Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rasio pajak Indonesia pada 2023 sebesar 10,21 persen.
Tingginya sektor informal belum sepenuhnya tertangkap oleh sistem perpajakan.
Sektor pertanian sebagian besar dijalankan oleh petani rakyat yang sulit untuk dipajaki.
JAKARTA - Kementerian Keuangan melaporkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2023 sebesar 10,21 persen. Rasio itu turun dibanding pada tahun sebelumnya yang sebesar 10,39 persen. Penurunan ini menunjukkan masih rendahnya rasio pajak Indonesia.
Ekonom dari Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, berujar, rasio pajak yang rendah terjadi akibat inefisiensi administrasi pajak. “Proses pemungutan yang masih manual dan birokratis menyebabkan kebocoran dan membuat wajib pajak enggan membayar pajak. Struktur tarifnya juga dianggap kurang progresif,” katanya kepada Tempo, Kamis, 29 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu pula edukasi perihal pentingnya pajak bagi pembangunan yang masih rendah. Buktinya adalah masih banyak orang belum terdaftar sebagai wajib pajak. Selain itu, penghasilan sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk golongan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yang ikut menurunkan rasio pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasio pajak atau tax ratio adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan PDB dalam waktu tertentu. Rasio ini merupakan ukuran untuk melacak penerimaan tahunan dari perpajakan dan menjadi salah satu indikator kemampuan pemerintah dalam membayar utang.
Terganjal Banyaknya Sektor Informal
Yusuf mengatakan penyebab lain rendahnya rasio pajak adalah sektor ekonomi informal yang besar dan tidak terkena pajak. “Sektor informal saat ini mencapai sekitar 60 persen dari ekonomi Indonesia. Transaksi di sektor ini sering kali tidak tercatat dan tidak dikenai pajak,” ucapnya.
Hal senada diungkapkan Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Ferry Irawan. “Tingginya sektor informal belum sepenuhnya tertangkap oleh sistem perpajakan di Indonesia,” ujarnya.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Ferry mengimbuhkan, pemerintah menerapkan pemberlakuan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP) guna memudahkan administrasi wajib pajak.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat, hingga 28 Februari 2024, jumlah pemadanan NIK dengan NPWP telah mencapai 84,02 persen dari target. Secara jumlah, NIK yang telah terpadankan dengan NPWP mencapai 61,51 juta.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti mengungkapkan sisa NIK yang perlu dipadankan dengan NPWP masih sebanyak 11,69 juta nomor. Menurut Dwi, sektor yang tidak terdaftar juga menjadi penyebab rendahnya rasio pajak.
“Aktivitas underground economy tercatat sebagai PDB, namun sebagian besar pelakunya adalah UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah),” katanya kepada Tempo, kemarin.
Dwi menuturkan Ditjen Pajak berupaya menggunakan sumber daya yang ada dalam menggali potensi penerimaan pajak dari aktivitas ekonomi. Selain itu, untuk meningkatkan rasio pajak, pemerintah melaksanakan reformasi perpajakan.
“Reformasi perpajakan dilakukan lewat lima pilar perubahan, yaitu organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, serta regulasi. Reformasi perpajakan tidak hanya meningkatkan rasio pajak, tapi juga tax compliance (kepatuhan pajak),” kata Dwi.
Kantor Pusat Ditjen Pajak, di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Tergolong Rendah di ASEAN
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono menyebutkan rasio pajak Indonesia dalam satu dekade terakhir cenderung stagnan karena masih berada pada kisaran 10 persen dari PDB.
Meskipun pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah menggulirkan berbagai kebijakan reformasi perpajakan, seperti pengampunan pajak, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dan core tax system, kinerja penerimaan pajak Indonesia tidak banyak berubah.
Menurut Yusuf, rasio pajak pada 2023 yang sebesar 10,23 persen dari PDB bahkan masih lebih rendah daripada rasio pajak pada masa awal pemerintahan Jokowi pada 2015 yang sebesar 10,76 persen dari PDB. “Jadi kami tidak melihat adanya kenaikan kinerja fiskal pasca-reformasi perpajakan,” tuturnya.
Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2021, terdapat beberapa negara ASEAN dengan rasio pajak tinggi, seperti Filipina sebesar 14,1 persen, Thailand 14,3 persen, dan Kamboja 16,4 persen.
Sejumlah wajib pajak mengantre untuk dipanggil menuju bilik tax amnesty di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, 2017. TEMPO/Tony Hartawan
Sektor Pertanian Sulit Dikenai Pajak
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis, Fajry Akbar, mengatakan Filipina dan Vietnam bisa memiliki rasio pajak yang cukup tinggi karena pungutan social security contribution yang diberlakukan. Pungutan ini adalah semacam pajak kontribusi jaminan sosial dari pekerja, pemberi kerja dan pengusaha kepada pemerintah untuk penyaluran manfaat sosial.
“Social security contribution dua negara tersebut kontribusinya cukup tinggi. Sedangkan di Thailand, kontribusi dari penerimaan cukai tinggi, sampai 35 persen dari total penerimaan,” katanya.
Sementara itu, di Indonesia, ujar Fajry, salah satu penyumbang terbesar terhadap perekonomian adalah sektor pertanian. Masalahnya, sektor pertanian sebagian besar dijalankan oleh petani rakyat yang sulit untuk dipajaki. Petani kecil bahkan mendapat berbagai fasilitas pajak. Fajry menuturkan pemerintah perlu menggenjot beberapa sektor untuk meningkatkan penerimaan pajak, seperti ekonomi digital, terutama e-commerce.
Hal serupa dikatakan oleh Ferry Irawan. Dia berujar, digitalisasi pada berbagai sektor ekonomi harus diimbangi dengan kesiapan sistem perpajakan dalam menangkap aktivitas ekonomi digital serta memberlakukan pajak digital. Pemerintah, menurut dia, terus mendorong tingkat kepatuhan dan integrasi teknologi dalam sistem perpajakan.
Ferry membenarkan bahwa saat ini target rasio pajak masih di kisaran 10 persen. “Target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 sebesar Rp 2.309,9 triliun atau 10,1 persen terhadap PDB,” ujarnya.
ILONA ESTERINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo