Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kembali ke Pasar Tradisional

Pemugaran kembali pasar kumuh sebagai jawaban atas gempuran retail modern. Belum sanggup mengembalikan kejayaan pasar tradisional.

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kembali ke masa lalu. Ingatkah Anda ketika pasar tradisional yang identik dengan lorong yang sempit, jalanan yang becek dan bau amis ikan yang meruap ke mana-mana? Meski demikian, kita tetap gemar karena uang Rp 5.000 bisa membuat si abang membungkus cabe merah dan hijau serta bawang, plus bonus permen buat si kecil.

Tampaknya, itulah yang ingin dihidupkan kembali oleh Perusahaan Daerah Pasar Jaya. Bangunan di kiri Jalan Mampang Raya menuju arah Kuningan itu berwarna hijau terang, kontras dengan aneka warna reklame yang menempel. Ajang promosi itulah yang menjadi sumber pendapatan tambahan PD Pasar Jaya, sebagai bagian dari modernisasi pasar tradisional di DKI Jakarta. ”Itu sebabnya, kita sering disebut pasar warna-warni,” kata Muchrodin, Supervisor Pasar Mampang Prapatan, pekan lalu.

PD Pasar Jaya memang berusaha agar pasar yang dikelolanya menarik. Contohnya Pasar Mampang Prapatan yang ditempeli aneka papan reklame karena lokasinya yang strategis. Juga Pasar Melawai di area komersial Blok M, yang rencananya akan dilengkapi hotel berbintang.

Menurut Direktur Utama PD Pasar Jaya, Uthan Sitorus, ini adalah bagian dari upaya mengubah citra pasar tradisional yang dianggap kumuh menjadi sebuah pasar modern yang tetap mempertahankan nilai sosial. Tujuannya, tak kalah bersaing dengan retail raksasa yang kini menjamur.

Tak hanya kedua pasar itu yang bermetamorfosis. Sebanyak 60-70 persen dari jumlah total pasar tradisional di DKI Jakarta yang tergolong kumuh akan dibenahi. PD Pasar Jaya menargetkan pemugaran 90 unit, dari total 151, pasar tradisional se-DKI Jakarta sampai akhir 2010.

Hingga akhir 2008, PD Pasar Jaya optimistis mampu memugar 40 unit. Biaya pembangunan yang mencapai Rp 10-15 miliar per unitnya akan diperoleh dari pihak ketiga yakni pihak pengembang yang digandeng oleh BUMD ini. ”Kita cari sumber dana sendiri,” kata Uthan, yang baru menduduki posisinya selama lima bulan ini.

Tak ada masalah dengan biaya. Hambatan justru timbul dari gaya hidup pedagang yang tak sesuai dengan modernisasi pasar, misalnya membuang sampah sembarangan. Solusinya, para pedagang yang akan menempati pasar modern harus menjalani pelatihan khusus dari PD Pasar Jaya dan mengamati empat proyek pasar percontohan DKI Jakarta, yakni Pasar Santa, Menteng Pulo, Bukit Duri, dan Cakung. ”Tingkat intelektualitas pedagang pun harus di-up grade,” ujar Uthan.

Ternyata tak cuma PD Pasar Jaya yang getol mendandani sentra bisnis masyarakat kelas menengah ke bawah. Dinas Usaha Koperasi dan Usaha Kecil Menengah DKI Jakarta pun asyik berbenah dengan mengembangkan lokasi binaan usaha kecil yang mampu menampung pedagang kaki lima (PKL).

Pada pertengahan Mei lalu, Pemerintah Kota Madya Jakarta Selatan meresmikan lokasi yang juga dikenal sebagai Pasar Bintaro. Menurut Kepala Dinas Usaha Koperasi dan Usaha Kecil Menengah DKI Jakarta Mara Oloan Siregar, hingga kini DKI Jakarta memiliki 20 lokasi yang dana pembangunannya diambil dari anggaran daerah (APBD). Khusus untuk LBUK Bintaro, dana yang dikeluarkan mencapai Rp 8,5 miliar.

Modernisasi pasar tradisional, baik yang dilakukan BUMD maupun pemerintah daerah, sangat didukung Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Langkah ini dinilai mampu meningkatkan pertumbuhan pasar tradisional di Indonesia, yang pada 2005 sempat minus 8 persen. ”Pasar tradisional kini jauh lebih rapi, bersih, dan lengkap,” kata Ketua APPSI, Hasan Basri.

Namun 500 ribu pedagang tradisional yang tergabung dalam APPSI ini juga menyerukan pengelolaan pasar sebaiknya dibiayai dana APBD. Selain tak membebani pedagang dengan harga kios yang tinggi, juga meminimalkan sindikat mafia yang rajin berburu kios di lokasi strategis.

Kini pasar tradisional bernuansa modern mudah ditemui di Jakarta. Sayangnya masih sebatas bentuk fisik, karena tak semua perubahan fisik pasar ini diimbangi perubahan gaya hidup pedagang dan pengelola. Seperti pengalaman Tempo ketika melongok Pasar Mampang Prapatan pekan lalu. Pedagang buah masih berjejalan di areal parkir dan sampah pun berserak di lorong-lorong pasar.

Salah satu pedagang bahan pokok, sebut saja Ismail, mengeluhkan pengunjung pasar yang semakin berkurang. ”Mau bagus kayak apa, tetap saja jauh dibanding retail raksasa,” kata pedagang yang telah berjualan sejak tahun 1970-an ini. Belum lagi urusan retribusi. Resminya, pedagang beromzet Rp 6 juta sehari ini hanya wajib membayar Rp 14.500 per hari. Nyatanya, selain itu, dia dipungut dana keamanan tak resmi per hari Rp 5.500. Belum lagi, bisiknya, ”Urusan parkir juga sudah diperjualbelikan.” Jangan heran jika masih banyak orang yang enggan kembali ke pasar.

D.A. Candraningrum, Marlina Marianna Siahaan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus