Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pasokan minyak goreng HET ditargetkan pulih paling lambat pada Senin mendatang.
Pedagang mencampur antara minyak goreng mahal dan minyak goreng murah.
Hingga kemarin, belum ada eksportir yang memenuhi HET minyak goreng.
JAKARTA — Pemerintah terus berupaya memenuhi pasokan minyak goreng dengan harga eceran tertinggi (HET) di pasar. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menargetkan minyak goreng yang mengikuti harga acuan pemerintah akan tersedia selambat-lambatnya pada Senin mendatang, 7 Februari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan aturan HET minyak goreng, ditetapkan tiga jenis harga minyak goreng, yakni Rp 11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp 13.500 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana, dan Rp 14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan premium.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ketika pasar minyak goreng dengan harga HET baru sudah ada, maka tekanan untuk membeli di retail modern akan berkurang, suplai akan normal, dan semua jenis minyak goreng akan mengikuti aturan yang ada,” ujarnya, kemarin.
Menurut Lutfi, saat ini para pedagang tengah melakukan pencampuran antara minyak goreng yang telanjur dibeli dengan harga mahal dan minyak goreng murah. Sebagai tindak lanjut, Kementerian Perdagangan juga akan meninjau pabrik-pabrik minyak goreng untuk menjamin ketersediaan pasokan hingga distribusinya ke pasar tradisional dan retail modern.
Keberhasilan kebijakan ini, kata dia, amat bergantung pada kerja sama seluruh pihak yang terlibat dalam industri, dari pemilik minyak sawit mentah (CPO), pabrik minyak goreng, hingga distributor.
Lutfi mengimbuhkan, guna memperkuat jaminan ketersediaan pasokan minyak goreng dalam negeri, Kementerian Perdagangan juga telah menetapkan kebijakan domestic market obligation (DMO), tanpa ada larangan ekspor. “Selama pelaku pasar ekspor memberikan minyaknya dengan harga yang sudah ditentukan ke dalam negeri sebesar 20 persen, tidak ada larangan ekspor,” ucap Lutfi.
Tak hanya itu, intervensi juga dilakukan pemerintah pada hulu produksi minyak goreng, dengan mengubah harga CPO dan olein dari tandan buah segar (TBS) sawit. Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar. Dalam aturan tersebut, eksportir CPO dan olein terkena DMO sebesar 20 persen dari volume ekspor pada harga Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp 10.300 untuk olein.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi (kanan) meninjau harga minyak goreng di Pasar Kramat Jati, Jakarta, 3 Februari 2022. Tempo/Tony Hartawan
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan mengatakan kebijakan DMO dan domestic price obligation (DPO) juga didasarkan pada temuan kebocoran ekspor, di mana ada dugaan produsen mengutamakan pasar ekspor alih-alih pasar dalam negeri. “Maka, kalau tidak dipasok ke dalam negeri, ya sudah dikunci saja ekspornya,” kata dia.
Oke berharap kebijakan ini dapat berjalan efektif dan membuat aliran ketersediaan minyak goreng domestik terjaga. Hingga Rabu lalu, pasokan minyak goreng ke retail modern telah mencapai 4,6 juta liter. Angka itu lebih besar dibanding beberapa waktu lalu yang hanya mencapai 400 ribu liter.
“Ini berarti mereka sudah berburu dan berupaya memenuhi kewajiban DMO dan DPO, meski sampai sekarang masih belum ada satu pun eksportir yang sudah benar-benar memenuhinya,” ucap Oke.
Menurut Oke, eksportir yang tidak memenuhi kewajiban DMO akan menanggung kerugian. Sebab, eksportir harus membayar biaya kapal yang tertahan sebesar US$ 18 ribu per hari hingga membayar penalti kepada importir. “Kalau pintu ekspor sudah ditutup tapi masih seret, kami akan mengambil langkah selanjutnya.”
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad, menuturkan kebijakan DMO dan DPO berpotensi menimbulkan efek domino negatif. Terdapat kekhawatiran kebijakan ini justru akan membuat produsen minyak goreng bersikap menunggu.
“Karena produsen menahan ekspor, pasokan minyak goreng ke pabrik atau industri CPO dalam negeri juga menjadi tidak tersedia, ekspor akan menurun, dibaca oleh pasar bahwa harganya akan menjulang tinggi,” ujarnya. Kondisi itu juga akan menyebabkan pelaku industri CPO mengurangi pembelian dari para petani.
Walhasil, harga TBS sawit juga dapat terpengaruh dan ikut menurun. Hal itu tak terlepas dari solusi berbagi derita atau sharing the pain kisruh minyak goreng ini yang belum mendapat titik temu. “Masalahnya, ada kemungkinan bahan TBS belum diolah secara optimal dengan situasi harga yang masih bergejolak sekarang. Jadi, memang persoalan ketersediaan ini menjadi masalah serius yang harus dihadapi,” kata Tauhid.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo