Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASIH ingat Bruce Rappaport? Dia, oleh pemerintah Indonesia, pernah dinyatakan sebagai "musuh". Dosanya: ia dianggap menjebloskan republik ini ke dalam utang sekitar US$ 1,5 milyar. Pekan lalu, tujuh tahun kemudian, direktur utama Pertamina menyatakan sudah tercapai penyelesaian "tuntas" dengan Rappaport. Syahdan, pertengahan 1960-an, PN Permina mencari tanker sekitar 30.000 ton. Hal itu, seperti diceritakan Rappaport kepada Seth Lipsky dari The Asian Wall Street Journal, diketahuinya dari sebuah perusahaan Skandinavia, yang menawarkan tanker Proteus, dan kemudian melalui Rappaport, jadi dibeli oleh Pertamina. Tak lama setelah itu, Rlppaport menjamu Ibnu Sutowo, ketika itu direktur utama PN Pertamina, di sebuah klub malam di Jenewa. Pertemuan itu pula yang kemudian membuat Rappaport mencuat sebagai raja tanker, dan akhirnya menjadi orang terpercaya Pertamina dalam urusan sewa-beli tanker. Tahun 1972, sebuah perusahaan Rappaport, Inter-Maritime Management Corp, menandatangani perjanjian untuk mensuplai Pertamina dengan 30 kapal. Sebelumnya, Agustus 1968, perusahaan Rappaport yang lain, General Maritine Enterprisc, menandatangani perjanjian mensuplai 21 kapal dari berbagai ukuran, selama 10 tahun dengan Pertamina. Rappaport melangkah lebih jauh ketika pada bulan September 1970, Pertamina memutuskan menyewa-beli empat tanker samudra - Ibnu, Gina, Kollbris, dan Sea Breeze, masing-masing sekitar 134.000 ton - dari Martropico Compania Naviera SA, perusahaan aflliasi Rappaport, yang tercatat di Panama. Lalu Mei 1971. Pertamina mencarter tanker Keiko Maru, dari perusahaan afiliasinya yang lain, Neptunea Atlantica SA, juga dari Panama. Dan Agustus 1973, Pertamina telah menyewa-beli enam tanker dari sebuah perusahaan afiliasi Rappaport yang lain lagi, Rasu Maritima SA, yang tercatat di Liberia. Lalu, Mei 1974, Pertamina menandatangani kontrak mencarter dua tanker lagi, dari Inter-Maritime Management Corp. Kedua kapal tangki itu, Hulls 93 dan Hulls 285, ternyata belum dibuat. Dan itulah yang kemudian meletup menjadi sengketa tajam antara Pertamina dan Rappaport. Kedua kapal yang nisbi itu lalu ditukar dengan empat kapal yang Iebih kecil, dan seluruh tanker samudra yang disewa-beli oleh Pertamina menggelembung menjadi 15 buah, berbobot mati 1,4 juta ton, dan seharga, waktu itu, US$ 1,55 milyar. Rappaport sendiri sesungguhnya tak memiliki kapal-kapal itu. Dia cuma berperan sebagai perantara, dan perusahaan-perusahaannya mencarter kapal-kapal itu dari pemilik sebenarnya dengan harga yang jauh lebih rendah. Raymond J. Burke, pengacara di New York yang disewa pemerintah Indonesia, menuding Rappaport telah menggelembungkan harga sewa-beli tanker itu, "di atas harga pasaran yang berlaku ketika itu. Itulah yang kemudian membuat marah pemerintah Indonesia dan menyeret Bruce Rappaport ke dalam pertikaian di pengadilan Amerika yang berlangsung lama. RAPPAPORT pun membalas. Dalam kawatnya menjawab TEMPO menjelang akhir tahun 1966 misalnya, Rappaport menuduh Menteri Sumarlin melancarkan "sindiran yang menyakiti hati" (innuendos) dan "isinuasi". Itu adalah reaksi Rappaport atas pernyataan Sumarlin, yang mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sedang mengusut persekongkolan tanker yang menjirat Pertamina dengan utang besar. Tak lama setelah kawat tadi, di pengadilan negara bagian New York, Rappaport memasukkan kesaksian tertulis di bawah sumpah - menangkis pernyataan pihak Indonesia, bahwa bekas direktur utama Pertamina, Ibnu Sutowo, kurang berwcwenang untuk meneken kontrak sewa-beli kapal tanki besar. Tapi pukulan yang menyakitkan Rappaport datang ketika Ibnu Sutowo membuat pengakuan tertulis di bawah sumpah, dua hari sebelum Natal 1966, mendahului sidang pengadilan di New York. Di situ Ibnu Sutowo antara lain mengaku telah menandatangani 1.600 nota perjanjian pembayaran yang disodorkan Bruce Rappaport, tanpa membacanya terlebih dulu. Tapi yang lebih penting adalah pengakuan Ibnu bahwa ia melakukan kesalahan pribadi telah melanggar ketentuan UU Pertamina, karena ikut duduk dalam dewan penasihat Inter Maritime Bank di Jenewa, yang sebagian sahamnya milik Rappaport. "Perang" yang cukup lama dan menegangkan pun berlanjut antara kelompok Rappaport dan tim Sumarlin-Radius Prawiro. Tapi, akhirnya, melalui pengacara masing-masing, dan beberapa utusan Rappaport - terakhir bekas wakil presiden Amerlka, Mendiang Spiro Agnew, yang datang ke Jakarta, Agustus 1977 - tercapailah "rujuk" dengan pengusaha tanker itu (lihat: box). "Sungguh, itu suatu pelajaran pahit, dan mahal pula," kata Menteri Sumarlin ketika itu. Lebih pahit kalau diingat bahwa seluruh utang tanker yang dibuat Pertamina waktu itu berjumlah US$ 3,3 milyar. Sebab, di samping dari sejumlah perusahaan lain, di luar kelompok Rappaport, Pertamina masih melakukan sewa-beli 15 tanker samudra lagi. Suatu jumlah yang hampir sepertiga dari seluruh utang Pertamina yang segede US$ 10,5 milyar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo