Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POSISINYA yang sudah di ujung tanduk tak membuat nyali Widya Purnama ciut. Sebuah manuver cantik kembali dilancarkan bos PT Pertamina itu di tengah kian derasnya desakan untuk melengserkan dirinya.
Sabtu tiga pekan lalu, sumber Tempo membisikkan, Widya diantar oleh Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Dia minta agar tugasnya diperpanjang enam bulan, dengan janji menyikat mafia minyak di Pertamina.”
Kursi Widya di pucuk pimpinan perusahaan minyak negara ini memang sedang terus digoyang. Menteri Negara BUMN, Sugiharto, bahkan secara terbuka berkali-kali menyatakan akan segera melengserkannya.
Surat permohonan penggantiannya pun telah dilayangkan Sugiharto ke tim penilai akhir calon direksi BUMN, yang dipimpin langsung oleh Presiden. Geger terakhir kedua kubu itu dipicu oleh penggantian logo Pertamina, yang dituding tanpa restu dewan komisaris dan pemerintah sebagai pemegang saham.
Ketika ditemui di kantornya, Rabu sore pekan lalu, Widya tak menampik ihwal pertemuannya dengan SBY. ”Betul saya ketemu Presiden hari Sabtu,” katanya. ”Saya dipanggil.” Akan halnya isi pertemuan itu, ia tak banyak cakap. Pokoknya, kata Widya, ”Saya bicara panjang-lebar tentang Pertamina.”
Bisa jadi, berbekal hasil pertemuan itu, Widya pun langsung menggulirkan aturan baru soal tender minyak impor. Menurut seorang trader minyak, gebrakan mantan bos PT Indosat ini patut diacungi jempol. Sebab, selama ini tak ada orang yang berani menyenggol periuk nasi para broker minyak. ”Maklum, urusannya soal nyawa,” ujarnya.
Kebijakan baru itu dituangkan Widya dalam sepucuk surat yang ditujukan kepada jajaran direksi Pertamina. Dalam surat bertanggal 2 Desember itu, ia meminta seluruh jajaran direksi menata ulang penyelenggaraan tender minyak impor. ”Saya enggak mau ada tudingan terus-menerus ini temannya si ini, si itu,” katanya.
Peraturan baru itu, antara lain, mensyaratkan peserta tender yang akan memasok minyak mentah dan BBM ke Pertamina menyerahkan laporan keuangan yang telah diaudit selama tiga tahun berturut-turut. ”Kalau perusahaan besar, kan pasti punya laporan yang diaudit,” ujarnya.
Para peserta tender juga akan diminta menyerahkan berbagai penjelasan tentang perusahaan, mulai dari struktur organisasi dan profil perusahaan, izin perusahaan, susunan dewan pengurus, hingga garansi bank. Juga akan dicek apakah termasuk rekanan dari perusahaan-perusahaan minyak besar dunia.
Selain itu, mereka akan diminta menjelaskan track record-nya sebagai pemain minyak. Apa nama minyak mentah dan produk yang diperdagangkannya selama ini, berapa volumenya. ”Kalau dagangannya cuma ke satu tempat, ke kami terus-menerus, berarti ada apa-apanya, nih,” kata Widya.
Dengan sederet persyaratan ketat yang akan mulai diberlakukan tahun depan itulah, Widya yakin, minimal ruang gerak patgulipat dalam pengadaan minyak impor bisa dipersempit. Sebab, tanpa cara ini, sulit membendung praktek kotor para mafia minyak selama ini yang memang sulit dibuktikan. ”Itu sebabnya Pak Widya digoyang terus,” kata seorang stafnya.
Dalam urusan impor minyak, telah lama ditengarai proses tender yang selama ini digelar Pertamina sesungguhnya dikendalikan para mafia minyak. Trader minyak tersebut mengumpamakan tender ibarat arisan. ”Semua sudah diatur di antara mereka,” ujarnya. ”Aksi ini pun bisa mulus berkat bantuan orang dalam Pertamina dan keterlibatan sejumlah pejabat negara.”
Apa kata Widya tentang ini? ”Saya juga dengarnya begitu.” Karena itulah, aturan tender baru dibuat. ”Sehingga nantinya tidak ada kecurigaan yang menang dia-dia juga, seperti sudah diatur,” ucapnya.
Tak bisa dimungkiri, impor minyak memang merupakan ladang rezeki yang amat menggiurkan. Setiap hari dibutuhkan minyak mentah impor sekitar 368,7 ribu barel. Sekitar sepertiganya diperoleh lewat tender, sedangkan sisanya lewat kontrak.
Itu baru impor minyak mentah. Belum lagi kebutuhan impor BBM yang mencapai 450,4 ribu barel per hari. Untuk tahun ini saja, diperkirakan BBM impor yang harus didatangkan senilai US$ 7,5 miliar (sekitar Rp 75 triliun).
Untuk menutup kebutuhan itulah Pertamina setiap bulannya menggelar tender impor minyak mentah dan BBM. Namun, sekitar 60 persen dari kebutuhan itu masih disuplai Petral—lewat keikutsertaan dalam tender maupun kontrak. Petral merupakan anak perusahaan Pertamina di bidang trading yang berbasis di Singapura.
Untuk memasok kebutuhan Pertamina itu, Petral memang tak membeli langsung dari kilang-kilang utama, seperti Nigeria. Salah satu kendalanya, fasilitas dana jaminan bank yang dimiliki Petral untuk bertransaksi relatif kecil, yaitu hanya US$ 500 juta. Karena itu, pembelian biasanya dilakukan lewat perusahaan minyak dunia seperti Vitol, BP, Shell, dan Travigura.
Nah, di sinilah peluang para broker bermain. Mereka menjadi penghubung alias broker Petral ke sejumlah perusahaan minyak dunia itu. Salah satu kasusnya, ia mencontohkan, terjadi pada September lalu ketika Pertamina membeli minyak mentah asal Nigeria.
Minyak itu dibeli Pertamina dari Petral seharga bonilight (harga patokan minyak asal Nigeria) plus US$ 3,82 per barel. Padahal, trader itu bercerita, ia sendiri berhasil membelinya langsung dari Nigeria seharga bonilight minus US$ 4 per barel.
Mahalnya harga pembelian oleh Pertamina disebabkan Petral tak membelinya langsung ke Nigeria, tapi lewat Vitol. ”Transaksi itu pun tak lepas dari campur tangan salah seorang broker top di Singapura,” katanya.
Keuntungan terbesar jelas jatuh ke tangan si broker. Sedangkan Petral sendiri, dari penjualan ke Pertamina itu, hanya dapat komisi US$ 20 sen. Jika dipotong komisi resmi penjualan atau pembelian yang berlaku di dunia internasional yang hanya US$ 5-0,1 per barel, ”Berarti illegal profit yang didapat broker itu US$ 5-7 per barel,” ujarnya. ”Ini luar biasa besar.”
Widya mengakui, meski aroma busuk patgulipat minyak impor ini amat menyengat, tak mudah membuktikannya. Itu sebabnya, kapak perang pun segera diangkat Widya dengan memperketat pagar-pagar tender pengadaan minyak impor.
Widya sendiri pernah dipermalukan karena Pertamina kecele saat menunjuk WVC Petroleum untuk pengadaan solar impor sebanyak 7,2 juta barel, Oktober tahun lalu. Dari data Accounting & Corporate Regulatory Authority, belakangan diketahui WVC adalah perusahaan yang baru berdiri dua bulan sebelum penunjukan. Modal disetornya pun hanya 1 dolar Singapura. Karena itulah, penunjukan akhirnya dibatalkan setelah menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk DPR.
Jurus lainnya untuk mempersempit lahan subur para broker yang sedang dilancarkan Pertamina adalah dengan mengurangi kebutuhan minyak impor. Salah satu caranya dengan memperbesar pembelian minyak mentah dari perusahaan-perusahaan kontraktor bagi hasil, seperti Caltex, ConocoPhillips, dan BP Indonesia.
Peluang ini terbuka karena sejak 7 Oktober lalu Departemen Keuangan telah mengizinkan Pertamina membeli minyak mentah jatah para kontraktor production sharing (KPS) itu dengan harga pasar internasional.
Selama ini Pertamina hanya bisa membeli seperempat jatah kontraktor. Sebab, harga pembeliannya berdasarkan harga Indonesian crude price (ICP), yang biasanya lebih rendah dari harga pasar internasional. Dengan aturan baru itu, para kontraktor pun dimungkinkan mengurangi ekspornya dan mengalihkannya ke Pertamina.
Menurut juru bicara Pertamina, M. Harun, pada November lalu sudah tercapai kesepakatan dengan BP Indonesia. Perusahaan minyak dunia ini bersedia memasok 250 ribu barel minyak mentah ke Pertamina untuk dibeli dengan harga pasar. Namun sayang, upaya serupa yang juga sedang dilakukan dengan para kontraktor lainnya hingga kini belum membuahkan hasil.
Metta Dharmasaputra, Yura Syahrul
Bakal Kian Susut
Kebutuhan bahan bakar minyak di dalam negeri terus membengkak. Untuk tahun ini jumlahnya diperkirakan mencapai 1,18 juta barel per hari. Dari jumlah itu, yang bisa dipasok dari hasil pengolahan di kilang-kilang Pertamina hanya 732,5 ribu barel per hari. Sisanya sebanyak 450,4 ribu barel masih harus diimpor.
Untuk memenuhi kebutuhan kilang, Pertamina pun masih harus mengimpor minyak mentah sekitar 368,7 ribu barel per hari (37,6 persen), yang diperoleh lewat kontrak maupun tender. Sedangkan sisanya dari produksi Pertamina sendiri, serta dari setoran wajib para kontraktor bagi hasil (Kontraktor production sharing) ke pemerintah.
Dari para kontraktor itulah Pertamina juga membeli minyak mentah dengan harga Indonesian Crude Price (ICP), yang biasanya lebih rendah dari harga internasional. Dan kini, porsi pembelian dari para KPS itu bisa diperbesar. Sebab, aturan Menteri Keuangan yang baru memungkinkan Pertamina untuk membelinya dengan harga internasional. Ujung-ujungnya, porsi impor minyak mentah bakal kian susut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo