Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Menteri Perdagangan menuding platfom social commerce melakukan praktik predatory pricing.
Banjir produk impor terjadi setelah Indonesia meratifikasi China-ASEAN Free Trade Area.
Dalam jangka panjang, yang dibutuhkan adalah peningkatan daya saing produk dalam negeri.
SEPANJANG pagi kemarin, Harahap terus berdiri di depan lapaknya menjajakan tas. Pedagang di lantai 3 Blok A Pasar Tanah Abang itu mengatakan, sejak masa Lebaran lewat, jumlah pengunjung pasar turun drastis. Kondisi itu mengakibatkan omzet hariannya ikut terjun bebas.
“Bahkan turun 40 persen dibanding saat pandemi Covid-19 lalu,” ujar pria yang telah 10 tahun berjualan di Pasar Tanah Abang itu ketika ditemui di kiosnya.
Kala pertama kali berdagang di sana, Harahap ingat bisa mengantongi omzet hingga Rp 4 juta per hari. Namun nominal pendapatan itu terus terkikis seiring dengan maraknya perdagangan berbasis daring. “Untuk dapat Rp 1 juta sudah susah, dapat Rp 500 ribu sudah syukur.” Belakangan, dagangannya semakin tidak laku lantaran masyhurnya TikTok Shop.
Harahap menilai harga barang yang dijual di media sosial itu tak bisa disaingi oleh para pedagang Pasar Tanah Abang. Sebab, harga jual di TikTok Shop lebih rendah dari modal para pedagang. Sebagai contoh, tas dagangan Harahap yang modalnya Rp 120 ribu bisa dijumpai seharga Rp 85-89 ribu di TikTok.
Ia tak menampik bahwa barang dagangannya juga berasal dari impor. Tapi produk itu ia beli dari importir besar. “Kalau di TikTok sepertinya belanja langsung dari sana (negara asal impor),” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo