Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Jontor Akibat Kuota Hortikultura

Pemerintah mencabut lagi syarat dokumen pembagi kuota dan persetujuan impor buah-sayuran segar. Kental aroma persaingan.

18 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RATUSAN kontainer berukuran 40 feet itu tertumpuk di Blok B dan C lapangan milik PT Terminal Petikemas Surabaya di Pelabuhan Tanjung Perak, Rabu pekan lalu. Beberapa kali alat pengangkut sibuk memindahkan peti kemas dari satu blok ke blok lain. Hilir-mudik trailer makin hibuk di area terminal seluas 49 hektare tersebut.

Sejak awal November, penumpukan di pelabuhan yang dibangun satu abad silam itu mulai terjadi. Hingga pekan lalu, 623 kontainer terparkir di lapangan penampung. Muchammad Solech, juru bicara Terminal Petikemas, mengatakan, dari 634 sambungan listrik di lapangan, yang tersisa hanya 11 unit. "Colokan listrik dipakai kontainer yang memerlukan pendingin," katanya kepada Tempo.

Peti kemas bermuatan 20-25 ton itu tertahan di pelabuhan lantaran pemiliknya belum mengantongi rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian dan persetujuan impor (PI) dari Kementerian Perdagangan. Dua syarat baru itu berlaku sejak 28 Oktober lalu, dan ditetapkan melalui peraturan Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan dengan tujuan melindungi komoditas hortikultura dalam negeri.

Beleid pembatasan impor digodok sejak November dua tahun lalu melalui Undang-Undang Nomor 13 tentang Hortikultura. Sejak itu, beragam aturan dibuat, meski kedua kementerian berulang kali merevisi. Pembatasan mulai diberlakukan dengan mengatur pintu masuk komoditas impor terlebih dulu.

Pemerintah memutuskan produk hortikultura, kecuali yang berasal dari Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, dan Australia, dilarang masuk lewat Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Keempat negara tersebut mendapatkan keistimewaan karena mengantongi sertifikasi pemerintah (country recognition agreement), yang artinya sistem budi daya hortikultura dinilai lulus uji dan bebas penyakit.

Belakangan aturan ini direvisi dengan memperbolehkan 47 komoditas dari semua negara masuk lewat Tanjung Priok. Komoditas tersebut mayoritas didatangkan dari Cina dan Thailand, di antaranya durian, lengkeng, nanas, wortel, kecambah, kentang, dan kubis.

Pada September lalu, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian beriringan menerbitkan aturan yang berkaitan. Isinya, impor hortikultura harus dilengkapi dokumen persetujuan impor. Syarat untuk mendapatkan persetujuan, importir harus mengantongi RIPH dari Kementerian Pertanian.

RIPH merupakan cara pemerintah membagi kuota kepada importir untuk membendung banjirnya impor buah dan sayur, yang mencapai Rp 308 miliar per bulan. Jumlah ini diprediksi meningkat karena konsumsi buah masyarakat baru 40 kilogram per kapita, jauh dari standar yang ditetapkan Organisasi Pangan Dunia (FAO) sebesar 65,75 kilogram per kapita per tahun.

Rekomendasi itu berisi izin untuk satu perusahaan dan satu komoditas dari satu negara asal. Kuota akan dikocok ulang setiap tiga bulan sekali. Pada periode awal ini, jatah kuota diberikan dengan masa berlaku sampai 23 Desember mendatang.

Penentuan kuota ditentukan oleh tim RIPH yang dibentuk Menteri Pertanian Suswono. Mahfuddin, Direktur Pemasaran Domestik Kementerian Pertanian sekaligus anggota tim RIPH, mengatakan kuota tidak akan diberikan untuk jenis komoditas yang sedang memasuki­ masa panen di dalam negeri. Sedangkan untuk komoditas yang diizinkan, kuotanya mengacu pada jumlah impor tahun lalu per tiga bulan.

Formula penetapan kuota, menurut Mahfudgin, dengan mengurangi total impor tahun sebelumnya sebesar paling sedikit 20 persen. Hasil pengurangan dibagi jumlah importir pemohon. "Semangatnya adalah melindungi produk lokal," katanya.

Data Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo) menyebutkan impor buah dan sayuran mencapai 3.000-5.000 kontainer ukuran 40 feet setiap bulan. Bob Budi Budiman, Wakil Ketua Gisimindo, mengatakan, akibat peraturan itu, banyak anggota kelompoknya yang menggeber kerja melengkapi dokumen. "Karyawan saya lembur terus," katanya. Bob mengatakan ratusan kontainer milik anggotanya tertahan di Tanjung Priok dan Tanjung Perak.

Keluhan serupa disampaikan Kafi Kurnia, Ketua Umum Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar. Dia menyebutkan 183 kontainer anggota asosiasi tertahan di berbagai pelabuhan. Perinciannya, 3 kontainer tertahan di Belawan, 60 kontainer di Tanjung Priok, dan 120 kontainer di Tanjung Perak. "Diprediksi jumlah yang tertahan lebih daripada yang dilaporkan," katanya.

Bob menilai tertahannya ratusan kontainer karena pemerintah tidak siap dengan aturan yang dibuat sendiri. Akibatnya, ongkos sewa kontainer dan sewa lahan parkir membengkak. Bob menghitung ongkos operasional satu kontainer mencapai Rp 2 juta per hari.

Kerugian lain ialah ancaman pembusukan. Banyaknya kontainer yang masuk ke Tanjung Perak tidak diimbangi dengan infrastruktur, misalnya sambungan listrik yang cukup. Setrum diperlukan untuk menghidupkan mesin pendingin. "Pakai mesin pendingin saja bisa busuk, apalagi tidak," ujarnya. Baik Bob maupun Kafi belum menghitung kerugian terhadap ancaman pembusukan. "Kami belum bisa menghitung karena barang masih tertahan."

n n n

Laporan mengenai banyaknya kontainer yang tertahan di pelabuhan membuat gerah sejumlah pejabat di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Mereka khawatir hal itu membuat harga produk melambung di pasar. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pun lempar handuk. Syarat importir harus mengantongi persetujuan impor dicabutnya pada Senin pekan lalu.

Menteri Pertanian Suswono menanggapi­ dengan menerbitkan surat susulan, dua hari setelah Gita mencabut aturan. Surat tersebut berisi restu kepada importir untuk mengambil kontainernya tanpa dokumen rekomendasi. Toleransi ini diberikan untuk komoditas yang tiba sebelum 28 November. Kendati demikian, keduanya tetap membubuhkan perintah bahwa importir harus mengurus RIPH dan persetujuan impor hingga 31 Desember mendatang.

Pencabutan itu dilatarbelakangi oleh aturan yang berbeda di kedua kementerian. Pekan lalu, RIPH yang diserahkan importir ke Kementerian Perdagangan mencapai 1.873 dokumen. Kondisi tersebut membuat Deddy Saleh, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, meradang. "Saya bisa jontor meneken ribuan RIPH. Dan satu RIPH harus saya teken empat kali," katanya.

Deddy menyoroti sistem yang berbeda antara instansinya dan Kementerian Pertanian. Menurut dia, sebaiknya satu perusahaan mendapatkan satu berkas persetujuan, bukan puluhan lembar. "Ada satu perusahaan memiliki 95 dokumen RIPH." Meski mengeluh, Deddy menyatakan telah mengeluarkan persetujuan impor untuk 1.700 rekomendasi.

Kalangan importir yang dikomando Bob dan Kafi tersenyum lebar atas pencabutan itu. Kedua kelompok yang menyatakan menguasai importir hortikultura ini sama-sama tidak puas atas kuota yang dikeluarkan Kementerian Pertanian pada periode awal. "Kuota diberikan tanpa formula yang tepat," kata Kafi. Kabar tentang pencabutan syarat telah santer terdengar di kalangan mereka sejak dua pekan lalu.

Dengan pencabutan tersebut, keduanya bakal bersaing lagi mendapatkan kuota yang lebih besar pada awal tahun depan. Tanpa menyebut jumlah kuota, kelompok Bob mengaku mengantongi kuota paling banyak. Klaim itu diakui Kafi. "Ya, mereka lebih banyak," katanya. Baik Bob maupun Kafi mengatakan mengetahui cara mendapatkan kuota lebih besar. Caranya? "Kami punya ‘dewa’ yang ampuh," kata Bob sambil menyebut nama tokoh berpengaruh di balik sang menteri.

Akbar Tri Kurniawan, Rosalina (Jakarta), David Priyasidharta (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus