Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketar-ketir Devisa Hasil Ekspor Diparkir

Para eksportir khawatir kewajiban menyimpan devisa hasil ekspor sumber daya alam mempengaruhi arus kas dan biaya operasional.

27 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Eksportir mengeluhkan kewajiban penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam.

  • Jika hasil ekspor diendapkan minimal tiga bulan, pengusaha harus berutang untuk modal kerja berikutnya.

  • Eksportir meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan yang bakal berlaku pada 1 Agustus 2023 ini. 

JAKARTA — Menjelang implementasi kewajiban penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) di dalam negeri, sejumlah eksportir mengeluh. Mereka meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan yang bakal berlaku pada 1 Agustus 2023 ini.

Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia, Safari Azis, menyatakan anggotanya khawatir ada gangguan pada arus kas. Sebab, eksportir hasil SDA wajib menyimpan 30 persen devisa hasil ekspor selama paling singkat tiga bulan. Dasar hukumnya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.

Menurut Safari, perputaran uang di bisnis rumput laut terhitung cepat. Dana hasil ekspor dikelola lagi untuk modal budi daya. Jika hasil ekspor diendapkan, pengusaha harus berutang untuk modal kerja berikutnya. "Kalau mau uangnya diparkir, kasih insentif dari sisi bunga untuk kredit di bank," ujarnya kepada Tempo, kemarin, 26 Juli 2023.

Safari berharap pemerintah mengkaji ulang kebijakan DHE SDA. Menurut dia, perlu dibedakan ketentuan untuk eksportir yang selama ini langsung menukar dolarnya ke rupiah untuk modal, seperti yang dilakukan asosiasinya. Dia juga menilai sumber daya alam yang menjadi fokus pemerintah lebih tepat ke sektor pertambangan, yang bersifat ekstraktif dari bumi, tidak dibudi daya seperti rumput laut.

Namun pelaku usaha di sektor pertambangan juga menyatakan berkeberatan. Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, Pandu Sjahrir, menyebutkan aturan soal DHE SDA menambah beban buat eksportir. "Aturan tersebut akan menyulitkan eksportir dalam mengelola arus kas. Terlebih, margin yang didapatkan oleh para eksportir tidak mencapai 30 persen," kata dia.

Aktivitas bongkar-muat batu bara di Dermaga KCN Marunda, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Setelah diendapkan, modal kerja bakal tertahan di tengah tren penurunan harga komoditas dan kenaikan biaya operasional. Pandu mengatakan eksportir batu bara juga tidak bisa mengoptimalkan keuntungan dari kenaikan harga komoditas dalam dua tahun terakhir lantaran disparitas antara harga batu bara acuan dan harga jual aktual. Sejak awal 2022, disparitas tersebut membuat kewajiban pembayaran royalti yang lebih besar.

Kondisi tersebut, menurut Pandu, menggerus margin keuntungan di bawah 30 persen sehingga berpengaruh terhadap modal usaha. Sementara itu, pendanaan untuk proyek berbasis batu bara semakin sulit di tengah tuntutan dekarbonisasi. "Untuk itu, kami memohon agar pemerintah dapat membuka ruang untuk diskusi dengan pelaku usaha."

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, menuturkan kebijakan DHE SDA berpotensi menghambat kinerja ekspor di sektor perikanan. Para pelaku usaha yang terlibat di sektor ini membutuhkan arus kas yang besar. Untuk produk rajungan yang dagingnya diekspor ke luar negeri, misalnya, nelayan membutuhkan dana Rp 5-10 juta. Sementara itu, di tingkat pengepul, kebutuhan dananya Rp 50-200 juta bergantung pada kapasitas produksi. "Perputaran uangnya sangat besar dan cepat," tuturnya. Jika diendapkan, para pelaku usaha bakal kesulitan melanjutkan bisnis.

Dari kajiannya di Maluku Utara, Abdul juga menemukan sejumlah pengusaha eksportir ikan khususnya untuk cakalang dan tuna, memilih menghentikan pengiriman ke luar negeri. Mereka memilih berfokus di pasar dalam negeri. Salah satu alasannya, margin di pasar luar negeri hanya selisih Rp 2.000 dibanding pasar domestik. "Dan dengan aturan baru ini yang mengharuskan menyimpan uang dalam jumlah besar selama tiga tahun, ditambah risiko ekspor lain dan kesulitan mengurus izin ekspor, ini menyulitkan mereka," tuturnya.

Keluhan juga datang dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, menyebutkan alasan yang tak jauh berbeda: risiko pada arus kas. Selain itu, kebijakan ini bakal menambah biaya. "Dengan dana ditahan 30 persen selama tiga bulan, otomatis pelaku usaha harus menyiapkan dana tersebut. Apakah dari dana sendiri atau dari perbankan, tentunya ini menambah biaya," ucapnya.

Kata Ekonom Soal Kewajiban Memarkir Devisa Hasil Ekspor

Kepala Ekonom Pertama Bank, Josua Pardede, pun melihat risiko bagi pelaku usaha karena dana mereka tak bisa langsung dimanfaatkan sepenuhnya akibat kebijakan DHE SDA ini. Namun dia mencatat pemerintah sudah mempersiapkan kelonggaran bagi eksportir untuk menggunakan DHE dengan tujuan tertentu sebagai upaya meminimalkan dampak. 

Meski begitu, dia menilai pemerintah perlu mempertimbangkan adanya kemungkinan kehilangan pendapatan bagi eksportir jika suku bunga valas di luar negeri lebih baik daripada di dalam negeri. Bank Indonesia telah memiliki instrumen operasi moneter Term Deposit Valuta Asing DHE sebagai opsi pengganti. "Tapi bagi perbankan domestik pun dapat menawarkan tingkat suku bunga Term Deposit valas yang cukup atraktif kepada eksportir secara khusus bagi bank yang memiliki likuiditas valas yang cukup ketat karena pembiayaan valas yang cukup tinggi."

Adapun Eksekutif Direktur Segara Research, Piter Abdullah, menilai para eksportir tak seharusnya mengeluhkan kebijakan tersebut. "Mereka sudah dapat begitu banyak dari kegiatan usaha di dalam negeri," ujarnya. Ditambah lagi selama ini hasil ekspornya lebih banyak diparkir di luar negeri. Padahal Indonesia membutuhkan banyak valas. Salah satu dampaknya adalah nilai tukar rupiah yang sulit menguat terhadap dolar Amerika Serikat. 

Piter mengatakan keputusan pemerintah menetapkan kewajiban penempatan DHE dari sumber daya alam sudah tepat. Berbeda dengan sektor manufaktur yang banyak membutuhkan modal untuk impor bahan baku, sektor SDA sebaliknya.

Petugas memantau kendaraan bermuatan batu bara di sebuah tambang di Kalimantan Selatan. ANTARA/Sigid Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Menurut Piter, pemerintah bahkan masih terlalu lunak dalam mengatur DHE SDA. "Seharusnya sebagian dari devisa ekspor itu ditukarkan ke rupiah, bukan hanya diparkir di bank," katanya. Penempatan 30 persen dana selama tiga bulan tak akan optimal menambah cadangan devisa.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Ferry Irawan, menyatakan ketentuan penempatan DHE SDA sudah melalui berbagai pertimbangan. Pemerintah mengakomodasi aspek keberlanjutan usaha di seluruh sektor sumber daya lama. "Termasuk arus kas perusahaan," katanya. Indikator yang menjadi pertimbangan seperti net profit margin, historis dana di rekening di dalam negeri dan luar negeri, serta rata-rata durasi waktu pemenuhan kewajiban korporasi. 

Menurut Ferry, pemerintah sangat menyadari kekhawatiran pelaku usaha atas aturan devisa hasil ekspor SDA ini. "Pemerintah akan berupaya agar implementasi peraturan pemerintah ini berjalan dengan lancar," katanya. Hasil likuidasi valuta asing yang beredar di dalam negeri nantinya digunakan untuk modal pembangunan, termasuk untuk mendorong pengembangan industri hilir yang bernilai tambah tinggi di sektor SDA.

VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus