Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MINYAK goreng? Menteri Pertanian Achmad Affandi sampai repot harus terbang ke Medan mengecek kelangsungan suplai bahan bakunya, minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil, CPO), langsung di tempat pengapalan di Pelabuhan Belawan. Tapi sampai Kepala Negara meminta agar harganya dikendalikan melalui program stabilisasi, pekan lalu, harga minyak goreng tetap bertengger di ketinggian antara Rp 19.000 dan Rp 23.000 sekaleng atau per 17 kg. Gerakan mulai menarik perhatian, ketika awal Januari itu harga minyak goreng yang terbuat dari kopra mendadak melonjak dari rata-rata Rp 750 jadi Rp 1.000 per kg. Juga minyak goreng Bimoli, yang dibuat dari minyak kelapa sawit mentah, ikut-ikutan naik. Pada hari-hari berikutnya, kenaikan ini makin menggila, hingga harga minyak goreng berbahan baku kopra dan minyak sawit hampir sama: Rp 1.300 per kg di pelbagai kota besar. Kenaikan itu, menurut seorang pejabat, berpangkal pada tidak terjaganya kelangsungan suplai dan tata niaga bahan bakunya, terutama kopra, dari tempat produksi di luar Jawa ke tempat pengolahan di Jawa. Tapi, jika biasanya kesulitan seperti itu cepat diatasi dengan suplai minyak kelapa sawit mentah, kali ini sejumlah pabrik di Jawa tetap mengeluh kekurangan bahan baku pengganti itu. Bahkan sejak Desember 1983, ada 11 pabrik minyak goreng di Sumatera Utara terpaksa mengaso karena tidak kebagian bahan baku. Kenyataan seperti itu tentu membingungkan. Sebab, menurut Menteri Pertanian Affandi, pihak Kantor Pemasaran Bersama Perkebunan Negara di Medan ketika itu sudah mendrop 7.100 ton minyak sawit mentah ke pelbagai pabrik di Jawa. Rencana suplai sampai akhir Januari, katanya, akan mencapai 52.000 ton lebih. Tapi, ketika Departemen Perdagangan mengecek langsung ke tempat penerimaan, jumlahnya jauh di bawah angka itu. Menurut laporan wartawan TEMPO di Medan, Monaris Simangunsong, jumlah pengiriman dari Deli Tank Installation (DTI) Medan, milik Kantor Pemasaran Bersama (KPB), sampai 20 Januari ternyata baru 10.000 ton. Dalam situasi kusut seperti itu, Menteri Affandi diam-diam, 21 Januari, terbang ke Medan meninjau langsung l)TI Belawan, yang mampu menimbun 150.000 ton minyak sawit mentah. Di sana, sekitar 15 menit, Menteri berbieara dengan sejumlah pejabat. Sesudah menerima berkas-berkas laporan Affandi segera bergegas menuju bandar udara Polonia. Ketika dicegat sejumlah wartawan, Menteri Affandi hanya menjawab pendek, "Sebenarnya, tidak ada masalah dengan penyediaan minyak sawit mentah. Sekarang persediaan cukup banyak." Persediaan tentu saja boleh banyak. Tapi apakah minyak kelapa sawit mentah yang diterima DTI Tanjungpriok dan Tanjungperak (Surabaya) sesuai dengan jumlah pengiriman? Sejumlah kalangan mencurigai bahwa penenmaan di kedua tanki penyimpanan sementara itu, sebelum akhirnya didistribusikan ke 22 pabrik pengolahan minyak goreng di Jawa, tak sesuai dengan angka pengiriman. Menurut sejumlah nakoda kapal tanker pembawa minyak sawit mentah itu, sudah bukan rahasia lagi jika di tengah perjalanan, ribuan ton bahan baku tadi dibongkar, lalu diam-diam diangkut dengan kapal lain ke Singapura. Di negara itu, minyak sawit mentah yang dibeli Rp 295 bisa dilego Rp 700 per kilo. Banyaknya penyelewengan, dan tingginya perbedaan harga lokal dengan harga di luar negeri, akhirnya memaksa pemerintah bertindak realistis: harga minyak sawit mentah eks Belawan dinaikkan, dari Rp 295 jadi Rp 425, berlaku surut I Januari. Jika bahan baku tadi diekspor, dikenai pajak 5%, plus pajak ekspor tambahan 37,18%. Bentuk terurainya, seperti crude stearin atau refined bleached deodorized stearin, kena pula pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan cukup tinggi. Melalui rentetan kebijaksanaan itu, harga minyak sawit mentah eks Belawan jatuhnya sekitar Rp 605, hampir sama dengan di Singapura. Tambahan devisa cukup lumayan tentu diharapkan akan mengalir dengan perubahan harga itu. Tapi usaha pemerintah memperoleh tambahan devisa dari sini "dirongrong" meningkatnya permintaan industri minyak goreng dalam negeri. Akibatnya, ekspor minyak sawit mentah Januari-Oktober 1983, baru mencapai 283.000 ton (US$ 88 juta), jauh dibandingkan dengan prestasi puncak 1979 yang 438.000 ton (US$ 254 juta). Belum jelas benar berapa jumlah minyak sawit mentah yang akan diekspor tahun ini. Dari kekuatan produksi yang diperkirakan akan mencapai 970.000 ton, kebutuhan industri minyak goreng lokal ditaksir berjumlah sekitar 700.000 ton. Tapi, kata sebuah sumber, sering terjadi kctidakberesan dalam pengaturannya. Grup pabrik minyak goreng tertentu, menurut sumber itu, tahun lalu mendapat jatah lebih dari kapasitas terpasang. Tak jelas dikemanakan kelebihan jatah itu. Tapi seorang pejabat, yang turut dalam penentuan alokasi itu, merasa tak bisa berbuat banyak dengan penetapan yang didasarkan pada laporan angka kapasitas pabrik. "Siapa yang main bisa diusut sendlri - saya 'kan tinggal teken saja," kata pejabat tinggi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo