Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OPEC, organisasi negara-negara pengekspor minyak yang berusia 21
tahun lebih itu, untuk kesekian kalinya menunjukkan bahwa
dirinya tak mudah retak. Sekalipun para pengamat di Barat
beranggapan adalah omong kosong OPEC bisa bertahan dengan harga
patokan US$ 34 per barrel, toh sidang luar biasa di Wina pekan
lalu keluar dengan keputusan: tetap mempertahankan harga jenis
Arabian Light Crude (ALC) setinggi itu.
Mereka juga mengumumkan untuk menurunkan produksi minyaknya
menjadi maksimal 18 juta barrel sehari, sekalipun para
konsumennyadi Amerika, Eropa dan Jepang memperkirakan seluruh
produksi OPEC perlu ditekan menjadi sekitar 16 juta barrel
sehari, kalau OPEC ingin bertahan pada harga yang US$ 34 itu.
OPEC nampaknya memang masih akan menekan produksinya, kalau
dianggap perlu. Tapi itu kelihatannya akan dipikul oleh Arab
Saudi. Dalam suatu konperensi pers seusai sidang damrat itu
8abtu siang lalu, Menteri Perminyakan Arab Saudi Syeik Zaki
Yamani di luar dugaan memberi "hadiah" yang membuat ratusan
wartawan saling bergegas ke mesin tiknya. "Arab Saudi mulai 1
April ini akan menekan produksinya menjadi 7 juta barrel
sehari," kata Syeik Yamani. "Dan kalau dirasa perlu, kami akan
menekannya lebih rendah lagi". Sidang di Wina memutuskan
produksi Arab Saudi diturunkan dari 8,5 juta menjadi 7,5 juta
barrel sehari.
Keputusan Arab Saudi di luar hasil sidang yang resmi itu,
bermaksud untuk meyakinkan dunia bahwa OPEC bukanlah suatu
kartel, sekalipun sekarang para anggotanya sudah melakukan suatu
pengaturan produksi bersama -- suatu hal yang tadinya paling
pantang mereka persoalkan. "Kapan saja kami bisa menurunkan atau
menaikkan produksi. Dan kami harap pihak-pihak yang
berkepentingan sadar bahwa Kerajaan Arab Saudi bersedia
menurunkan tingkat produksinya lebih rendah lagi, demi untuk
melindungi struktur harga minyak OPEC," kata yeik Yamani.
Sikap tegas Arab Saudi, yang tadinya kurang menyetujui suatu
kenaikan harga minyak yang tinggi, banyak dipuji para rekannya.
Banyak anggota OPEC yang amat bergantung pada dana minyak untuk
pembangunannya, kini merasa sempoyongan. Terutama negeri seperti
Nigeria, yang oleh para' investor asing dituntut untuk
menyamakan harga minyaknya dengan Inggris, yakni US$ 31/barrel.
Berapa jadinya andil penurunan masing-masirg anggota, di luar
Arab Saudi? Menteri Pertambangan dan Energi Subroto yang kembali
dari Wina, Senin sore kemarin, diduga baru bisa memberi
keterangan tentang penurunan produksi minyak Indonesia, setelah
melapor kepada Presiden hari Rabu ini. Tapi dari keterangan yang
berhasil dikorek wanawan "SH" Sabam Siagian yang meliput sidang
di Wina itu, Indonesia akan menurunkan produksi minyaknya
menjadi 1,3 juta barrel.
Sebuah sumber perminyakan TEMPO di Jakarta, memperkirakan
penurunan itu mungkin akan berkisar sekitar 10% dari produksi
rata-rata sehari yang dicapai selama Februari lalu. Kalau benar
begitu, produksi akan turun dari 1,45 jutabarrel menjadi sekitar
1,26 juta barrel sehari. "Kita tak akan membiarkan OPEC pecah,
meskipun penurunan itu berat buat Indonesia yang berpenduduk
150 juta," kata Subroto.
Ada pendapat, turunnya produksi minyak Indonesia itu antara lain
disebabkan karena sebagian dari 10% minyak dari ladang-ladang
Caltex yang disisihkan untuk Indonesia (in kind) melalui
Pertamina mengalami kesulitan untuk dijual di pasaran tunai.
Buletin Petroleum Intelligence Weekly, yang terbit 8 Maret lalu,
memang mencatat penurunan harga selama setahun dari berbagai
jenis minyak, di pasar tunai (spot), sejak Januari sampai
dengan Desember 1981.
Jenis minyak Minas-34, demikian menurut PIW, di awal tahun ini
masih mencapai US $ 3 7,82 per barrel di pengilangan AS bagian
Barat (US Gulf Coast), sedang di pengilangan Singapura ketika
itu tercatat sebesar US$ 34,99 per barrel. Dan di bulan
Desember, di kedua tempat itu, pasaran tunai dari jenis minyak
tersebut, masing-masing adalah US $ 34,57 dan US$ 33,99
perbarrel.
Salah satu jalan keluar dari kesulitan pasaran minyak sekarang,
selain melakukan pengaturan produksi, adalah mengharapkan
berakhirnya masa resesi yang panjang itu di negara-negara
industri. Beberapa kalangan, antara lain Menteri Subroto
sendiri, membayangkan itu akan terjadi sekitar pertengahan tahun
1983.
Banyak orang di Amerika percaya turunnya pasaran minyak
belakangan ini, akan sangat membantu untuk menurunkan inflasi
dunia, dan melumasi mesin-mesin industri mereka yang sampai
sekarang berjalan seret. (lihat box). Sekalipun banyak juga
yang pesimistis masa penyesuaian tersebut akan berlangsung
secepat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo