Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kinerja perdagangan Indonesia sepanjang 2021 tak lepas dari siklus super komoditas.
Surplus neraca perdagangan 2021 mencapai rekor tertinggi sepanjang 15 tahun terakhir.
Kementerian Perdagangan berupaya menambah volume ekspor produk manufaktur.
JAKARTA – Capaian fantastis kinerja perdagangan Indonesia sepanjang 2021 tak lepas dari siklus super komoditas (commodity supercycle), yaitu periode ketika harga komoditas naik dalam waktu panjang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca dagang mencetak rekor tertinggi sepanjang 15 tahun terakhir. Surplus neraca perdagangan sepanjang 2021 mencapai US$ 35,34 miliar (sekitar Rp 506 triliun).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan Muhri, menyadari ada kecenderungan pergerakan harga komoditas bakal terkoreksi pada tahun ini karena fenomena commodity supercycle tidak mungkin berlangsung permanen. “Strategi kami supaya tidak terjebak fenomena commodity supercycle adalah menambah volume produk manufaktur karena harga produk manufaktur relatif stabil,” ujar Kasan kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Kasan, harga komoditas memang memberikan kontribusi besar bagi ekspor sepanjang 2021. Namun, ia menilai, kontribusi komoditas primer terhadap ekspor nasional telah menurun dibanding pada 2011. Waktu itu, kata dia, kontribusi manufaktur hanya 34 persen dari total nilai ekspor sebesar US$ 203,5 miliar. Sementara itu, sebanyak 66 persen nilai ekspor dikuasai komoditas primer. “Pada tahun lalu, kontribusi komoditas primer sudah turun menjadi 52 persen. Adapun ekspor manufaktur berkontribusi 48 persen,” ujar Kasan.
Pemerintah telah memutuskan perpanjangan penerapan insentif pajak penjualan barang mewah untuk mobil baru. Kasan mengungkapkan kenaikan penjualan domestik setelah insentif itu akan diikuti oleh kenaikan ekspor otomotif. Dengan demikian, ekspor produk manufaktur lain juga akan digenjot. “Sebab, kalau hanya menggenjot volume komoditas primer, saat harga turun, nilai ekspor ikut turun,” ucap dia.
Pekerja menyelesaikan perakitan mobil di Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dok. TEMPO/Sadika Hamid
Kasan mencatat ada beberapa produk manufaktur yang nilai ekspornya masih bisa didorong. Potensi itu terlihat dari masih minimnya kontribusi ekspor Indonesia di pasar global. Contohnya pangsa pasar produk tekstil Indonesia di dunia baru 1,7 persen; logam 2 persen, kertas 2,8 persen; alas kaki 3,9 persen; serta furnitur 2,4 persen. Adapun pangsa pasar otomotif Indonesia baru 0,5 persen dari potensi pasar sebesar US$ 1,2 triliun.
Kasan mengimbuhkan, produk elektronik Indonesia baru menguasai pangsa pasar sebesar 0,3 persen atau US$ 10,8 miliar dari potensi pasar ekspor US$ 3,6 triliun. Kalau bisa menaikkan pangsa pasar hingga 0,5 persen saja, Kasan mengatakan, Indonesia bisa mendapat nilai ekspor US$ 18 miliar. “Kita bisa berfokus memperluas pasar ekspor produk non-komoditas primer yang sudah eksis untuk mengkompensasi harga komoditas yang diprediksi tidak akan bertahan tinggi.”
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid, mengatakan Kadin tengah menggenjot pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk meningkatkan ekspor. Arsjad berujar Kadin bersama atase perdagangan dan Indonesian Trade Promotion Center membangun gudang produk di negara yang telah menjalin kerja sama perdagangan dengan Indonesia. “Supaya semua perusahaan bisa menggunakan apa yang sudah ditandatangani dalam perjanjian antara Indonesia dan negara tersebut,” kata Arsjad.
Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Muhammad Ikhsan, menilai momentum kenaikan nilai ekspor harus tetap bisa dijaga di tengah potensi penurunan harga komoditas pada tahun ini. Hal itu dinilai penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, cadangan devisa, kemampuan mengimpor bahan baku, dan pendapatan pajak pemerintah. Menurut Ikhsan, perdagangan jangan hanya mengandalkan komoditas primer, seperti batu bara ataupun minyak sawit mentah (CPO).
Pekerja menyelesaikan pembuatan sepatu yang akan diekspor di pabrik sepatu Fortune Shoes, Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 2021. TEMPO/Prima Mulia
Dia menjelaskan, pasar terbesar ekspor Indonesia saat ini adalah Cina. Apabila ada perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara itu, rantai pasok global bakal terganggu. Karena itu, Ikhsan mengatakan, perlu ada diversifikasi ekspor. Ia mengatakan penetrasi ekspor otomotif ke pasar Asia Tenggara merupakan contoh keberhasilan diversifikasi ekspor.
Selain industri otomotif, Ikhsan berujar, masih banyak sektor industri Indonesia yang bisa dikembangkan. Menurut dia, sektor pertanian masih memiliki ruang untuk mengejar nilai tambah. Dia mengatakan saat ini permintaan produk organik di pasar global sedang tinggi. “Ini yang perlu dikembangkan di sektor pertanian,” ujar Ikhsan.
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, berpendapat pemerintah juga perlu meningkatkan peran produk berteknologi tinggi terhadap total ekspor. Pangsa pasar produk ini perlu naik lebih tinggi dari posisi saat ini, yang masih 8 persen. Sementara itu, di negara lain, seperti Malaysia dan Thailand, pangsa pasarnya sudah mencapai 54 dan 28 persen.
Bhima mengungkapkan pengembangan ekspor produk teknologi membutuhkan dukungan ekosistem kawasan industri yang memadai dan sumber daya manusia yang berkualitas, serta perlindungan terhadap hak cipta di pasar internasional. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan penghiliran industri dari produk komoditas. “Penghiliran memberikan stabilitas harga jual produk, tapi insentif bagi penghiliran masih terlalu kecil dan dukungan pemda juga masih rendah.”
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo