesia Tobacco Association (ITA), yang menangani ekspor tembakau Indonesia, masih berharap 70.000 kuintal TBNO yang ditanam pada tahap kedua, Agustus lalu, bisa mencapai kualitas sedang, dan 80.000 kuintal yang ditanam pada tahap ketiga, September kemudian, mampu mencapai kualitas terbaik. "Sekitar 50.000 kuintal TBNO kualitas terbaik saja bisa mencukupi kebutuhan tahun depan," kata H.A. Ismail, Ketua ITA Pusat, kepada Yopie Hidayat dari TEMPO. Meskipun umumnya harga TBNO kualitas sedang dan baik sekitar Rp 500 ribu dan Rp 700 ribu, pada kenyataannya di pasar lelang dunia bisa lebih dari itu. Bahkan, tahun lalu, harga TBNO kualitas baik mencapai Rp 1,5 juta per kuintal. "Memang harga di pasar lelang tembakau, Bremen, tidak bisa diramalkan - sangat tergantung kebutuhan konsumen. Jika ada pabrik yang membutuhkan tembakau tertentu, berapa pun akan dibayarnya," tambah Ismail, sambil tersenyum. Tapi, bagaimana nasib 50.000 kuintal TBNO kualitas buruk yang masih menumpuk di gudang petani? "Kami ini bukan sosiawan, sebab kami juga menggunakan uang bank yang bunganya tinggi. Jadi, tidak mungkin eksportir membeli tembakau yang tidak bisa diekspor. Lagi pula, sekarang kami sedang menunggu panen tembakau yang berkualitas sedang dan baik. Wah, kalau yang berkualitas buruk masuk gudang, yang berkualitas sedang dan baik mau ditaruh di mana?" kata Ismail. Namun, Wakil ITA Jember, Soejitno Ch, berusaha mencarikan jalan keluar dengan mengimbau PT Tjipta Niaga dan PT Pantja Niaga untuk membeli tembakau rakyat yang berlebihan. Hal itu pernah dilakukan pemerintah pada tahun 1979, ketika harga tembakau jatuh, karena panen berlimpah. Sebenarnya TBNO kualitas buruk itu masih bisa dijual untuk sigaret hitam, meskipun makan waktu lebih dari satu tahun. "Habis, kalau tidak begitu, mau dikemanakan tembakau sebanyak itu masa dibuang ke laut?" ujar Soejitno. Erlina Agus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo