Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kepala LKPP Abdullah Azwar Anas: Tidak Semua Kepala Dinas Senang e-Katalog

Kepala LKPP Abdullah Azwar Anas mengungkapkan tantangan dalam membuat e-katalog lokal, meningkatkan pemakaian produk dalam negeri, dan penyerapan produk UMK. Keengganan pejabat pusat dan daerah menjadi penghambat. 

18 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya itu tidak biasa menyampaikan apa yang akan dilakukan kepada media. Saya maunya menyampaikan apa yang sudah dilakukan. Saya berani ke sini karena sudah ada yang dikerjakan. Kalau masih sama, saya diketawain,” kata Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Abdullah Azwar Anas berkelakar saat mengunjungi kantor Tempo, Kamis pekan lalu.

Bupati Banyuwangi periode 2010-2020 itu tidak sepenuhnya bergurau. Banyak sudah yang ia kerjakan sejak dilantik menjadi Kepala LKPP pada 13 Januari 2022. Di antaranya, dia mempercepat pembuatan e-katalog barang dan jasa di daerah-daerah. Hasilnya, dari tadinya hanya 23 pemerintah daerah yang memiliki e-katalog lokal, sekarang menjadi 433 pemda.

Ia juga memotong persyaratan bagi calon penyedia e-katalog. Berbagai persyaratan yang memberatkan usaha mikro dan kecil (UMK) dibabat, produk dalam negeri diutamakan, dan produk-produk impor dibekukan. Dampaknya, jumlah produk yang mengisi e-katalog kini tumbuh subur. “Banyak yang marah ketika kami bekukan (produk impor),” kata Azwar.

Tapi pekerjaan rumah masih banyak. Meskipun e-katalog sudah meluas, jumlah penyedia, item, ataupun pemda yang menggunakannya masih minim. “Presiden belum puas akan banyaknya produk baru. Pertanyaan berikutnya, apakah produknya sudah dibeli? Apakah pemda sudah belanja?” kata Azwar. Berikut ini petikan wawancaranya.

Apa saja capaian LKPP setelah tujuh bulan Anda pimpin?

Ada tiga arahan Presiden Joko Widodo mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pertama, menjadikan produk dalam negeri sebagai prioritas belanja. Kedua, meningkatkan porsi UMK dan koperasi. Ketiga, percepatan penyerapan APBN/APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/anggaran pendapatan dan belanja daerah).

Tapi persoalannya, arahan tersebut, kan, tidak tereksekusi dengan baik. Sebab, meskipun ada arahan Presiden, kalau produk-produk impor yang ada di (e-katalog) LKPP tidak dibekukan, transaksi produk dalam negeri tidak akan tumbuh.

Lantas, bagaimana LKPP melaksanakan arahan tersebut?
Arahan Presiden kami terjemahkan seperti ini: pengadaan harus pro-UMK, pro-pemerataan ekonomi, terintegrasi dan terdigitalisasi, serta mudah diakses dunia usaha. Kebijakan pro-UMK selama ini tidak cukup tereksekusi, padahal ada aturan 40 persen belanja APBN/APBD harus produk UMK.

Sementara itu, kebijakan pro-pemerataan ekonomi dan mudah diakses dunia usaha wujudnya adalah e-katalog. Kami ingin pengusaha lokal makin banyak yang masuk ke e-katalog lokal, dan pengusaha juga mudah memasukkan produknya ke e-katalog. Target kami, sebanyak 1 juta produk tayang pada 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Abdullah Azwar Anas di Kantor Tempo, Jakarta,11 Agustus 2022. TEMPO/Subekti

Apa manfaat e-katalog?
Pertengahan tahun ini, kita dengar Menteri Keuangan Sri Mulyani marah-marah karena penyerapan APBD rendah. Padahal, dengan e-katalog, pengadaan tinggal klik. Tidak perlu lelang karena harganya sudah kelihatan.

Bagaimana perkembangan e-katalog saat ini?
Dulu yang ada hanya e-katalog nasional. Saya 10 tahun menjadi bupati tidak bisa membikin e-katalog lokal. Bayangkan, perusahaan yang bisa masuk e-katalog nasional hanya perusahaan yang mampu berkompetisi. Maka tidak mengherankan (hanya perusahaan skala nasional yang bisa masuk dan pengadaannya tidak tepat).

Misalnya, pengadaan untuk program penanganan stunting. Apa yang terjadi? Yang dilelang adalah roti biskuit senilai Rp 600 miliar. Program stunting produknya roti biskuit. Bagaimana dengan anak-anak di daerah yang tidak terbiasa (makan biskuit)? Orang Papua tidak cocok perutnya. Itu terjadi karena selama ini yang ada hanya e-katalog nasional. Makanya, arahan Presiden, e-katalog lokal harus ada.

Sekarang sudah banyak e-katalog lokal?
Dulu, sewaktu saya bupati, bikin e-katalog lokal susah. Syaratnya ribet. Sekarang e-katalog lokal sudah terbentuk sehingga pengusaha lokal di Padang tidak perlu masuk e-katalog nasional. Tinggal daftar di e-katalog lokal dan pemda bisa belanja karena skala lokal tidak perlu perusahaan besar sekali. Dulu hanya 23 pemda yang punya e-katalog lokal. Sekarang sudah 433 pemda yang punya e-katalog lokal.

Berapa banyak produk yang sudah masuk e-katalog?
Dulu target awal sebanyak 95 ribu produk setahun masuk e-katalog. Setahun tidak tercapai. Sampai marah-marah Presiden. Tapi saat ini produk di e-katalog sudah 503.433 produk dan toko daring 669.065 produk, sehingga target 1 juta tercapai. Sedangkan jumlah penyedia e-katalog sudah 13.467 dan toko daring 297.225.  

Mengapa dulu sulit masuk e-katalog?
Dulu terlalu banyak syarat SNI. Padahal yang wajib SNI hanya 300-an, tapi sekarang ada 11-an ribu produk ditempelin wajib SNI. Maka banyak produk kita, seperti meja, tidak bisa masuk e-katalog karena harus ada SNI. Syaratnya banyak sekali. Ini kami pangkas semuanya.

Wajib SNI dihapuskan karena tidak terkait langsung, yang wajib SNI yang menyangkut kesehatan, keselamatan. Masak, bangku pakai SNI? Alat permainan anak SNI? Pasti perusahaan besar semua. Tetangga kita tidak akan bisa masuk, padahal ahli bikin kursi dan mainan.

Dulu, untuk masuk e-katalog, prosesnya panjang, ada delapan tahap. Sekarang kami pangkas tinggal dua tahap. Tidak perlu lagi ada negosiasi harga, tapi kompetisi harga. Jadi, harga semua masuk. Selama ini agak saling mengunci. Penyedianya sedikit, harganya tinggi.

Begitu juga e-katalog lokal. Dulu susah sekali. Ada sembilan tahap untuk pencantuman barang/jasa di sana. Sekarang tinggal dua tahap. Prosesnya sudah mudah banget.

Presiden sudah tidak marah lagi, dong…
Presiden belum puas akan banyaknya produk baru. Pertanyaan Presiden berikutnya, apakah produknya sudah dibeli? Apakah pemda sudah belanja? Nah, akhirnya kami membuat sistem untuk mengecek semua kabupaten/kota.

Warga menunjukan situs https://e-katalog.lkpp.go.id/ di Jakarta, 17 Agustus 2022. TEMPO/Nita Dian


Berapa besar pengadaan pemerintah lewat e-katalog?
Untuk pengadaan produk dalam negeri lewat metode e-katalog, masih Rp 35,4 triliun. Orang daerah masih senang lewat metode tender, nilainya Rp 184,2 triliun. Metode lainnya adalah pengadaan langsung, penunjukan langsung, dan darurat Rp 38,3 triliun. LKPP inginnya lebih banyak melalui e-katalog.

E-katalog pemda mana yang paling banyak produknya?
Provinsi penyelenggara dengan produk tayang di e-katalog paling banyak antara lain Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Lalu, untuk kabupaten dan kota, ada Kabupaten Banyuwangi, Kota Pasuruan, dan Kota Medan.

Pemda mana yang paling aktif membeli dari e-katalog?
Kami punya tabulasi mana kabupaten dan kota yang membeli lewat e-katalog paling banyak. Tiga kabupaten dan kota yang jumlah transaksinya paling banyak itu Kota Medan, Kota Semarang, dan Kota Bandung. Memang rata-rata kota karena anggarannya paling banyak. Sedangkan tiga besar provinsi adalah Jakarta, Aceh, dan Jawa Barat.

Anda menyebutkan LKPP membekukan produk-produk impor. Berapa banyak yang sudah dibekukan?
Produk impor yang banyak muncul di pengadaan pemerintah banyak sekali. Produk impor yang kami bekukan ada 11.753 item sehingga tidak bisa diklik lagi. Kemarin banyak yang marah ketika kami bekukan.

Apa rencana ke depan untuk pengembangan e-katalog?
Ke depan, kami ingin aspal, paving block, beras, dan material bangunan bisa masuk e-katalog semua. Dulu yang mengerjakan ini Ahok (Gubernur DKI 2014-2017, Basuki Tjahaja Purnama), yang mengikuti LKPP, makanya cepat (belanja daerah).

Jadi, kalau semua masuk e-katalog, mulai Januari sudah bisa membangun karena harga pemeliharaan bisa langsung dihitung. Barang yang sudah masuk e-katalog tidak perlu lagi lelang atau tender. Jadi, jauh lebih efisien.

Lantas, apa hambatannya?
Mendorong ke e-katalog itu bukan perkara mudah, butuh goodwill dari semuanya. Susah kalau bupatinya tidak memerintah, memaksa produk masuk di e-katalog. Tidak semua kepala dinas suka masuk e-katalog karena harganya kelihatan.

Misalnya, mau membangun jalan, semestinya ke depan, kalau mau mudah, masuk e-katalog karena e-katalog tidak perlu lelang. Langsung saja, untuk membangun jalan hotmix, harganya per meter sekian rupiah.

Apalagi kalau penyedianya perusahaan daerah, tidak perlu e-katalog nasional, cukup masuk katalog lokal. Tidak perlu lelang, Januari pembangunan bisa jalan. E-katalog ini kalau jalan, pertumbuhan ekonomi kita akan jauh lebih besar karena serapan APBN dan APBD tidak lagi dimulai pada Juni.

Soal produk dalam negeri, berapa besar realisasi belanja lokal pemerintah?
Besaran belanja pengadaan barang dan jasa kita rata-rata Rp 1.100 triliun per tahun. Kita lihat yang menggunakan produk dalam negeri, ternyata dari rencana penggunaan produk lokal pada pengadaan dari target Rp 685,2 triliun, yang sudah terealisasi baru Rp 206,1 triliun atau 30,1 persen. Padahal, menurut BPS, kalau Rp 400 triliun saja dibelanjakan sebagai substitusi impor, kita akan menambah pertumbuhan ekonomi 1,7 persen.

Dari jumlah tersebut, berapa persen produk UMK?
Realisasi belanja produk UMK masih 15 persen atau Rp 107,1 triliun. Sebenarnya kita ini seperti berburu di kebun binatang, pasti dapat. Karena duitnya ada di kita. Daripada kita mengimbau swasta (untuk membeli produk UMK), yang ada semestinya dioptimalkan dan pasti akan mendorong pertumbuhan. Cuma, kan, tidak ada yang nongkrongin. Makanya sekarang LKPP ditongkrongin BPKP dan Presiden, dan masuk target kinerja Menkeu.

Kenapa pemda enggan membeli dari UMK?
Sebab, misalnya di pemda, yang nyiapin makan-minum di daerah bukan UMK, melainkan vendor yang setiap tahun itu terus. Sebab, pemda kalau beli diutang tiga bulan, tidak bisa dibayar langsung. Maka ada kartu kredit pemda dan kartu pemerintah pusat. Dengan kartu kredit itu, UMK yang dipesan tidak diutang, melainkan langsung dibayar pakai kartu kredit pemerintah. Ternyata untuk mewujudkan kartu kredit itu tidak mudah. Ada empat peraturan menteri yang mesti dibereskan dan sistemnya. Dulu pembayaran pakai SP2D (surat perintah pencairan dana) bisa dua bulan.

Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Abdullah Azwar Anas di Kantor Tempo, Jakarta,11 Agustus 2022. TEMPO/Subekti


Bagaimana cara kerja kartu kredit pemerintah?

Pemerintah bekerja sama dengan Himbara dan bank daerah untuk menerbitkan kartu kredit dengan bunga 0 persen hingga tiga bulan. Dengan kartu kredit itu, pembelian UMK bisa langsung lunas. Selama ini UMK diutang, jadi repot. Contohnya, pemda mau pesan pisang goreng, kalau bayar pakai SP2D, dua bulan baru cair. Maka dulu vendornya itu-itu saja karena dia harus menalangi duluan, tapi untungnya 20-30 persen.

Apa tantangan lainnya?
Selama ini kita belanja sendiri-sendiri. Tidak ada kodifikasi barang. Kalau saya ditanya Presiden, berapa belanja laptop dari seluruh kementerian, saya tidak bisa jawab. Berapa belanja traktor, ATK. Sebab, kodifikasi barangnya jelek, dan mungkin disengaja, kalau bisa enggak perlu ada. Sebab, harga antar-kementerian dengan barang yang sama bisa berbeda. Antar-dirjen saja bisa beda.

PR kami sekarang, kami sedang selesaikan kodifikasi. Tapi yang baru selesai dengan BPS (Badan Pusat Statistik) dan Kemenkeu (Kementerian Keuangan). Setelah kodifikasi barang beres, efisiensi kita akan banyak. Buktinya, dua bulan ini atas perintah Presiden dan Menkeu, kami melakukan konsolidasi belanja secara manual. Belum secara sistem elektronik.

Apa hasil konsolidasi belanja tersebut?
Hasilnya, pertama kali dalam sejarah dilakukan konsolidasi belanja laptop produk dalam negeri sebesar Rp 6,33 triliun di beberapa kementerian. Ternyata di Kemendiknas (Kementerian Pendidikan) belanja laptop-nya Rp 3 triliun, di Kemenkeu Rp 259 miliar. Katanya harus produk luar negeri karena dalam negeri belum mampu. Kami cek lagi, ternyata cuma 5 persen yang butuh kapasitas luar negeri. Selebihnya cukup laptop lokal.

Dari konsolidasi itu, kami mendapat diskon 27,9 persen untuk laptop pendidikan dan untuk laptop administrasi perkantoran 29,7 persen. Kami bisa berhemat Rp 1,8 triliun dari perkiraan Rp 6,33 triliun. Konsolidasi menghasilkan efisiensi. Ke depan, kalau kodifikasi kelar, akan mudah, tinggal klik, kelihatan.

Memang bagaimana praktik belanja pemerintah selama ini?
Selama ini beli sendiri-sendiri ke penyedia, reseller, tidak ke produsen langsung. Akibatnya, mahal. Kalau tidak dipaksa dengan APBN, belanja produk dalam negeri tidak akan tumbuh cepat seperti di Cina karena tidak ada afirmasinya. Selalu saja ada alasan untuk impor.

Pembuatan e-katalog dan sistem lainnya butuh kemampuan IT yang tinggi. Bagaimana dukungan teknologinya?
Tentu untuk mengerjakan ini tidak bisa teknologi yang biasa-biasa saja. Jujur, kami ada kendala teknologi, tapi, kan, Presiden tidak mau tahu. Kalau saya mau kerjakan, baru bisa tahun depan, karena anggaran tidak bisa hari ini. Apa yang terpikir? Saya lari ke Mensesneg (Menteri Sekretariat Negara), saya minta Telkom ditugaskan ke kami. Sebab, kalau harus menggaji orang di atas Rp 50 juta, uang tidak ada.

Maka Telkom ditempatkan di kami sekarang, kurang-lebih 15 orang. Dan kami akan minta melalui rapat terbatas (kabinet) untuk memberikan perintah melalui RUPS (rapat umum pemegang saham) Telkom untuk berinvestasi pada tahun depan sebesar Rp 100-200 miliar untuk sistem ini, termasuk blockchain dan big data, supaya pengadaan nasional kita terpotret.


RUU Pengadaan Barang dan Jasa sempat dibahas di DPR, tapi kemudian tak terdengar lagi kabarnya…
RUU Pengadaan Barang dan Jasa dulu sempat masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional), tapi kemudian kandas. Memang banyak yang tidak suka dengan adanya ini. Kami mesti berhati-hati. Tapi idealnya perlu ada UU Pengadaan Barang dan Jasa seperti di Inggris, Korea Selatan, dan negara-negara lain.

Selain RUU Pengadaan Barang dan Jasa, kami mengajukan perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). IKN ini tidak bisa dengan aturan pengadaan biasa.

Apa bedanya pengadaan untuk IKN?
Kami membuat aturan khusus untuk percepatan pengadaan IKN. Sistemnya akan ada repeat order. Awalnya begini, Presiden sering meninjau rusunawa, ada yang jelek, ada yang bagus. Beliau cek, siapa yang mengerjakan, kok, bagus sekali. Ternyata penggarapnya sub, sub, sub (kontraktor). Perusahaan ini kalau ikut lelang pasti kalah sama yang besar-besar, padahal kerjanya bagus. Makanya kami bikin aturan repeat order. Tapi belum bisa berlaku nasional, baru akan diuji coba di IKN. Kalau pekerjaannya bagus, tinggal di-repeat order.

Kedua, namanya kontrak payung. Skemanya, kontrak di awal bisa sampai tiga tahun, tapi ada beberapa ketentuan untuk percepatan. Termasuk performance-based contract, membangun jalan sekaligus pemeliharaannya. Di Korea sudah jalan. Misalnya, kontraktor mendapat lelang jalan, masa kontraknya setahun. Kalau ada jalan yang bolong-bolong selama masa kontrak, itu tugas dia memperbaiki. Dengan demikian, karena kontraknya setahun, tidak mungkin dia bikin jalan jelek, karena kalau jelek kena biaya pemeliharaan tinggi.

***

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus