Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil mendorong pemerintah menjadikan momentum penyerahan dokumen kontribusi iklim dan demokrasi dalam Second Nationally Determined Contribution(SNDC) sebagai upaya koreksi komitmen iklim dan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Koalisi menyebut koreksi komitmen iklim yang lebih adil, demokratis, dan partisipatif mesti diambil pemerintah menjelang tenggat penyerahan pada September mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Pemerintah harus menerapkan keadilan sosial dengan mengakui hak dan memenuhi kebutuhan spesifik dari subyek masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim, seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat dan lainnya. Hanya dengan cara itulah dapat terwujud keadilan iklim atau transisi yang adil,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, dalam peluncuran dokumen Rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan seperti dikutip dalam keterangan tertulis pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Dalam acara itu, koalisi yang didukung oleh 64 lembaga masyarakat sipil Indonesia itu juga menyerahkan dokumen Rekomendasi untuk SNDC kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sesuai dengan pernyataan pemerintah di bulan Februari lalu, saat ini KLHK sedang menyiapkan dokumen tersebut. KLHK mewakili pemerintah Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani perubahan iklim global atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Dalam dokumen Rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan, koalisi mengelaborasi para subjek masyarakat yang rentan yang terus menanggung derita akibat dampak perubahan iklim maupun aksi untuk menanggulanginya. Padahal, bukan mereka yang menyebabkan perubahan iklim.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan bencana iklim melonjak 81 persen dari 1.945 insiden pada 2010. Pada 2022 telah terjadi 3.544 insiden yang berdampak pada lebih dari 20 juta orang.
Selanjutnya: Laporan IPCC pada 2023 juga mencatat 79 persen emisi gas rumah kaca....
Laporan IPCC pada 2023 juga mencatat 79 persen emisi gas rumah kaca global pada 2019 berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan bangunan. Sementara itu, 22 persen dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya. Sektor-sektor ini berkontribusi melalui alih fungsi lahan dan eksploitasi sumber daya alam.
Meski demikian, pemerintah telah meluncurkan kebijakan untuk menangani perubahan iklim, termasuk komitmen emisi nol (Net Zero Emission) pada 2060. Kebijakan itu berupa Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim, Transisi Energi Nasional, Indonesia FOLU Net Sink 2030, dan Nilai Ekonomi Karbon.
“Sayangnya, ambisi ini belum cukup selaras dengan target global menurunkan emisi di angka 1.5 derajat Celcius. Bahkan target emisi nol pada 2060 yang pemerintah Indonesia targetkan pun sebenarnya lebih panjang dari komitmen internasional yang sepakat mencapai emisi nol pada 2050,” kata Torry.
Atas kondisi itu, Torry menyebut rakyat Indonesia seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat, buruh, pekerja informal, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lain dalam bahaya atas dampak perubahan iklim. Selain itu, dia menyebut, dalam 10 tahun ini aksi perubahan iklim di Indonesia membuat kelompok rentan semakin rentan.
“Alih-alih menurunkan target emisi gas rumah kaca, strategi pembangunan malah mengesahkan proses perusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat rentan. Kasus-kasus penambangan nikel, kawasan industri Rempang, kasus Wadas, bahkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang mengklaim sebagai ibu kota hijau rendah emisi pun mendorong perusakan lingkungan dan perampasan hak warga,” kata dia.
Dalam acara tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari koalisi, di antaranya Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Torry Kuswardono, Ketua Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI) Hendra Wiguna, Policy Engagement Officer Working Group ICCAs Indonesia (WGII) Ihsan Maulana, Koordinator Program Solidaritas Perempuan Andriyeni, Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Fatum Ade, Manajer Kampanye Polusi dan Perkotaan WALHI Abdul Ghofar, dan Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan Nadia Hadad.