Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATA Gerardus menerawang. Karyawan Grup Kalimanis itu pening memikirkan peruntungan keluarganya yang sedang gulita. Sudah sejak Agustus ia tak mendapat gaji dari perusahaan tempatnya bekerja, padahal kebutuhan untuk makan dan sekolah tak bisa dikompromikan. "Utang sudah menumpuk hanya untuk makan," ujarnya, lesu.
Nasib lebih buruk dialami beberapa rekan kerjanya. Ada yang terpaksa hengkang dari rumah kontrakan karena tak mampu membayar sewa. Kini mereka menumpang di rumah teman yang lain. Anak-anak mereka terancam putus sekolah karena beberapa bulan tak membayar iuran.
Tak tahan dengan penjelasan yang berbelit dari pihak perusahaan, medio November lalu sekitar 300 orang dari total 6.000 karyawan Grup Kalimanis menggelar unjuk rasa di kantor DPRD Kalimantan Timur. Mereka menuntut agar perusahaan segera membayar gaji yang sudah tiga bulan tertunda, plus memberi tunjangan hari raya.
Tuntutan yang disertai aksi menginap di kantor parlemen daerah itu akhirnya membuahkan hasil. Setelah lima hari berunding, pihak perusahaan yang diperantarai Andi Darussalam Tabussala—komentator sepak bola yang dikenal sebagai tangan kanan bos Kalimanis, Mohamad "Bob" Hasan—untuk sementara menyanggupi membayar satu bulan gaji dulu, ditambah THR. Sisa gaji yang dua bulan akan dibicarakan kemudian. Kendati tak sepenuhnya puas, para karyawan menerima kesepakatan tersebut.
Apa yang terjadi pada perusahaan yang menjulang di bawah kendali Bob Hasan itu? Rupanya kini bendera Kalimanis, yang memiliki lima anak perusahaan —PT Kalimanis Plywood Industries, PT Santi Murni Plywood, PT Kalhold Utama, PT Kalimanis Plywood Industries, dan PT Kiani Lestari—tak lagi berkibar gagah seperti dulu. Izin PT Kiani Lestari beberapa waktu lalu bahkan sudah dicabut oleh Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Departemen Kehutanan, Suharyanto. Belum cukup, Kiani juga harus segera mengembalikan pinjaman dana reboisasi yang pernah diterimanya.
Wahyudi Manaf, salah seorang Direktur Grup Kalimanis, mengaku perusahaannya sedang dirundung masalah. Produksi perusahaan dalam beberapa bulan terakhir terus mengalami penurunan. Penyebabnya, merosotnya permintaan kayu di pasar luar negeri. Namun alasan itu ditolak para karyawan. "Produksi tiap hari lancar. Bohong kalau katanya produksi kayu turun," ujar Gerardus, yang menjadi koordinator unjuk rasa para karyawan.
Tampaknya argumen karyawan lebih bisa dipercaya. Alasan turunnya permintaan kayu di pasar internasional patut dipertanyakan karena, menurut data, permintaan kayu olahan di pasar internasional kini justru sedang tinggi-tingginya. Harga kayu pun—terutama kayu lapis—terdongkrak hingga rata-rata US$ 300-340 per meter kubik, naik dari harga terendah dua tahun lalu yang cuma US$ 200 per meter kubik.
Saat itu harga kayu terpuruk lantaran terjadinya penyelundupan kayu secara besar-besaran dari Indonesia. Kayu yang ditebang secara liar itu biasanya diselundupkan ke Malaysia. Di sana, pengusaha negeri jiran itu akan membeli kayu tersebut dengan harga murah dan kemudian melemparnya ke pasar internasional dengan harga obral. Pencurian kayu telah menyebabkan produksi kayu nasional menyusut dari 12 juta meter kubik menjadi 6,5 juta meter kubik.
Alhamdulillah, kondisi itu sekarang berangsur-angsur mulai reda. Penyebabnya, menurut bos PT Sumber Mas Group, Yos Soetomo, negara-negara importir pada dasarnya tetap mengakui kualitas kayu olahan produksi Indonesia. Dengan pendekatan yang baik, mereka kini kembali membeli kayu dari Indonesia. Sumber Mas, misalnya, sekarang mendapat kepercayaan mengekspor kayu olahan ke Jepang sebanyak 25 ribu meter kubik per bulan. Harganya pun cukup menggiurkan. "Sekitar US$ 400 per meter kubik," kata Yos sambil tersenyum. Selain Jepang, Sumber Mas masih mengekspor sebagian kecil kayu ke Cina.
Sumber Mas tidak sendirian. Perusahaan-perusahaan kayu yang lain kini juga sedang kebanjiran pesanan. Dan mereka rata-rata menikmati keuntungan yang menggiurkan. Saat ini, menurut data di lapangan, seperti dikatakan oleh Nursyirwan Ismail, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kalimantan Timur, semua perusahaan kayu di Kalimantan Timur masih terus berproduksi secara normal. Mereka sibuk memenuhi pesanan dari 56 negara yang rutin membeli kayu dari Kalimantan Timur.
Jadi, sementara perusahaan kayu lain sedang berpesta-pora, aneh bila Kalimanis menderita sendirian. Rupanya, ada beberapa faktor yang kata Nursyirwan membuat Kalimanis sekarat. Pertama, di masa lalu Bob Hasan sebagai pemilik tak mengembangkan Kalimanis sesuai dengan keuntungan yang diperolehnya. "Bob mengalihkan keuntungan perusahaan untuk keperluan lain," ucapnya.
Kondisi ini diperparah karena saat ini terjadi salah urus dalam manajemennya. "Sejak dipegang dan dikendalikan oleh BPPN, perusahaan itu tak lagi berkilau," ujarnya. Manajemen yang ditunjuk oleh BPPN, kata Nursyirwan, tak profesional menjalankan bisnis perkayuan. Indikatornya adalah tak mampunya perusahaan memenuhi permintaan pasar yang kini sedang tinggi-tingginya.
Masih ada faktor lain yang ditambahkan oleh Jumransyah, Sekretaris Serikat Pekerja Kehutanan dan Perkayuan Indonesia Kalimantan Timur. Katanya, banyak mesin yang sudah tak lagi bisa bekerja secara maksimal karena sudah tua. Perusahaan agaknya tak punya uang untuk mengganti mesin-mesin uzur itu.
Semula diharapkan, dengan selesainya restrukturisasi utang Kalimanis di BPPN, hal ini bakal membuat perusahaan tersebut bisa kembali memperoleh kepercayaan dari kreditor untuk memperoleh pembiayaan. Tapi harapan itu masih jauh dari kenyataan. Buktinya, janji-janji kehadiran investor yang akan memberi suntikan modal sampai sekarang belum juga terlaksana. Keadaan ini tak menyurutkan optimisme di dada Andi Darussalam. "Setahu saya, ada beberapa investor yang masih menyatakan tertarik membeli Kalimanis. Berarti prospek bisnisnya kan masih bagus," ujarnya.
Bagaimana bila Kalimanis akhirnya ambruk? Hal itu membuat Yos Soetomo bergidik. Yang ia khawatirkan bukan hanya bakal terjadinya pemecatan 6.000 karyawan, tapi juga terjadinya gejolak pasar. Gejolak ini akan berpengaruh terhadap perusahaan kayu lainnya. Soalnya, Kalimanis telanjur menjadi salah satu pilar industri perkayuan di Kalimantan Timur. "Bila pilar itu rontok, yang lain akan ikut rontok," ujarnya.
Masalahnya, bila harus turun tangan lagi membantu Kalimanis, pemerintah sendiri kini tak lagi punya dana. Jadi? Sebaiknya biarlah sesama perusahaan swasta yang bergotong-royong membantu pilar industri perkayuan itu. Sebagai pebisnis, mereka tentu tahu bagaimana membuat perhitungan yang sama-sama menguntungkan. Dengan jalan begini, Kalimanis aman, perusahaan kayu lainnya tidak rontok, Gerardus dan teman-temannya pun bisa tersenyum lagi.
Nugroho Dewanto, Rusman (Samarinda), Sapto Pradityo (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo