Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jurus Baru Menjaga Rupiah

Pemerintah berencana merevisi PP tentang devisa hasil ekspor untuk menjaga stabilitas rupiah.

14 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Revisi tersebut antara lain meliputi jumlah devisa yang harus ditahan, jangka waktunya, serta sektor yang tercakup dalam ketentuan ini.

"Dalam kondisi ketidakpastian global dan ancaman resesi, diperlukan stabilitas makroekonomi dan cadangan devisa yang cukup untuk menjaga rupiah," ujar Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, kepada Tempo, kemarin, 13 Januari. Ia mengatakan kebijakan itu ditempuh lantaran cadangan devisa Indonesia pada tahun lalu terus menurun, padahal neraca perdagangan mencetak surplus selama 31 bulan berturut-turut.

Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 21,62 miliar pada 2021, US$ 35,34 miliar pada 2021, dan US$ 50,59 miliar sepanjang Januari-November 2022. Khusus untuk ekspor manufaktur, Badan Pusat Statistik (BPS) menaksir, hingga akhir 2022, nilainya akan mencapai US$ 210 miliar. Sedangkan nilai ekspor kumulatif Januari-November 2022 sebesar US$ 268,18 miliar. Artinya, nilai ekspor sektor manufaktur sangat mendominasi ekspor.

Adapun cadangan devisa sempat mencapai puncaknya pada September 2021 sebesar US$ 146,9 miliar. Setelah itu, cadangan devisa terus melorot hingga ke titik terendah US$ 130,2 miliar pada Oktober 2022. Cadangan devisa baru meningkat lagi pada November dan Desember 2022, masing-masing senilai US$ 134 miliar dan US$ 137,2 miliar.  Sementara kurs rupiah terhadap dolar AS melemah dari kisaran 14.200/dolar AS di awal Januari 2022, menjadi kisaran 15.100/dolar AS dalam perdangangan kemarin.   


Tidak Ada Aturan untuk Menahan DHE

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) dan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Desember 2022. ANTARA/Sigid Kurniawan

Iskandar menuturkan situasi tersebut terjadi karena PP Nomor 1 Tahun 2019 hanya mengatur devisa hasil ekspor (DHE) dari sumber daya alam hanya wajib masuk ke sistem keuangan Indonesia. Namun tidak ada aturan yang menahan dana tersebut di dalam negeri dalam jangka waktu tertentu. Artinya, eksportir tidak wajib mengkonversi DHE ke rupiah, yang berimplikasi dolar AS tersebut tidak dijual di dalam negeri. "Dolar AS itu bisa dibawa kembali ke luar negeri, ditempatkan di luar," ujar Iskandar.

Ia mengatakan pemerintah belajar dari Thailand yang mewajibkan eksportir mengkonversi DHE ke baht, dan paling cepat bisa digunakan lagi setahun setelahnya. Apabila dana digunakan sebelum waktu yang ditentukan, akan dikenai potongan atau penalti. Dengan demikian, otoritas moneter setempat bisa memperkuat cadangan devisa. "Thailand mempunyai cadangan devisa besar saat ada guncangan ekonomi," tutur Iskandar.

Dia menambahkan, saat ini Indonesia telah memiliki landasan hukum yang kuat untuk menata ketentuan DHE, yakni Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Aturan tersebut menyatakan Bank Indonesia berhak mengatur penerimaan dan penggunaan devisa hasil ekspor untuk mempertahankan stabilitas makroekonomi dan moneter.

Kendati demikian, ia menegaskan bahwa hal itu bukan berarti Indonesia kini menganut rezim kontrol devisa. "Ini untuk ketahanan ekonomi, bukan kontrol devisa, melainkan melihat stabilitas makro keseluruhan," kata Iskandar. Ketentuan tersebut juga akan menguntungkan pengusaha yang hendak berinvestasi karena adanya kepastian nilai tukar.

Rencana revisi PP Devisa Hasil Ekspor disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto setelah rapat bersama Presiden Joko Widodo pada Rabu, 11 Januari lalu. Ia mengaku mendapat arahan dari Presiden untuk memperbaiki aturan DHE dengan menambah industri manufaktur sebagai sektor yang wajib memarkir devisanya di dalam negeri. Selain itu, jumlah devisa dan jangka waktu parkirnya akan diatur.

"Sekarang Bank Indonesia hanya mencatat (lalu lintas devisa). Dalam revisi PP Nomor 1 Tahun 2019, akan kami atur supaya devisa itu masuk dulu untuk memperkuat," ujar Airlangga. Rincian revisi tersebut, ia mengimbuhkan, akan dibicarakan bersama berbagai kementerian terkait dan Bank Indonesia.

Petugas merapikan uang dolar Amerika Serikat pecahan 100 dan uang rupiah pecahan 100 ribu di tempat penukaran valuta asing di Kuningan, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan


Pembicaraan mengenai kebijakan DHE sudah dilakukan Presiden Joko Widodo sejak akhir tahun lalu. Menteri Airlangga kala itu, salah satunya, menyarankan perbankan memberikan suku bunga spesial bagi eksportir yang menempatkan DHE di dalam negeri. Insentif itu sebagai solusi atas banyaknya eksportir yang hanya sebentar menempatkan devisanya di Indonesia, sebelum memindahkan dananya ke perbankan di luar negeri.  

Seiring dengan kebijakan suku bunga tinggi di Amerika Serikat, aliran modal berbondong-bondong keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketika aliran modal keluar, tekanan pun terjadi terhadap nilai tukar. Saat itulah Bank Indonesia bekerja mengintervensi pasar untuk menjaga nilai tukar. Dalam setiap intervensi tersebut, cadangan devisa Indonesia pun terkuras.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia, Benny Soetrisno, mengimbuhkan, selama ini dolar AS hasil ekspor tidak lama tinggal di dalam negeri karena instrumen penyimpanan dolar AS di dalam negeri kalah bersaing dengan negara tetangga, seperti Singapura. Sebagai contoh, Lembaga Penjamin Simpanan hanya menjamin simpanan valas dengan bunga kurang dari 2 persen. Bunga simpanan dolar AS di perbankan juga dianggap masih kalah dibanding negara tetangga.

Di samping itu, Benny juga menyoroti rencana pemerintah menambah industri manufaktur sebagai sektor yang wajib memarkir DHE di dalam negeri. Musababnya, setiap sub-sektor di industri manufaktur memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menahan DHE di dalam negeri karena siklus perdagangan industri manufaktur berbeda-beda.

Hal ini berbeda dengan industri ekstraktif yang hampir semua bahan bakunya berasal dari dalam negeri. Karena itu, sektor ekstraktif semestinya bisa menjaga DHE lebih lama di dalam negeri. "Pada dasarnya, kami setuju. Namun harus dikaji dengan para pemangku kepentingan supaya bisa memberikan nilai kompetitif, bukan sebaliknya," kata Benny.

Adapun Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memperkirakan perluasan cakupan kewajiban DHE bagi sektor manufaktur dapat mendorong stabilitas nilai tukar rupiah, sejalan dengan terjaganya pasokan dan permintaan valas di dalam negeri. "Dengan aturan ini, likuiditas valas di perekonomian akan cukup sehingga stabilitas nilai tukar rupiah dapat terjaga," kata Josua.

Meski demikian, ia menilai aturan DHE ini perlu mendapat dukungan dari Bank Indonesia dengan melakukan operasi moneter valas. Hal itu dapat berimplikasi pada potensi perbankan nasional menawarkan tingkat suku bunga deposito valas yang kompetitif. Dengan begitu, para eksportir dapat menempatkan DHE pada perbankan nasional.

Apabila dua regulasi tersebut dapat diimplementasikan, ia mengatakan, para pelaku ekspor juga mendapat insentif lebih untuk menempatkan dananya di dalam negeri. "Dukungan BI melalui aturan tersebut juga dapat mendorong keberlanjutan insentif bagi para eksportir dalam jangka panjang," ujar Josua.

Catatan lainnya, ia menyarankan pemerintah tidak terlalu ketat dalam mengatur jangka waktu parkir DHE serta besarannya. Sebab, para pelaku ekspor tetap membutuhkan dolar AS untuk berekspansi ataupun membeli barang baku.

Selain itu, pemerintah diminta memperhatikan dampaknya terhadap iklim usaha secara umum. "Apabila pemerintah terlalu ketat dalam pelaksanaan DHE, investor-investor yang berfokus dalam rantai pasok global tidak akan terlalu tertarik berinvestasi di Indonesia," kata dia. 

CAESAR AKBAR | FAJAR PEBRIANTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus