Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rasio perdagangan terhadap PDB Indonesia turun dari 72 persen pada 2000 menjadi 33 persen pada 2020, terendah di antara negara-negara tetangga.
Capaian kinerja perdagangan juga dapat dilihat dari surplus atau defisit neraca perdagangan di suatu negara. Neraca perdagangan adalah selisih nilai ekspor dan impor pada suatu waktu tertentu.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan Didi Sumedi mengatakan pemerintah sudah menyiapkan beberapa langkah untuk menjaga kinerja perdagangan dan mendorong ekspor.
JAKARTA - Salah satu indikator kemajuan perekonomian negara adalah kinerja perdagangan, termasuk ekspor dan impor. Namun saat ini rasio perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih rendah. Kecilnya rasio perdagangan terhadap PDB tersebut menunjukkan keterbukaan perdagangan Indonesia yang juga rendah.
“Perdagangan internasional Indonesia belum sebaik beberapa negara di ASEAN,” kata Kepala Pusat Industri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho kepada Tempo, kemarin. “Dengan kinerja yang rendah, berarti liberalisasi atau keterbukaan perdagangan dengan negara lain juga rendah.”
Rasio perdagangan terhadap PDB dianggap sebagai indikator pengaruh perdagangan internasional terhadap ekonomi suatu negara. Rasio ini dihitung dengan membagi nilai agregat impor dan ekspor dalam kurun waktu tertentu dengan PDB pada kurun waktu yang sama.
Menurut laporan Prospek Ekonomi Indonesia yang dirilis Bank Dunia pada Desember 2022, rasio perdagangan terhadap PDB Indonesia turun dari 72 persen pada 2000 menjadi 33 persen pada 2020, terendah di antara negara-negara tetangga. Setelah Asia digulung krisis keuangan, keterbukaan perdagangan Indonesia berkurang lebih dari setengahnya, bertepatan dengan periode deindustrialisasi. Bersamaan dengan penurunan keterbukaan perdagangan, kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia juga turun secara signifikan, dari puncaknya sebesar 31 persen tahun 2002 menjadi 19 persen pada 2021.
Adapun pada 2022, rasio perdagangan terhadap PDB Indonesia naik menjadi 45 persen. Namun nilainya masih terendah di antara negara tetangga, seperti Singapura yang mencapai 337 persen dan Malaysia yang sebesar 147 persen. Porsi Indonesia dalam ekspor dunia stagnan dan lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara pembanding di kawasan.
Bersamaan dengan penurunan keterbukaan perdagangan, kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia juga turun secara signifikan, dari puncaknya sebesar 31 persen pada 2002 menjadi 19 persen pada 2021.
Menurut Andry, capaian kinerja perdagangan juga dapat dilihat dari surplus atau defisitnya neraca perdagangan di suatu negara. Neraca perdagangan adalah selisih nilai ekspor dan impor pada suatu waktu tertentu. Jika surplus, berarti nilai ekspor lebih besar daripada nilai impor. Sedangkan jika defisit, yang terjadi sebaliknya.
Rasio Perdagangan Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan terbaru Badan Pusat Statistik kemarin mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2024 surplus sebesar US$ 2,02 miliar. Hal ini menunjukkan nilai ekspor Indonesia lebih tinggi dibanding impornya. Peningkatan ekspor dapat merangsang pertumbuhan ekonomi domestik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski demikian, Andry mengatakan surplus atau defisit yang terjadi belum tentu menjadi indikator baik-buruknya perekonomian. Walau neraca perdagangan saat ini mengalami surplus, tidak bisa diterjemahkan bahwa kinerja perdagangan bagus. “Perlu dilihat apa latar belakangnya. Surplus di Indonesia terjadi bukan karena peningkatan ekspor, melainkan karena adanya penurunan impor,” katanya.
Berdasarkan catatan BPS, nilai impor pada Januari 2024 sebesar US$ 18,51 miliar atau turun 3,13 persen dibanding pada Desember 2023. Andry mengatakan nilai impor yang anjlok tidak lantas dianggap baik karena impor yang turun bukan pada barang konsumsi. “Yang justru turun barang modal atau barang input pendukung produksi.”
Sementara itu, menurut Andry, untuk memiliki PDB yang bagus, seharusnya impor lebih menyerap barang untuk barang modal dan bahan baku dibanding barang konsumsi.
Hal senada dikatakan Kepala Ekonom PT Bank Central Asia David Sumual. Menurut dia, hal yang saat ini lebih dibutuhkan adalah meningkatkan impor barang modal. “Saat ini kecenderungannya turun. Berarti belanja modal perusahaan atau capital expenditure juga menurun,” ujarnya.
Karena itu, peningkatan impor bahan baku dan bahan modal juga diperlukan dengan tetap menjaga surplus dan peningkatan ekspor agar tidak defisit.
Selain itu, kenaikan ekspor meningkatkan permintaan mata uang domestik sehingga dapat berpengaruh pada apresiasi mata uang Indonesia. Menurut David, jika defisit terjadi dan terus-menerus, akan berpengaruh pada nilai tukar. “Apalagi mata uang kita tidak terlalu menarik sehingga tidak diperdagangkan di luar,” ujarnya. Berbeda dengan dolar Amerika Serikat. Meski neraca perdagangan Amerika Serikat defisit, permintaan mata uang AS tetap tinggi sehingga mengimbangi defisit mereka.
Selain itu, surplus neraca perdagangan Tanah Air diharapkan meningkatkan penyerapan tenaga kerja akibat produksi dan ekspor.
Meski surplus, kinerja ekspor Indonesia pada Januari 2024 turun. Neraca perdagangan pada Januari 2024 tercatat surplus US$ 2,05 miliar atau turun dibanding pada Desember 2023 yang surplus US$ 3,29 miliar.
Aktivitas smelter nikel di kawasan industri milik PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, 8 Februari 2024. ANTARA/Jojon
Upaya Menggenjot Ekspor
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, di negara yang mengandalkan komoditas alam seperti Indonesia, memang cenderung ada penurunan ekspor. “Yang banyak mengalami penurunan adalah sektor atau komoditas pertambangan karena penurunan harga,” katanya, kemarin.
Selain harga, volume dan nilai ekspor menurun karena penurunan permintaan, terutama dari negara-negara mitra dagang. Permintaan dari negara seperti Amerika Serikat dan Cina pada tahun ini diprediksi tumbuh lambat dibanding pada tahun sebelumnya. “Artinya, permintaan domestik negara-negara tersebut akan mengalami perlambatan, termasuk produk ekspor kita,” kata Faisal. Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk peningkatan ekspor, khususnya bahan jadi.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan Didi Sumedi mengatakan pemerintah sudah menyiapkan beberapa langkah untuk menjaga kinerja perdagangan dan mendorong ekspor. “Kementerian Perdagangan mendorong peningkatan ekspor produk-produk yang dinilai memiliki peluang pasar, khususnya dari sisi untapped market potential,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Beberapa produk itu di antaranya produk manufaktur, seperti produk kimia, bahan bangunan, elektronik, otomotif, mesin, alas kaki, furnitur, plastik dan produk plastik, produk karet, produk kulit, hingga pupuk.
Selain itu, optimalisasi dilakukan dengan menyasar pasar utama tujuan ekspor dan pengembangan ke pasar non-tradisional. Hal ini dilakukan melalui misi dagang dan promosi. Upaya penetrasi dan pengembangan pasar tujuan ekspor dilakukan ke pasar non-tradisional di kawasan Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin.
Menurut Didi, tahun lalu mulai berlaku perjanjian kerja sama antara Indonesia dan Persatuan Emirat Arab (IUAE-CEPA). Selain itu, pemanfaatan perjanjian kerja sama perdagangan yang telah diratifikasi, seperti Indonesia-Korea CEPA, Indonesia-Cile CEPA, Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-Mozambik PTA, dan RCEP, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kinerja ekspor nonmigas.
“Saat ini 38 perjanjian sudah ditandatangani dan 15 sedang dalam proses perundingan,” ujarnya. Pihaknya juga akan mempercepat penyelesaian perjanjian perdagangan dan meningkatkan pemanfaatan perjanjian perdagangan tersebut.
ILONA ESTERINA PIRI | VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo