Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA tiga kunci yang menjadi sya-rat suksesnya bisnis properti: lokasi, lokasi, dan lokasi. Selebihnya adalah variabel pendukung. Karena itu, apa pun yang terjadi dengan bisnis ini—bergairah atau lesu—faktor lokasi tetap menjadi penentu.
Dampak kenaikan harga minyak le-bih dari 100 persen pada Oktober lalu terasa langsung pada bisnis ini. Selain itu, tingginya suku bunga kredit, yang rata-rata masih di atas 13 persen, sudah merupakan alasan yang lebih dari cukup bagi para konsultan dan pelaku properti untuk mulai mengubah angka-angka target pembangungan dan penjualan mereka ke level yang lebih masuk akal.
Daya beli masyarakat menurun. La-pis-an bawah terhantam lebih cepat, la-lu merambat perlahan ke level ekonomi yang lebih tinggi. ”Efeknya ternyata le-bih besar dari yang diperkirakan,” kata Panangian Simanungkalit, Direktur Pu-sat Studi Properti Indonesia. Peningkat-an masih tampak di beberapa subsektor, tapi secara umum lajunya mulai memperlihatkan tanda-tanda melambat sejak akhir tahun lalu.
Data yang direkam lembaga itu menunjuk-kan, nilai kapitalisasi bisnis ini, yang pada 2002 tercatat hampir Rp 27 triliun, terus melambung tiap tahun hingga Rp 92 triliun lebih pada 2005. Tapi tahun ini, keseluruhan proyek diperkirakan hanya sedikit di atas Rp 81 triliun. Penurunan diperkirakan masih akan berlangsung tahun berikutnya, dengan nilai kapitalisasi paling banter Rp 69 triliun.
Kelesuan dengan gampang kita temukan wujudnya dalam banyak proyek perumahan, dan lebih nyata lagi dalam proyek pusat dagang dan belanja yang bertaburan di Jakarta dan sekitarnya.
”Pusat belanja mulai jenuh terkait de-ngan jumlah pasokan yang meningkat tajam,” kata Ciputra, raja properti yang mengendalikan Grup Jaya, Grup Metropolitan, dan Grup Ciputra. Tapi, dalam properti, ketepatan memilih lokasi masih mungkin mengatasi problem pasok-an yang melimpah itu. Selama tersedia ”area tangkapan” memadai seperti kawas-an bisnis atau perumahan dengan konsumen berdaya beli menengah dan tinggi, ”Di sanalah pusat belanja akan hi-dup.” ”Memang akan berat pada dua ta-hun pertama,” ujar Tombak Suhendro, manajer umum di Margo City, Kota Depok.
Dibuka menjelang Lebaran pada Sep-tem-ber lalu, kini proyek perbelanjaan untuk pangsa menengah atas milik Grup Djarum seluas 67 ribu meter persegi itu baru dibuka 40 persen. Selebih-nya masih melompong atau sengaja ditutup tripleks karena kondisinya yang be-lum sempurna. ”Banyak penyewa masih sama-sama menunggu,” kata Tombak lagi.
Hanya sepelemparan batu, terpisah Jalan Margonda Raya, dari Margo City, pusat dagang Depok Town Square masih punya lebih banyak lahan untuk dilego. Beda dengan Margo City yang menyewakan lahan, proyek milik Grup Lippo ini menerapkan konsep strata title—lahan dikaveling lalu dijual putus. Saat ini Detos, singkatan Depok Town Square, menjual 2.123 unit toko di area seluas hampir 105 ribu meter persegi. ”Masih ada sisa 300 unit lagi,” kata Bevi Linawati, pengelola pusat dagang ini.
Kalau saja semua pembeli langsung membuka tokonya, sisa unit yang dikatakan Bevi itu bukanlah soal besar. Masalahnya, pintu-pintu gulung di unit yang sudah terjual pun hingga kini masih banyak yang tak pernah dibuka sejak diserahkan kepada pemiliknya pada Oktober lalu.
Toko semacam ini ada seribuan unit, 300-400 di antaranya dibeli oleh mereka yang aslinya memang tak ada niat buka toko. ”Mereka beli untuk dijual lagi,” ujar Bevi.
Pertarungan antarpengelola pusat dagang yang sengit di Depok adalah gambaran umum tren properti di subsektor ini. Mal bertaburan kejar-mengejar de-ngan proyek perumahan yang juga menjamur di wilayah pinggiran Jakarta.
Selama jam kerja, penghuni wilayah ini kebanyakan mengais rezeki ke Jakarta. Karena itu, malam harinya, atau Sabtu-Minggu, mereka perlu rekreasi. Kebutuhan itulah yang dicoba dijaring pusat-pusat belanja itu.
Di Depok, kota dengan penduduk 1,3 juta jiwa, persaingan makin ramai. Soalnya di sana banyak mahasiswa yang bersekolah di pelbagai kampus—Universitas Indonesia, Gunadarma, Univeritas Pancasila, untuk menyebut beberapa.-
Saat-saat sebagian penghuni tetapnya sibuk di Jakarta, kota ini masih saja berdenyut oleh aktivitas anak kampus. Biaya kuliah yang tinggi mengindikasikan para mahasiswa ini datang dari keluarga menengah yang tak sungkan melenggang ke mal.
Tak pelak, Depok merupakan salah satu pusat bidikan para pengembang. Selain dua pusat perdagangan tadi, masih ada ITC di ujung Margonda Raya yang menggandeng hipermarket Carrefour. Ketiga raksasa pendatang baru ini dengan segera menggilas pendahulu yang lebih kecil seperti Depok Mal, Plaza Depok, dan supermarket Hero. Supermarket Superindo bahkan memilih angkat kaki dan menyingkir lebih jauh ke pinggir kota ke arah Sawangan.
Datang beriringan dengan riuhnya pengembang ini adalah para spe-kulan. Mereka kebanyakan individu yang oleh Panangian Simanungkalit disebut ke-kuatan ekonomi yang tak pernah tercatat. ”Uang mereka di bawah bantal,” kata-nya.
Jumlahnya sulit terdeteksi tapi diyakini sangat besar. Setidaknya hal itu tampak selama krisis berlangsung. Terbukti merekalah yang menopang perekonomian tetap jalan dan tak sesuram analisis para ekonom. Konsumsi barang mewah seperti mobil terus saja tumbuh selama kurun itu. Begitu juga halnya properti.
Dalam taraf tertentu, aksi para spekulan memang acap menjengkelkan para pengelola, yang ingin mal baru mereka cepat ramai oleh pedagang sungguhan. Tapi, menurut Wakil Presiden Direktur Coldwell Banker Property Indonesia, Budhi Gozali, pasar sekunder yang tercipta dari tangan mereka tetap diperlukan, karena justru tak terlalu terpengaruh kondisi ekonomi makro.
”Pasar sekunder akan terus berjalan,” katanya. Di subsektor perumahan dan apartemen, pasar sekunder yang didorong aksi para spekulan boleh dibilang lebih marak. ”Rumah adalah kebutuh-an pokok, karena akan selalu ada permintaan.” Maka tak aneh jika ada proyek yang langsung ludes terjual begitu selesai dibangun, tapi hingga bertahun-tahun kemudian tetap sepi penghuni.
Sebagai lahan investasi, properti memang tak kalah menarik dibanding deposito atau reksadana. Produknya jelas tak kenal busuk. Dan selama administrasi pendukungnya beres, investasi properti hampir tak punya risiko penurunan nilai. ”Tak ada ceritanya harga ta-nah turun,” kata Panangian. Lagi-lagi: kuncinya adalah lokasi.
Panangian menyebutkan kawasan Ci-bubur dan Serpong sebagai area bidikan lain yang kini banyak diburu investor properti yang mengincar pangsa me-ne-ngah atas. Lihat saja yang terjadi di kanan-kiri jalan raya Tangerang-Ser-pong yang penuh bangunan apartemen dan pusat belanja. Begitu pula dengan Cibubur, yang terus melaju sebagai kawasan hunian kelas atas.
Ciputra, yang berpengalaman 45 tahun menggeluti bisnis ini, punya teori, ”Realestat adalah bisnis yang mengikuti siklus.” Lajunya boleh saja melambat sementara, tapi para pengembang tetap bisa berharap tahun berikutnya peluang masih akan terbuka. Pendorong yang amat dinanti adalah penurunan suku bunga kredit. ”Kalau bisa di bawah 10 persen, kenaikan permintaan akan sangat besar.”
Selama kota terus berdenyut, selama itu pula bisnis properti punya masa depan. Kebutuhan akan apartemen tetap tinggi, selama problem kemacetan lalu-lintas menjadi kecenderungan di kota-kota besar. Pada saat bersamaan, me-reka yang berkantong lebih tebal akan punya kebutuhan memiliki rumah ke-dua yang lebih nyaman di pinggiran kota yang berudara relatif lebih bersih.
Maraknya kegiatan ekonomi yang menyebar ke daerah-daerah seiring dengan berjalannya kebijakan otonomi membawa serta pula peluang bisnis itu ke sana. ”Di Sumatera Utara, kami mulai menjajaki Binjai,” kata Danang Kemayan Jati, juru bicara Grup Lippo. Satu lagi pusat belanja mereka bangun di Medan. ”Di Malang dan pinggiran Surabaya kami juga membangun.”
Seperti halnya Ciputra yang melanglang hingga Vietnam dan India, Lippo dan grup besar seperti Salim dan Sinar Mas pun tak membatasi lokasi bidikan mereka hanya di Tanah Air. ”Banyak yang bilang Vietnam sama seperti Jakarta 15 tahun lalu,” kata Budhi Gozali tentang peluang bisnis di negeri itu.
Dan di mana pun tempatnya, selama lokasinya cocok dan menjanjikan, ke sanalah para pengembang akan membangun propertinya. Tak ada istilah mentok dalam bisnis ini.
Y. Tomi Aryanto, Heri Susanto
Penguasa Rimba Beton
MEREKA bukan Iktinos dan Kallikrates, dua arsitek yang membangun kuil Parthenon di Acropolis, Athena, Yunani, jauh sebelum Masehi. Tapi, dari duit yang mereka kucurkan, puluhan apartemen, pusat belanja, dan perkantoran tegak mengacung, tak hanya di langit Ja-karta tapi hingga ke Kalkuta, Hanoi, dan Shanghai. Inilah potret penguasa ”rimba beton” Indonesia. Tiarap saat krisis ekonomi mendera, langsung melompat ketika peluang kembali terbuka.
Trihatma Kusuma Haliman
Nilai kapitalisasi: Rp 15,2 triliun
Pengalaman membangun Simpruk Golf (26 haktare) dan Sunter Agung Podomoro (dari 32 hektare menjadi 500 hektare) sejak 1970-an menempa Trihatma. Setelah krisis ekonomi menggempur pada 1997-1998, bos Grup Agung Podomoro ini sukses berekspansi ke bisnis apartemen, perkantoran, dan pusat belanja.
Proyek:
- Pakubuwono Residence, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
- The Peak, Jakarta Selatan
- Gading Mediterania Residence dan Gading Resort Residence, Kelapa Gading, Jakarta Timur
- Mediterania Garden Residence, Tanjung Duren, Jakarta Barat
- Mediterania Lagoon Residence dan Mediterania Palace Residence, Kemayoran, Jakarta Pusat
- Sudirman Park, Jakarta Pusat
- Permata Mediterania, Permata Hijau, Jakarta Barat
- Mangga Dua Square (saham 35 persen)
- Kelapa Gading Square (saham 50 persen)
- Plaza Semanggi (saham 40 persen)
- Senayan City (kerja sama dengan Grup Artha Graha)
Mochtar Riady
Nilai kapitalisasi: Rp 13,7 triliun
Ia bankir yang pada 1992 merambah properti: membangun Lippo Cikarang dan Lippo Karawaci. Belakangan dinakhodai James Riady, anaknya, bisnis Mochtar kian ekspansif. Di luar negeri ia memiliki Tati City, sebuah kota baru di provinsi Fujian Cina dan perkantoran Plaza Lippo di Shanghai, negeri yang sama.
Proyek:
- Lippo Tanjung Bunga, Makassar
- WTC Serpong, Tangerang
- Gowa Trade Centre, Makassar
- Mal Metropolis Tangerang
- Depok Town Square
- Cibubur Town Square
- Malang Town Square
Ciputra 3
Nilai kapitalisasi: Rp 13,5 triliun
Sejak 1980-an, ia giat membangun pelbagai perumahan mewah. Satu karya monumentalnya adalah Taman Impian Jaya Ancol. Kini alumnus arsitek ITB itu melebarkan sayap hingga India dan Vietnam.
Proyek:
- Kolkata West International City, Kalkuta, India
- Citra West Lake, Hanoi, Vietnam
- Citra Garden (Manado, Medan, Pekanbaru, Lampung)
- Citra Grand, Cibubur
- Hotel Citraland (Jakarta dan Semarang)
Sugianto Kusuma
Nilai kapitalisasi: Rp 11,5 triliun
Tak banyak yang tahu soal kiprah pengusaha ini. A Guansapaan Sugiantodiketahui memilki hubungan erat dengan bos Artha Graha, Tomy Winata. Kini ia mengembangkan kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), pusat bisnis elite di jantung Jakarta.
Proyek:
- Dharmawangsa Square
- Kelapa Gading Square (saham 50 persen)
- Mangga Dua Square (kerja sama dengan Grup Agung Podomoro dan Grup Artha Graha)
Muktar Widjaja
Nilai kapitalisasi: Rp 10 triliun
Lewat bendera PT Duta Pertiwi Tbk., anak perusahaan Grup Sinar Mas, Muktar dianggap sebagai pencetus trade center. Salah satunya ITC Mangga Dua, yang berdiri sejak 1989. Putra taipan Eka Tjipta Widjaja itu kini fokus mengembangkan kota baru Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang.
Proyek:
- ITC (Roxy Mas, Fatmawati, Mangga Dua, Permata Hijau, Cempaka Mas, Kuningan, Depok)
- Mal Ambasador
- Kota Bunga, Cipanas, Cibubur
- Kota Wisata dan Legenda Wisata, Cibubur
- Apartemen Graha Cempaka Mas
Tan Kian
Nilai kapitalisasi: Rp 8 triliun
Bos Grup Dua Mutiara ini dikenal ulung dalam mengemas bisnis. Tanpa memakai iklan, misalnya, ia mampu menjual apartemen mewah senilai US$ 1-2 juta per unit tiap hari.
Proyek:
- JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta Selatan
- Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Selatan
- Sudirman Residences (kerja sama dengan Grup Salim)
- Pacific Palace, kawasan SCBD, Jakarta Selatan (kerja sama dengan Grup Artha Graha)
Alexander dan Melinda Tedja
Nilai kapitalisasi: Rp 7,5 triliun
Dari Surabaya, pasangan suami-istri ini meramaikan peta bisnis properti Tanah Air. Lewat perusahaan Pakuwon Jati, mereka membangun pusat belanja, perumahan, hotel, hingga apartemen. Alex kerap dijuluki raja pusat belanja.
Proyek:
- Somerset Pakuwon Berlian, Jakarta
- Royal Plaza, Surabaya
- Tunjungan Plaza I - IV, Surabaya
- Pakuwon Trade Center, Surabaya
- Supermal Pakuwon Indah
Jan Darmadi
Nilai kapitalisasi: Rp 6,3 triliun
Skyline (kini Menara Cakrawala) salah satu proyek prestisiusnya pada 1974. Gedung ini menjadi pencakar langit pertama di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Terlahir sebagai putra usahawan tekstil di Pintu Kecil, Glodok, Jakarta, Jan memulai kariernya pada usia 23 tahun. PT Jakarta Setiabudi Internasional Tbk. adalah induk perusahaan propertinya.
Proyek:
- Setiabudi One
- Apartemen Setiabudi
- Plaza Setiabudi
- Galeri Nusa Dua, Bali
- Hotel Grand Hyatt, Bali
- Mega Kuningan Land
- Setiabudi Residences
Nirwan Bakrie
Nilai Kapitalisasi: Rp 5,8 triliun
Krisis ekonomi menghujamkan PT Bakrieland Development Tbk., induk bisnis Bakrie di bidang properti, ke titik terendah. Tapi perusahaan yang dikendalikan Nirwan Bakrie, adik Menteri Koodinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, itu bisa bangkit. Ia kini membangun superblok Rasuna Epicentrum.
Proyek:
- Legian Nirwana Suites, Bali
- Krakatoa Nirwana Resort, Lampung
- The 18th Residence
- Rasuna Office Park
Gunarso S. Margono
Nilai kapitalisasi: Rp 5,6 triliun
Dari “calo” tanah di Bekasi Selatan pada 1980-an, Gunarso melangit dengan mendirikan Grup Gapura Prima.
Proyek:
- The Belezza, Permata Hijau
- The Bellagio (Residance dan Mansion), Mega Kuningan
- Serpong Town Square
- Bandung Trade Center
Murdaya Widyawimarta
Nilai kapitalisasi: Rp 5,5 triliun
Lewat PT Metropolitan Kentjana Tbk., suami Hartati Murdaya ini merambah bisnis properti. PT Metropolitandulunya milik Grup Salimdidapat Murdaya lewat program sales and purchase agreement BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) pada 2002. Nilainya 47,5 persen saham atau setara dengan Rp 600 miliar.
Proyek:
- Pondok Indah Mal 1&2
- Pondok Indah Estate
- Wisma Metropolitan I&II
- World Trade Center
Soetjipto Nagaria
Nilai kapitalisasi: Rp 4,5 triliun
Saat masih dibekap rawa dan lumpur, 500 hektare lahan di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dibebaskan Soetjipto pada 1976. Wajah Kelapa Gading disulapnya menjadi kawasan komersial. Tak mengherankan bila alumnus Teknik Kimia ITB yang juga bos PT Summarecon Agung Tbk. ini dijuluki ”Naga Properti“ Kelapa Gading.
Proyek:
- Mal Kelapa Gading 1–3
- La Piazza
- Sentra Summarecon
- Gading Serpong
- Gading Park View
- Wisma Gading Permai
- Apartemen Summerville
Robert Budi Hartono
Nilai kapitalisasi: Rp 4,1 triliun
Bos Grup Djarum ini merambah lewat PT Cipta Karya Bumi Indah dan membangun superblok Grand Indonesia, di bekas Hotel Indonesia dan Hotel Wisata, Jakarta Pusat.
Proyek:
- WTC Mangga Dua
- Pulogadung Trade Center
- Grand Hotel Indonesia
Setyono Djuandi Darmono
Nilai kapitalisasi: Rp 3,9 triliun
Kariernya di bidang properti dimulai saat membangun kawasan realestat Bumi Bintaro Permai pada 1982. Enam tahun kemudian, Darmono mengembangkan kawasan industri Jababeka di Cikarang, Jawa Barat.
Proyek:
- Kawasan Jababeka (industri, perumahan, pusat belanja, golf dan country club)
- Menara Batavia, Jakarta
- Tanjung Lesung Resort, Banten Selatan
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo