Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Pengacara keluarga korban Lion Air JT 610, Sanjiv N. Singh dari Professional Law Corporation (SNS) dan Michael Indrajana dari Professional Law Corporation (ILG), meminta ahli waris korban Sriwijaya Air SJ 182 tidak meneken dokumen release and discharge atau R&D.
Kuasa hukum korban Lion Air JT 610 menduga keluarga korban Sriwijaya Air SJ 182 sedang memperoleh tekanan dari berbagai pihak untuk menandatangani pembebasan pertanggungjawaban dini tersebut.
“Beberapa pengacara asuransi diyakini telah berpartisipasi dalam praktik ini pada 2018-2019 untuk keluarga korban Lion Air dan sedang mendekati untuk SJ 182 menurut sumber rahasia. Laporan dibagikan langsung kepada Michael Indrajana dan Sanjiv Singh dari sumber terpercaya di Indonesia,” tutur Sanjiv dalam keterangannya, Rabu, 3 Februari 2021.
Sanjiv mengatakan akan menghubungi Kementerian Kehakiman Amerika Serikat atau Departement of Justice dan Kongres Amerika. Hal itu penting untuk memastikan apakah ada perusahaan Amerika yang terlibat dalam rencana penandatangan R&D.
Menurut Singh, pihaknya telah berulang kali mencegah adanya pemaksaan terhadap penandatanganan R&D dengan pelaku yang ia sebut sebagai predator. Adapun firma hukum tersebut sebelumnya mengklaim telah menghabiskan tujuh bulan di Indonesia setelah kecelakaan Lion Air untuk menyelidiki masalah tersebut.
“Jadi tidak seorang pun boleh menandatangani pembebasan atau penyelesaian apa pun sementara penyebab kecelakaan itu masih dalam penyelidikan awal,” tuturnya.
Adapun R&D dianggap bisa mempengaruhi tuntutan kepada Sriwijaya Air dan produsen pesawat, yakni Boeing, ketika nanti ditemukan ada kesalahan teknis pada mesin yang menyebabkan kecelakaan. R&D biasanya harus ditandatangani sebelum keluarga korban menerima santunan sebesar Rp 1,25 miliar dari maskapai.
Michael Indrajana mengatakan praktik pembebasan tuntuan bila R&D ditandatangani tidak dapat diterima. “Kami mengingatkan semua penasihat lokal kami untuk melindungi keluarga dari upaya ini, sementara kami menunggu kabar lebih lanjut tentang perkembangan penyelidikan,” tuturnya.
Litigator yang memiliki pengalaman kerja di litigasi Boeing, Susanti Agustina, mengatakan saat ini adalah waktu rentan bagi keluarga korban. Keluarga membutuhkan perlindungan dari sisi hukum.
“Misi saya adalah untuk memastikan keluarga yang menandatangani pembebasan dilindungi dan keluarga yang belum menandatangani (R&D) mendapatkan perlindungan hukum dan masukan yang mereka butuhkan sebelum membuat keputusan,” ujarnya.
Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak yang membawa 50 penumpang dan 12 awak pesawat jatuh di Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021. Pesawat mengalami kecelakaan empat menit setelah lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Dalam operasi SAR, tim gabungan menemukan 325 kantong potongan tubuh korban, 68 kantong serpihan kecil pesawat Sriwijaya Air, dan 55 bagian badan pesawat. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) masih menginvestigasi faktor penyebab pesawat jatuh.
Sejak awal jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182, Tempo telah mencoba meminta penjelasan lebih detail ke Boeing soal kejadian ini. Tapi, Boeing hanya mengatakan bahwa mereka sedang berkomunikasi dengan maskapai pelanggan mereka. "Bersiap untuk mendukung mereka dalam masa sulit ini," demikian pernyataan resmi Boeing di laman resmi mereka pada Sabtu, 9 Januari 2021.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca juga: Menhub: Sriwijaya Air Sudah Beri Kompensasi Rp 1,25 M ke Keluarga Korban SJ 182
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini