Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Buruh dan organisasi serikat buruh pada hari ini berdemonstrasi di Kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat. Mereka membawa tiga tuntutan yakni mencabut omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Kesehatan, serta menaikkan upah minimum 2024 sebesar 15 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Partai Buruh dan Konsfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan pihaknya akan melakukan mogok nasional juga tuntutannya tidak didengar. “Kami akan melawan, kami persiapkan mogok nasional 5 juta buruh, pada waktu dekat ini, Agustus atau September bilamana aksi kita tidak didengar,” ujar Said Iqbal di sela-sela aksi pada Rabu, 26 Juli 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Said Iqbal, dalam mogok nasional itu, akan ada sekitar 100 ribu perusahaan yang berhenti produksi. Selain itu, para buruh akan mengepung pelabuhan, serta jalan raya yang merupakan akses truk.
“Karena kita telah dirugikan dengan omnibus law UU Cipta Kerja, outsourching seumur hidup ditambah lagi UU Kesehatan soal urun bayar dan kenaikan iuran,” tutur Said Iqbal.
Dia menjelaskan bahwa Partai Buruh menjadi satu-satunya partai politik yang mengajukan uji formil UU Cipta Kerja. Selain mendesak agar UU Cipta Kerja dicabut, Partai Buruh dan KSPI juga mendesak agar upah minimum tahun 2024 naik 15 persen berdasarkan pada survei lapangan kebutuhan hidup layak (KHL), juga didasarkan pada makro ekonomi, inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.
Awal tahun lalu, kata Said Iqbal, pemerintah menerbitkan Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 yang memperbolehkan perusahaan memotong upah 25 persem. Sehingga kenaikan upah minimum sebesar 15 persen diharapkan bisa mengembalikan daya beli buruh yang turun tersebut.
Sedangkan terkait dengan UU Kesehatan, Partai Buruh dan KSPI memandang beleid ini mengancam sistem jaminan sosial nasional, khususnya terkait dengan jaminan Kesehatan. Di mana program jaminan kesehatan bersifat spesialis, tetapi kemudian dijadikan generalis melalui omnibus law UU Kesehatan.
Selain itu, buruh juga mempermasalahkan perubahan mandatory spending menjadi money follow program. Jika menggunakan kebijakan mandatory spending, maka seluruh biaya ditanggung oleh BPJS. Tetapi jika kebijakan money follow yang digunakan, akan terjadi co-sharing atau urun bayar antara pasien dengan BPJS Kesehatan.
"Kalau sekarang semua dibiayai oleh BPJS. Tetapi dengan UU Kesehatan, ada urunan bayar. Misal, operasi jantung biayanya Rp 100 juta. Bisa jadi pasien diminta membayar Rp 50 juta sedangkan Rp 50 jutanya dibayar BPJS, Ini akan merusak sistem jaminan sosial," tutur Said Iqbal.