Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH beruntung mereka: muda, brilian, berlimpah harta, tampan pula. Berbekal pendidikan dari universitas masyhur di mancanegara dan pernah malang-melintang di berbagai lembaga keuangan top dunia, anak-anak muda ini pun kini berjaya di Tanah Air.
Merekalah profesional muda di bawah 40 tahun yang kini tengah bersinar di kancah bisnis investasi lokal. Lewat perusahaan pengelola dana investasi yang dibangunnya, miliaran dolar dana asing—juga lokal—dibetotnya masuk untuk dibenamkan di negeri ini.
Nama kondang itu antara lain Sandiaga S. Uno, 38 tahun, Rosan P. Roeslani (38), Tom Lembong (36), dan Patrick S. Walujo (32). Lahan investasi yang dibidik membentang dari bisnis pertambangan, perbankan, jaringan bisnis retail, hingga cineplex.
Semua berawal saat badai krisis ekonomi dan moneter melanda Asia Timur dan Asia Tenggara pada 1997. Ketika itu, banyak perusahaan bagus yang tiba-tiba kolaps tertimbun utang segunung akibat bunga yang melonjak tinggi setelah rupiah ambruk digempur dolar.
Bagi sebagian orang, krisis itu tak ubahnya kiamat kecil. Kerajaan bisnis yang dibangun puluhan tahun runtuh hanya dalam sekejap. Tapi, buat sebagian orang, krisis justru mendatangkan peluang. Inilah kesempatan bagi mereka untuk berburu aset bagus dengan harga sangat murah. Pendek kata, mereka tinggal menuai panen, sementara yang bertahun-tahun berkeringat membangunnya hanya bisa melihat dari jauh.
Untuk bisa mendanainya, mereka membentuk lembaga investasi alternatif, seperti private equity fund dan hedge fund. Dananya mereka peroleh dari lembaga-lembaga keuangan internasional dan lokal. Hedge fund biasanya mengincar lahan investasi jangka pendek dengan tingkat likuiditas tinggi, seperti di bursa. Sedangkan private equity fund biasanya lebih berfokus pada investasi jangka panjang: 5-10 tahun.
Berbekal dana investor itu, mereka biasanya kemudian memborong perusahaan-perusahaan yang bangkrut atau tengah menghadapi kesulitan keuangan (distressed asset). Perusahaan-perusahaan itu kemudian dibenahi oleh tim manajemen profesional, untuk nantinya dijual kembali setelah sehat dan menguntungkan. Di Indonesia, bisnis seperti ini memang terbilang baru. Padahal, di Amerika dan Eropa, bisnis sejenis sudah lama menjamur.
Peluang inilah yang kemudian juga ditangkap oleh Sandiaga S. Uno. Bersama pengusaha kawakan Edwin Soeryadjaya, ia mendirikan PT Saratoga Capital pada 1998. ”Waktu itu, mitra saya, Pak Edwin Soeryadjaya, percaya bahwa di masa krisis pasti banyak peluang,” ujar Presiden Direktur Saratoga ini mengenang.
Belakangan, Sandiaga bersama rekan sebangkunya di SMA Pangudi Luhur, Jakarta, Rosan P. Roeslani, juga mendirikan PT Recapital Advisors. Keduanya sempat terpisah ketika menimba ilmu di bangku kuliah—Sandiaga memilih George Washington University, Amerika Serikat, sedangkan Rosan di Antwerpen University, Belgia. Tapi naluri bisnis yang kuat kembali menyatukan mereka.
Di masa awal krisis, nama lain yang cukup berkibar adalah Hary Tanoesoedibjo. Mengusung bendera PT Bhakti Asset Management, penyandang master of business administration dari Universitas Carlton, Kanada, ini mendirikan Indonesia Recovery Company Limited bersama Asia Debt Management.
Sejumlah perusahaan di brankas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan aset Prakarsa Jakarta termasuk yang dibidiknya. Selain pernah dikenal dekat dengan spekulan global George Soros, Hary ditengarai kerap ”dititipi” dana investasi oleh para konglomerat papan atas, termasuk Salim.
Namun belakangan Hary lebih dikenal sebagai raja media. Lewat bendera Grup Bimantara yang diakuisisinya, sejumlah media kini berada dalam genggamannya: dari stasiun televisi swasta, radio, hingga media cetak.
Setelah sekian lama, nama-nama baru menyusul. Sebut saja Northstar Pacific yang dinakhodai Patrick Walujo, menantu mantan Presiden Direktur Astra International, Theodore P. Rachmat. Ada juga Quvat Management Pte. Ltd.—di Indonesia memakai nama Principia Management Group—yang dikendalikan oleh Tom Lembong (lihat ”Yang Muda yang Berkelimpahan”).
Tom bukan nama asing di jagat investasi. Mantan bankir investasi dari Morgan Stanley (Amerika Serikat) ini pernah menjabat Kepala Divisi Asset Management Investment di BPPN.
Selepas dari sana, ia bersama sejawatnya dari BPPN hijrah ke FarIndo Investment Ltd., yang berhasil mengakuisisi Bank Central Asia. Namun kemudian ia dan para sejawatnya itu memilih ”hengkang” dari FarIndo dan mendirikan Principia (Quvat).
BUAT para pengelola investasi, kemampuan menggaet nama-nama besar ”pendonor” jelas merupakan persyaratan mutlak jika bisnisnya ingin berkibar. Maklum, ini bukanlah bisnis recehan. Mereka memerlukan ratusan juta dolar untuk memburu aset-aset di Indonesia.
Itu sebabnya, di balik dapur mereka, terpampang nama-nama besar dengan dana investasi bejibun. Beberapa di antaranya adalah pengelola dana investasi dan keuangan global, seperti Texas Pacific Group, Citigroup, Goldman Sachs, Farallon Capital Group, dan Government of Singapore Investment Corp.
Ada pula sejumlah yayasan berduit, seperti Duke University Endowment, Stanford University, atau Bill Gates dan Melinda Gates Foundation. ”Tingkat pengembalian investasi 20 persen per tahun cukup menarik bagi mereka untuk menanamkan duit di sini,” kata Sandiaga, peraih gelar MBA dari The George Washington University, AS.
Menurut salah seorang pengelola dana investasi, awalnya memang tak mudah meyakinkan para pemilik harta itu untuk menitipkan sebagian duitnya. Maklum, ini menyangkut dana miliaran dolar. Para pemilik itu biasanya menelusuri jejak rekam para pengelola dana investasi ini antara lain melalui universitas tempat mereka bersekolah atau perusahaan tempat mereka bekerja dulu. ”Bahkan tak jarang mereka menyewa agen detektif terkenal, seperti Kroll Associate,” katanya. Maklumlah, sebagian besar pendatang baru.
Setelah terjadi akad, mengalirlah dana itu ke kantong-kantong perusahaan investasi ini. Berbekal dana global itulah mereka kemudian bersaing berebut aset ”murah” di negeri ini. Tender penjualan aset atau tagihan utang di BPPN, yang kini telah beralih ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), merupakan salah satu ajang paling menarik buat mereka.
Sejumlah kisah sukses pernah didulang. Bhakti, misalnya, sukses membeli Salim Oleochemical dari BPPN. Sedangkan Recapital berhasil memenangi tender pendanaan tambak udang terbesar di Asia Tenggara, PT Dipasena Citra Darmaja, dan pembelian saham Bank Tabungan Pensiunan Nasional dari PPA.
Kisah seru lain terjadi dalam pembelian PT Adaro Indonesia, salah satu tambang batu bara terbesar di Tanah Air, pada 2005. Dalam transaksi ini, mereka semua tergabung dalam satu konsorsium. Sandiaga, Patrick, dan Tom sempat urunan bareng, dibantu Edwin Soeryadjaya dan T.P. Rachmat, plus Erick Tohir, pemilik Grup Mahaka. ”Dalam transaksi Adaro, kami semua berkawan,” ujar Patrick, yang pernah berkarier di Goldman Sachs.
Tapi lain halnya dalam transaksi Bank Tabungan Pensiunan Nasional. Dalam proses pembelian bank para pensiunan ini, Tom dan Patrick kabarnya pecah kongsi. Kok, bisa begitu? ”Kompetisi kadang tak bisa dihindari,” ujar Sandiaga. Lagi pula, kata sumber Tempo menimpali, ”Mereka punya gaya yang berbeda.”
Terlepas dari kisah di balik perkawanan dan sengitnya persaingan di antara mereka sendiri, bisnis kaum belia itu kini telah menggurita. Saratoga, misalnya. Meski usianya belum genap 10 tahun, jaring bisnisnya sudah merambah ke berbagai bidang, antara lain batu bara, minyak dan gas, pertambangan, perkayuan, perkebunan, serta infrastruktur, seperti telekomunikasi, jalan tol, dan listrik. ”Total dana yang diinvestasikan mendekati US$ 1 miliar (sekitar Rp 9 triliun),” kata Rosan.
Northstar, yang baru berusia tiga tahun, juga sudah berhasil mengakuisisi sejumlah perusahaan. Di antaranya PT Alfa Retailindo Tbk. (40 persen) dan Alfa Mart (40 persen). Keduanya dulu berada di bawah bendera Sampoerna. Northstar juga memiliki perusahaan gas cair dan ladang migas di Sumatera Selatan.
Menurut Patrick, dana investasi yang dikelolanya berkisar US$ 100 juta atau sekitar Rp 900 miliar. Sebanyak US$ 15 juta di antaranya berasal dari Texas Pacific Group, lembaga investasi raksasa asal Amerika Serikat. ”Kalau kurang, kami bisa minta lagi,” katanya.
Bagaimana dengan Quvat Management? Perusahaan yang disebut-sebut mengantongi dana investasi US$ 150 juta atau sekitar Rp 1,35 triliun ini, selain punya saham di Adaro, kini tengah berkibar lewat investasinya di bisnis hiburan.
Sejak November tahun lalu, Quvat—kabarnya juga menggandeng kelompok Artha Graha—menempatkan diri menjadi penantang serius jaringan Cineplex 21 di dunia bisnis hiburan film dengan menghadirkan Blitz Megaplex Cinema.
Begitulah, bak burung nasar, para eksekutif muda ini terus mengintai dan siap mencaplok setiap perusahaan yang tengah ”sekarat” sekaligus memikat. ”Pekerjaan kami memang memburu peluang-peluang baru,” kata Patrick.
Beberapa perusahaan kini sudah masuk daftar prioritas incaran mereka. Tambang emas Newmont di Nusa Tenggara Barat tengah dibidik oleh Saratoga. Maskapai penerbangan terbesar di Indonesia, Garuda Indonesia, diam-diam juga diminati oleh Northstar bersama Texas Pacific Group.
Masih ada lagi. Ladang minyak raksasa Blok Cepu di Bojonegoro, Jawa Timur, kabarnya juga tak lepas dari intaian mereka. ”Ada yang sedang ngebet membidik porsi penyertaan saham pemerintah daerah di blok minyak itu,” ujar seorang sumber membisikkan.
Jika memang begitu, persaingan dan perkoncoan berebut aset tampaknya masih akan riuh.
MD, Heri Susanto, Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo