Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

LPEM UI Beberkan Dampak Rupiah Jeblok: Perlambatan Ekspansi Industri Makin Parah

LPEM FE UI menyebut nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS memperparah pelambatan industri khususnya yang bergantung pada impor.

21 Juni 2024 | 17.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah sejak awal tahun 2024. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM FEB UI) mencatat Rupiah terdepresiasi sebesar 2,79 persen secara bulanan pada pertengahan Mei dan pertengahan Juni. Lesunya rupiah tersebut telah mencapai level terendah sejak April 2020, terutama disebabkan oleh penguatan dolar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Analis LPEM FE UI mencatat pelemahan rupiah telah memperparah perlambatan ekspansi industri yang terjadi saat ini. Hal ini diakibatkan oleh 90 persen impor Indonesia berasal dari bahan baku dan barang modal. “Sehingga berkaitan langsung dengan aktivitas produksi domestik,” demikian paparan dari dokumen analisis LPEM FE UI dikutip Jumat, 21 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara tahunan, nilai impor barang modal dan bahan baku turun sebesar 7,51 persen year on year dan 10,13 persen year on year. Apabila tidak dimitigasi secara baik, risiko dari penurunan ekspor dan perlambatan aktivitas produksi domestik akan membayangi dalam beberapa bulan kedepan.

Hal senada dipaparkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Kamdani. Ia menyebut ada penurunan produktivitas dan daya saing industri saat rupiah melemah. Kondisi ini menambah beban operasi usaha, terutama jika perusahaan harus mengimpor bahan baku.

Beban logistik dan rantai pasok hingga pembiayaan juga meningkat saat rupiah melemah. Kombinasi dari dampak ini mengakibatkan kinerja usaha menurun. “Serta menghambat investasi dan perluasan usaha dalam jangka pendek," ujar Shinta kepada Tempo, Kamis 20 Juni 2024.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia, Redma Gita Wirawasta, mengkonfirmasi tekanan akibat pelemahan rupiah ini. Redma mengatakan anggotanya masih banyak mengandalkan bahan baku impor. Untuk senyawa Mono Etilen Glikol misalnya, kebutuhannya masih 90 persen dari luar negeri.

Pasar global dan domestik tengah melemah sehingga utilitas sebagian besar pabrik sudah di bawah 50 persen. Saat rupiah melemah, biaya produksi yang meningkat bakal menggerus arus kas, dan onsekuensinya adalah penutupan pabrik. Redma memaparkan dalam dua tahun terakhir, setidaknya ada 50 pabrik tekstil dan garmen yang tutup lantaran tak bisa bertahan.

Strategi yang dilakukan pengusaha saat ini adalah menjaga arus kas dengan mengatur produksi. Mereka yang masih memiliki stok bahan baku akan menahan diri belanja bahan baku. Jika dana perusahaan mencukupi atau saat rupiah membaik baru impor kembali dilakukan. "Jadi dia produksi, setelah itu stop satu atau dua bulan sebelum lanjut lagi," ujarnya.

ILONA ESTHERINA | VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus