Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Larangan Ekspor CPO Bisa Picu Krisis Pangan

Larangan ekspor CPO diperkirakan bisa berdampak pada harga minyak goreng setelah berlaku dua bulan. Larangan yang terlalu lama bisa memicu krisis pangan.

5 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Larangan ekspor CPO belum bisa menurunkan harga minyak goreng.

  • Harga CPO dunia kian melejit setelah larangan ekspor berlaku.

  • Pemerintah diminta mencabut larangan ekspor CPO.

JAKARTALarangan ekspor CPO alias crude palm oil atau minyak sawit mentah perlu waktu hingga dua bulan untuk bisa menurunkan harga minyak goreng. Bahkan ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, memperkirakan, jika larangan ekspor berlangsung terlalu lama, hal itu bisa memicu krisis pangan. "Krisis pangan akan ditentukan berapa lama kebijakan ini dijalankan," kata dia, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah melarang ekspor CPO dan produk turunannya hingga harga minyak goreng curah bisa sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14 ribu per liter. Saat ini harga minyak goreng curah di pasar tradisional berada di atas Rp 20 ribu per liter. "Larangan ekspor baru diumumkan pada akhir April, potensi penurunan harga baru terjadi pada Mei atau Juni,” ujar Yusuf.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Larangan ekspor CPO dan produk turunannya menjadi strategi terbaru pemerintah untuk mengendalikan harga minyak goreng. Sejak awal tahun, pemerintah sudah mengambil berbagai cara guna mengendalikan harga bahan pangan tersebut. Dari menetapkan satu harga acuan, memberikan subsidi untuk minyak goreng kemasan, menerapkan wajib pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO), hingga mematok HET. Namun cara-cara tersebut belum bisa menekan harga minyak goreng. Bahkan sempat terjadi kelangkaan pasokan minyak goreng di beberapa wilayah.

Pemindahan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dari kapal Global Marine ke truk tangki, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Dokumentasi TEMPO/Puspa Perwitasari

Harga CPO dunia pun kian meroket. Data dari Bursa Malaysia menunjukkan, hingga akhir pekan lalu, harga CPO untuk penyerahan Juni mencapai RM 7.600 per ton atau Rp 25,2 juta per ton. Harga ini naik RM 233 atau Rp 772 ribu per ton dibanding pada sehari sebelumnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, meminta pemerintah segera mengkaji kembali kebijakan tersebut lantaran lonjakan harga CPO dunia justru akan menguntungkan negara lain, seperti Malaysia. Akibatnya, potensi devisa yang seharusnya masuk ke Indonesia justru mengalir ke negara lain. Bhima khawatir Indonesia mendapat retaliasi atau pembalasan dari negara mitra lantaran dianggap proteksionis. "Indonesia pastinya dianggap sebagai biang keladi naiknya harga pangan dunia selain karena konflik di Ukraina," kata Bhima.

Global Network Against Food Crisis atau GNAFC menyatakan konflik Rusia dan Ukraina diperkirakan menimbulkan risiko serius untuk keamanan pangan global. Beberapa negara kini rawan mengalami krisis pangan, seperti Afganistan, Etiopia, Haiti, Sudan Selatan, Suriah, dan Yaman.

Berpendapat senada dengan Bhima, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan larangan ekspor CPO ini bisa menurunkan kredibilitas Indonesia dan menghilangkan pangsa pasar global apabila kebijakan ini berkepanjangan. "Hilangnya pangsa pasar global tidak bisa diremehkan, terutama oleh kompetitor terdekat kita, yaitu Malaysia," ujarnya. Di sisi lain, harga sawit di tingkat petani pun berpotensi tertekan.

Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit, harga tandan buah segar di tingkat petani saat ini bervariatif Rp 2.300-2.900 per kilogram. Harga tersebut belum bergerak sejak 29 April lantaran pelaku industri sawit masih menghentikan kegiatannya seiring dengan libur Idul Fitri.

Pekerja menata tandan buah segar (TBS) sawit di Sulawesi Barat. Dokumentasi TEMPO/Fahmi Ali

Saat mengumumkan larangan ekspor CPO pada 27 April lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah telah menyadari potensi dampak negatifnya. Dia menyebutkan beberapa contoh, seperti berkurangnya produksi CPO, menurunnya devisa, hingga hasil panen sawit yang tidak terserap. "Saya tahu negara perlu pajak, negara perlu devisa, negara perlu surplus neraca perdagangan. Tapi memenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah prioritas yang lebih penting."

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi), Tungkot Sipayung, menyarankan pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan tersebut selepas Idul Fitri. Sebab, momentum puncak konsumsi telah selesai. Apalagi, kata dia, pemerintah sudah menyalurkan bantuan langsung tunai minyak goreng untuk rumah tangga kurang mampu dan pedagang kecil.  

Kini, Tungkot melanjutkan, pemerintah harus memikirkan nasib petani sawit yang terimbas larangan ekspor CPO. "Jika kebijakan larangan ekspor masih diperpanjang, akan memperpanjang ketegangan antara petani dan pabrik CPO akibat ketidakpastian harga referensi untuk sawit," ujar dia.  

Tungkot mengatakan Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 perlu berkontribusi terhadap upaya pengurangan inflasi dunia, khususnya negara-negara berpendapatan rendah yang banyak mengkonsumsi minyak sawit. “Sudah saatnya larangan ekspor CPO dievaluasi dan dicabut," kata dia.

CAESAR AKBAR
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus