Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lika-liku Rencana Impor Beras Bulog

Bulog berencana mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton untuk memenuhi stok 1,2 juta ton. Pakar pertanian menilai Bulog gagal menyerap beras.

26 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) berancang-ancang mengimpor beras untuk memenuhi cadangan berasnya, yang ditargetkan mencapai 1,2 juta ton pada akhir tahun ini. Pada 22 November lalu, stok beras perusahaan pangan pelat merah itu hanya sekitar 594 ribu ton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Utama Bulog, Budi Waseso, mengklaim telah mendapat penugasan untuk memenuhi cadangan beras lembaganya melalui impor dengan kuota 500 ribu ton. Langkah mendatangkan pasokan dari luar negeri itu akan ditempuh apabila perseroan tak kunjung bisa memenuhi cadangan berasnya dari produksi dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ini hasil keputusan rakortas (rapat koordinasi terbatas). Jadi, seandainya harus impor, bukan berarti jatah 500 ribu ton lalu didatangkan semua. Kami akan melihat produksi di dalam negeri," tutur Budi dalam rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 23 November lalu.

Ia mengatakan, dalam empat tahun terakhir, Bulog selalu memenuhi cadangan beras pemerintah melalui produksi dalam negeri, meski harus menebusnya dengan harga mahal. Saat ini pun Bulog diperkenankan membeli beras di atas harga pembelian pemerintah (HPP) alias menggunakan harga komersial Rp 8.850-10.200 per kilogram.

Perkaranya, kata Budi, saat ini pasokan beras yang tersedia untuk diserap Bulog sulit ditemukan. "Sampai hari ini (penyerapan beras dalam negeri dengan harga komersial) masih kami lakukan. Bukannya kami tidak mau, tapi jumlah (500 ribu ton) tak tercapai. Tidak ada barangnya," ujarnya.

Dalam rapat koordinasi terbatas yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada awal November lalu, Kementerian Pertanian berjanji menyiapkan pasokan beras 500 ribu ton untuk diserap Bulog. Namun, setelah Bulog mengecek ke lapangan, pasokan yang tersedia lebih rendah daripada data Kementerian Pertanian.

Padahal janji pasokan dari Kementerian Pertanian itulah yang membuat Bulog masih menahan impor. Kementerian Pertanian kembali mengumbar janji pasokan dalam rapat bersama DPR pada Rabu lalu. Kementerian kini berjanji menyiapkan pasokan 600 ribu ton beras dalam jangka waktu enam hari sejak rapat tersebut.

Selain soal ketersediaan pasokan untuk diserap di dalam negeri, dalam rapat bersama DPR tersebut, Budi pun mengeluhkan proses perizinan impor yang bertele-tele. "Sudah perintah negara tertulis, untuk memperoleh izin, kami berputar-putar. Tidak langsung dapat," tutur Budi.

Sementara itu, Bulog juga berpacu dengan waktu untuk mengamankan pasokan dari impor. Musababnya, beberapa negara sumber impor beras disebut-sebut mulai menutup keran ekspor. "Kalau sampai terlambat, kita tidak akan mendapat barangnya," ujar Budi.

Tanpa tambahan pasokan, cadangan beras Bulog diperkirakan menipis hingga ke kisaran 300 ribu ton pada akhir tahun ini, dengan asumsi perseroan harus terus menggelontorkan beras untuk program Ketersediaan Pangan dan Stabilisasi Harga (KPSH).

Ihwal ancang-ancang Bulog melakukan impor, pelaksana tugas Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Syailendra, mengatakan hingga saat ini kementeriannya belum menerima pengajuan izin. "Sampai hari ini, masih belum ada izin impor. Kalau melihat cadangan Bulog, kan kelihatannya perlu (impor), tapi data dari Kementan surplus," tutur dia.

Syailendra mengatakan pemerintah idealnya memiliki cadangan beras minimal 1,5 juta ton supaya Bulog leluasa menyalurkan beras, baik untuk stabilisasi harga, bantuan sosial, maupun cadangan bencana. Meski demikian, angka 1,5 juta ton sesungguhnya masih di bawah standar Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), yang sebesar 7 persen dari kebutuhan atau sekitar 2,1 juta ton.

Menurut Syailendra, posisi Kementerian Perdagangan saat ini tengah menunggu pengajuan izin impor dari Bulog. Kementerian Perdagangan tidak akan meminta Bulog melakukan impor, terutama apabila masih ada peluang untuk memaksimalkan serapan dari dalam negeri. "Bulog meminta impor terus, tapi kami tidak bisa menafikan bahwa yang paham barangnya adalah Kementerian Pertanian. Kalau dia bilang surplus, masak kita impor?" tuturnya.

Syailendra menyebutkan Kementerian Perdagangan pada prinsipnya akan segera memberi izin impor apabila sudah ada pengajuan serta berbagai kelengkapan yang dipersyaratkan sudah dipenuhi. Ia pun menegaskan bahwa posisi Kementerian Perdagangan saat ini adalah melihat dan menunggu. "Kan susahnya nanti Kemendag dianggap minta impor. Padahal kami melihat saja. Kalau tidak ada (pasokan), lalu semua dokumen (pengajuan impor) lengkap, kami akan memberi izin," ucap Syailendra.

Menolak Impor

Buruh tani mengayak gabah saat panen di persawahan di Cidurian Utara, Bandung, Jawa Barat, 10 Oktober 2022. TEMPO/Prima mulia

Di sisi lain, rencana impor beras menuai banyak reaksi penolakan. Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, mengatakan impor beras saat ini akan menyakiti petani lantaran bakal memukul harga gabah petani. Sebab, biasanya beras impor perlu waktu lama untuk tiba di Tanah Air.

"Kalau beras masuk tiga bulan kemudian, manfaatnya apa? Karena pada saat itu sudah menjelang masa panen raya. Pada Februari, panen sudah cukup besar," ujar Andreas, yang juga guru besar pertanian Institut Pertanian Bogor. Ia memperkirakan tekanan terhadap harga gabah petani sudah akan terasa meski beras impor belum tiba di Tanah Air.

Andreas mengibaratkan nasib petani akan seperti sudah jatuh tertimpa tangga apabila pemerintah jadi mendatangkan beras impor. Musababnya, pada masa panen raya tahun ini, ia menilai Bulog tidak melakukan penyerapan maksimal, sehingga harga gabah kering panen petani anjlok di bawah HPP Rp 4.200 per kilogram selama empat bulan berturut-turut sejak Maret sampai Juni lalu.

Penyerapan yang kurang maksimal tersebut dibuktikan dengan stok cadangan beras Bulog yang hanya 1 juta ton pada Juli lalu. Padahal biasanya perseroan memiliki cadangan beras di atas 2 juta ton pada periode yang sama karena menyerap gabah dari panen raya saat harga petani jatuh.

Tudingan Andreas selaras dengan data Badan Pangan Nasional, yang mencatat serapan beras Bulog hingga 22 November hanya 912 ribu ton. Padahal, dalam empat tahun sebelumnya, Bulog bisa menyerap hingga di atas 1 juta ton pada periode Januari-November.

"Pada saat panen raya, petani tidak mendapat manfaat karena tidak ada serapan yang memadai dari pemerintah, sehingga harga jatuh selama empat bulan berturut-turut. Tapi, ketika saat ini harga sedang bagus, tiba-tiba ada rencana impor," ujar Andreas. Ia menegaskan bahwa impor tersebut tidak akan bermanfaat lantaran diperkirakan datang menjelang masa panen raya.

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Ayip Said Abdullah, turut mengingatkan berbagai mudarat dari impor beras. Ia mengatakan implikasi langsung dari kebijakan tersebut adalah harga di tingkat petani pasti turun. "Pengusaha penggilingan pasti akan menekan harga gabah di tingkat petani ketika beras impor masuk," tutur Said.

Ia menilai imbas tekanan harga itu berbahaya karena bisa mempercepat laju konversi lahan. Apabila keuntungan terus turun, bahkan rugi, petani akan memilih melepas sawah daripada terus boncos. "Semangat regenerasi tidak akan terwujud," tutur Said. Ujung-ujungnya, kebijakan tersebut dalam jangka panjang bisa semakin memperdalam ketergantungan pada pasar luar.

Soal konversi lahan, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengingatkan bahwa proyeksi Badan Pusat Statistik tentang kenaikan produksi beras pada 2022 perlu diterima dengan hati-hati karena basis estimasinya adalah luas lahan baku sawah pada 2019 yang sebesar 7,46 juta hektare. Padahal, menurut dia, konversi lahan sawah dalam beberapa waktu belakangan cukup masif. Terlebih di Jawa yang dipenuhi berbagai proyek strategis nasional, seperti jalan tol Trans Jawa yang banyak mengorbankan lahan pertanian produktif.

"Dari peta lahan sawah dilindungi pada 2021 di delapan provinsi utama beras, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan Sumatera Barat, kami menemukan selisih hingga 136 ribu hektare dengan luas lahan baku sawah pada 2019. Tanpa pelindungan, lahan sawah seluas itu sangat mungkin sudah dikonversi."

Dengan kata lain, Yusuf mengimbuhkan, sangat mungkin luas lahan baku sawah pada 2019 yang sebesar 7,46 juta hektare sudah turun signifikan. "Jadi, selain karut-marut data beras, rencana impor beras 600 ribu ton untuk cadangan Bulog ini menunjukkan kegagalan pemerintah meningkatkan produksi beras dan tanaman pangan utama lainnya."

CAESAR AKBAR | NOVA YUSTIKA PUTRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus