Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghentikan perseteruan mereka soal terpuruknya industri tekstil. Alih-alih berseteru, asosiasi itu meminta pemerintah berfokus menyelesaikan permasalahan banjir impor ilegal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Semakin lama kita berdebat soal aturan, kondisi industri tekstil kita semakin memburuk, karena permasalahan utamanya kan impor ilegal yang saat ini masih terus berlangsung,” ujar Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, melalui keterangan tertulis, Rabu, 10 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Untuk mengatasi permasalahan industri tekstil, Redma meminta pemerintah pertama-tama membenahi kinerja Bea Cukai. Dia menilai, lembaga di bawah Kemenkeu itu bertanggung jawab atas maraknya modus impor borongan, pelarian Harmonized System (HS), hingga pengurangan nilai faktur (under invoicing). Modus-modus itu, kata dia, menyebabkan barang impor murah membanjiri pasar domestik.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin, Reni Yanita, menyebut ambruknya industri tekstil disebabkan oleh pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Reni mengatakan, aturan impor itu telah menyebabkan utilisasi industri kecil-menengah (IKM) turun rata-rata 70 persen, pembatalan kontrak oleh pemberi maklon dan lokapasar atau marketplace, dan ambruknya industri hulu (kain dan benang) karena hilangnya pasar IKM dan konveksi.
“Ini menyebabkan order-nya berkurang sampai dengan 70 persen,” kata Reni dalam rapat dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 9 Juli 2024.
Selain itu, dia menyebut permendag itu merupakan penyebab para pelaku usaha menutup pabrik mereka karena kehilangan harapan untuk berusaha dan menpertahankan operasionalisasi. Menurut dia, hal itu disebabkan tidak adanya kepastian usaha.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Budi Santoso, sebelumnya justru menyebut ribuan kontainer di pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak karena ada kendala persetujuan teknis sebagai syarat untuk mendapatkan perizinan impor. Ketentuan tersebut, menurut Budi, merupakan usulan dari Kemenperin.
"Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka sesuai arahan Bapak Presiden dalam rapat tingkat menteri perlu dilakukan perubahan relaksasi melalui Permendag Nomor 8 Tahun 2024 dengan tidak mempersyaratkan Pertek lagi," kata Budi di kantor Kementerian Perdagangan pada Ahad, 19 Mei 2024.