Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDUSTRI otomotif Indonesia, pekan lalu, mencatat sejarah baru: 15 buah Kijang untuk pertama kali diekspor. Mobil rakitan PT Toyota Astra Motor di Sunter, Jakarta, itu, sejak 6 Februari lalu, mulai dijajal memasuki sejumlah negara Asia dan Pasifik -- seperti Muangthai, Brunei Papua Nugini, Fiji, Solomon, dan Vanuatu. Presiden Komisaris Astra International Inc. William Soeryadjaya, salah satu pemegang saham di TAM, kelihatan senang menyaksikan si Kijang Super itu satu-satu memasuki peti kemas untuk dikapalkan. Tak disangka, TAM, yang 51% sahamnya dipegang Astra dan 49% Toyota Motor Company (TMC) Jepang, bisa begitu cepat mulai memperluas pasar Kijang -- mengingat kendaraan bermotor niaga sederhana (KBNS) ini baru diperkenalkan awal November lalu. Ekspor ini, menurut Wakil Dirut TAM, Rudyanto, sebenarnya untuk memenuhi janji William, dan Presiden Direktur TMC Shoichiro Toyoda, pada Presiden Soeharto, tiga bulan lalu. Shoichiro, ternyata, telah mengontak beberapa distributor Toyota di negara-negara tetangga Indonesia. Distributor di Brunei ternyata langsung memesan, dengan harga prangko pembeli (CIF). TAM keberatan mengungkapkan harga, karena importir bebas menentukan harga penjualan di sana. "Kalau kami ungkapkan harga di sini, ternyata Importir jual sekian, pembeli di sana bisa ribut," ujar Rudyanto kepada TEMPO, Senin lalu. Usaha ekspor itu diakui Preskom William Soeryadjaya sebagai tantangan berat bagi TAM. Ekspor ke Muangthai dan India misalnya, kemungkinan bakal diganjal bea masuk tinggi, karena pemerintah di sana juga mewajibkan program lokalisasi pembuatan kendaraan bermotor. Muangthai, seperti diketahui, mengharuskan para agen tunggal memenuhi target program pemakaian komponen lokal hingga 53% untuk perakitan kendaraan komersial tahun ini juga. Tapi, awal pekan ini, dari Bangkok ada berita sasaran itu gagal dipenuhi. Dan terbuka kemungkinan, untuk mencapai target itu, para agen tunggal di sana akan minta perlindungan pada pemerintah dengan cara, misalnya, membatasi impor komponen atau melarang sama sekali impor kendaraan komersial dalam bentuk jadi. Jika itu terjadi, usaha merintis ekspor Kijang dan mendorong ekspor komponen mobil akan mendapat rintangan cukup berat. Tapi diakui pihak TAM, untuk mendapatkan pasar yang teratur di India dan Muangthai tidak mudah, karena di sana harus bersaing dengan pikap Nissan, Izusu, Hyundai, dan Toyota sendiri. TMC sendiri, sewaktu mulai mengekspor sejumlah mobilnya ke sejumlah negara di Samudra Pasifik, selama lima tahun pertama, setiap bulan rata-rata hanya mengekspor 50 unit. "Tetapi peluang ada untuk Kijang, karena berukuran lebih kecil dan berharga lebih murah dari merk-merk tadi," kata Rudyanto. Menteri Perindustrian Hartarto, kendati tidak hadir pada peluncuran ekspor perdana itu, sewaktu menjelaskan deregulasi baru dalam bidang industri mesin menyebut ekspor Kijang perdana itu cukup membanggakan. Kendati secara ekonomis belum menguntungkan, dari segi politis ekspor itu bisa membikin negara yang sudah bikin mobil sendiri memasang kuda-kuda. Hartarto yakin, ekspor yang dilakukan perusahaan swasta seperti TAM, di masa depan, tidak akan merugi. Namun, ia berpendapat peluang untuk mengekspor suku cadang sekarang ini jauh lebih mudah daripada mengekspor mobil. Terutama setelah mata uang yen menguat melawan dolar. Apalagi pabrik-pabrik komponen kendaraan bermotor roda empat tahun silam rata-rata hanya bekerja sekitar 50% dari kapasitas terpasang. Karena itu, pekan lalu Menteri Perindustrian mengeluarkan keputusan baru yang merangsang produksi pabrik-pabrik itu, sekaligus mengimbau mereka mencari pasar ekspor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo