Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, kembali mempertanyakan sikap Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang tak kunjung membayar utang rafaksi minyak goreng senilai Rp474,8 miliar sejak dua tahun lalu. Dia menduga, kelambanan pembayaran itu disebabkan birokrasi yang terlalu dibuat-buat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Dugaan saya terlalu dibuat-buat birokrasinya. Yang bisa dipermudah dan dipercepat kenapa diperlambat. Mestinya enggak perlu begitu kan,” kata dia saat ditemui Tempo di Kantor Aprindo, Jakarta Selatan, Senin, 3 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dugaan Roy merujuk kepada langkah Kemendag yang disebut memverifikasi ulang data pembayaran utang melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Menurut dia, langkah itu tak diperlukan karena surveyor Sucofindo sebelumnya telah memverifikasi data itu.
Ia menyatakan sampai saat ini dia menunggu Kemendag membayar utang itu melalui BPDPKS. Dia berharap pembayaran itu tak akan berlarut lebih lama lagi. Karena tak ada alasan bagi Kemendag untuk menunda pembayaran itu.
Ketika dikonfirmasi, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Isy Karim, membenarkan Sucofindo telah memverifikasi kesesuaian data pembayaran dengan klaim pelaku usaha. “Yang dilakukan BPDPKS merupakan proses yang merupakan mekanisme pembayaran saja,” kata dia saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa, 4 Juni 2024.
Berdasarkan hasil verifikasi Sucofindo, pemerintah harus membayar utang sebesar Rp474 miliar kepada produsen minyak goreng, dan pengusaha yang terdiri dari ritel modern maupun tradisional. Namun, angka itu berbeda dari klaim yang diajukan oleh 54 pelaku usaha yakni senilai Rp812 miliar. Sementara, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) sendiri mengklaim pemerintah punya utang ke ritel sebesar Rp344 miliar.
Kisruh utang-piutang ini muncul sejak 2022 seiring dengan program satu harga minyak goreng. Saat itu, Kemendag mengusulkan program minyak goreng satu harga senilai Rp14 ribu per liter, dengan selisih biaya produksi dan penjualan ditanggung pemerintah. Kebijakan itu ada karena harga minyak sawit mentah sedang melambung.
Aturan itu termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022, yang salah satunya mengatur minyak goreng satu harga. Di sana disebutkan, BPDPKS akan menanggung selisih biaya produksi dan penjualan alias rafaksi.
Tak lama setelah itu, aturan itu dicabut dan diganti dengan skema harga eceran tertinggi atau HET senilai Rp 11.500 per liter untuk minyak curah dan Rp 144 ribu per liter untuk minyak kemasan premium. Namun, tanggungan itu tak kunjung dibayarkan.
Pilihan Editor: Harga Beras hingga Minyak Goreng Naik