Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAHAN 10 hektare milik Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan, Banten, masih lebat oleh ilalang. Saat disambangi pada Jumat dua pekan lalu, tak terlihat kegiatan pembangunan apa pun di sana. Menurut rencana, di lokasi itulah lembaga riset nuklir milik negara ini akan membangun reaktor daya eksperimen alias pembangkit listrik tenaga nuklir versi mini.
Dalam rancangannya, Batan mengusulkan reaktor daya berkapasitas 10 megawatt. Tapi muncul wacana untuk meningkatkannya menjadi 30 megawatt. "Tergantung anggaran yang akan diberikan pemerintah," kata Kepala Batan Djarot Sulistio Wisnubroto. Reaktor daya ini akan menjadi proyek percontohan bagi Batan untuk unjuk kemampuan sekaligus meyakinkan publik menyangkut aspek keamanan dan lingkungan.
Gagasan membangun pabrik setrum berbasis nuklir sebenarnya telah lama diperbincangkan. Bahkan pemerintah telah menyusun buku putih atau peta jalan program ini sejak Agustus tahun lalu. Djarot menjelaskan, dalam rapat yang dipimpin Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral—saat itu Susilo Siswoutomo—pada 19 Agustus 2014, mereka sepakat membuat buku putih yang memuat dasar pemikiran serta rekomendasi. Intinya, dalam kalkulasi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, tanpa nuklir, target 23 persen penggunaan energi baru dan terbarukan pada 2025 hampir pasti meleset.
Hadir dalam pertemuan itu Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE); Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional; dan Kepala Batan. Juga perwakilan dari Badan Geologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Perindustrian, serta Badan Koordinasi dan Penanaman Modal. Hasilnya, rapat menyetujui perlunya pembangunan pembangkit nuklir 5.000 megawatt pada 2024.
Dalam buku putih itu dijelaskan, berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2015-2024, rata-rata kebutuhan listrik nasional meningkat 5.900 megawatt per tahun. Padahal pembangkit listrik milik PT PLN (Persero) dan swasta (IPP) hanya mampu memenuhi sekitar 4.200 megawatt. Karena itu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, perlu ditambah 6,2 gigawatt per tahun agar pada 2020 kapasitas produksi listrik mencapai 125-150 ribu megawatt.
Untuk itu, yang dibutuhkan adalah pembangkit berkapasitas superjumbo, seperti reaktor daya nuklir. Bila tidak, defisit listrik akan menimpa Indonesia tahun depan. Tapi, mengingat besarnya kontroversi yang mengekor di belakangnya, sampai ujung kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah memilih menempatkan energi nuklir sebagai opsi terakhir, yakni setelah penggunaan batu bara, gas, panas bumi, dan energi baru-terbarukan lainnya optimal.
Gagasan membangun reaktor daya juga termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Syaratnya, mempertimbangkan keselamatan secara ketat dan berdasarkan kajian mendalam. "Artinya, sudah dibuka pintu untuk nuklir," kata mantan Wakil Menteri Energi Susilo Siswoutomo ketika ditemui pada Rabu pekan lalu di kawasan SCBD, Jakarta.
Berdasarkan hitungan Kementerian Energi bersama beberapa instansi, Susilo menjelaskan, meski pengembangan semua energi primer telah optimum, pasokan listrik masih akan tekor sekitar 5.000 megawatt pada 2024. Kemampuan produksi tak akan mampu mengejar pertumbuhan konsumsi yang bisa mencapai 7.000 megawatt per tahun. "Kalau sudah begitu, tak bisa tidak, nuklirlah yang bisa menutup defisit."
Batan telah pula menggelar studi tapak di Bangka pada 2011-2013 untuk mendapatkan lokasi yang layak dari sisi teknis. Parameternya, antara lain, lapisan tanah stabil dan jauh dari permukiman. Bersama PLN, mereka juga meneliti keekonomian transmisi. Kebetulan Gubernur Bangka Belitung Rustam Effendi memberikan sinyal hijau karena daerahnya sedang mengalami krisis listrik.
Susilo memastikan penyusunan buku putih telah rampung sebelum pergantian pemerintah sekitar Oktober 2014. Isinya saran alias rekomendasi peta jalan untuk mencukupi kebutuhan listrik nasional. Sebab, kewajiban pemerintah adalah menyediakan listrik. "Pemerintah punya pilihan, mau dibangun monggo, enggak ya monggo," ujarnya.
Karena sifatnya rekomendasi, menurut Djarot, masih diperlukan payung hukum agar rancangan itu bisa terwujud. Setidaknya penegasan dari presiden, meski undang-undang tidak mengharuskan pemimpin pemerintahan mengatakan go nuclear. Sebab, nuklir merupakan masalah sensitif di domestik dan internasional. Pembangunan pembangkit juga memerlukan waktu 7-10 tahun, melebihi masa jabatan presiden, sehingga dibutuhkan komitmen jangka panjang agar swasta yang akan terlibat merasa terjamin.
Kurang sepakat dengan isi buku putih itu, Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa bersama sejumlah akademikus dan aktivis mengirim surat kepada Menteri Energi pada 21 Mei lalu. Mereka mengutip dokumen Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) berjudul "Milestone in the Development of National Infrastructure for Nuclear Power". Dokumen ini merupakan panduan dasar dari IAEA bagi setiap negara yang akan mengembangkan PLTN. Salah satunya adalah posisi nasional.
Menurut Fabby, selama ini belum ada pernyataan yang jelas dari presiden untuk membangun PLTN, termasuk kesepakatan dalam sidang kabinet sejak 1998 hingga sekarang. Maka, Fabby menjelaskan, proses masuknya PLTN dalam rencana pembangunan belum bisa disebut sebagai konsensus nasional, karena tak melibatkan partisipasi publik yang utuh dan transparan.
Sembilan bulan lebih setelah penyusunan buku putih bertajuk PLTN 5.000 MW di Indonesia rampung, Kementerian Energi belum juga mempublikasikannya. "Masih menunggu proses di percetakan," kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Rida Mulyana, Kamis pekan lalu. Ia meyakinkan sosialisasi yang bersifat edukatif akan segera dilakukan kepada masyarakat.
Rida memastikan Menteri Energi Sudirman Said telah menandatangani dokumen buku putih tersebut. "Sudah lama," ujarnya. Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Maritje Hutapea mengkonfirmasi soal tanda tangan Menteri itu. Begitu pula Kepala Batan Djarot. "Itu menunjukkan perubahan sikap Kementerian Energi yang semula agak menolak, sekarang mulai terbuka," kata Djarot.
Maritje mengatakan buku tersebut menyajikan informasi yang utuh mengenai reaktor daya dari aspek teknis ataupun non-teknis. Tapi, kata dia, pemerintah belum membikin tata waktu pelaksanaannya. "Menunggu Presiden memberi petunjuk go or not go nuclear."
Belakangan, tekad yang telah bulat itu mendadak mengempis. Gara-garanya, kata seorang pejabat, adalah respons Presiden Joko Widodo. Saat Jokowi berkunjung ke Bangka Belitung pada Minggu, 21 Juni lalu, pers bertanya kepadanya tentang energi nuklir. Jawaban Presiden sungguh mengagetkan para pemangku kepentingan. "Belum mikir ke sana," ujarnya.
Urusan krisis listrik di Bangka Belitung, kata Jokowi, akan diselesaikan Menteri Energi dan Menteri Badan Usaha Milik Negara. "Sudah ada solusi. Nanti pembangkit yang tidak beres akan diganti mesin baru," ucapnya. Solusi jangka panjangnya: membangun pembangkit listrik tenaga uap baru.
Pernyataan Jokowi itu berbeda 180 derajat dengan komentarnya ketika berkunjung ke lokasi riset reaktor Batan di kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan, 13 April lalu. Saat itu turut hadir di sana Presiden RI ketiga, B.J. Habibie.
Dalam kesempatan itu, Djarot menyampaikan ihwal penyusunan buku putih dan berharap agar Presiden bisa segera mengumumkan go nuclear. "Jawaban Pak Jokowi, kalau ini program bagus, kenapa dulu-dulu tidak diumumkan?" Dulu-dulu yang maksud adalah rezim sebelumnya. "Pak Habibie menjawab, dulu ada kasus Chernobyl sehingga ditunda. Belakangan, ada peristiwa Fukushima, sehingga ditunda lagi."
Perubahan pernyataan Presiden itu mempengaruhi pula sikap para menteri. Sudirman Said, misalnya, kini membantah jika disebut telah meneken buku putih. "Enggak, saya tidak tanda tangan buku putih PLTN," ujarnya seusai rapat koordinasi perekonomian di Bank Indonesia, Selasa pekan lalu. Alasannya, ia harus konsisten terhadap hasil pembahasan di Dewan Energi Nasional. "Jadi kami mau lihat dulu konsistensinya."
Ditemui di tempat yang sama, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago mengatakan anggaran negara dialokasikan untuk proyek prototipe saja, meliputi persiapan untuk membangun tempat riset dan percontohan.
Menurut Djarot, pembangunan prototipe saat ini memasuki tahap pra-proyek untuk mendapatkan konsep desain dan biaya. Pemenang pra-proyek adalah konsorsium Jerman-Indonesia. Dari Jerman ada Nukem Technologies dan dari Indonesia yang terlibat adalah Rekayasa Engineering bersama Kogas. Mereka akan menggunakan teknologi dari Jerman dengan kategori generasi keempat.
Reaktor tipe high-temperature-gas-cooled reactor (HTGR) pernah dioperasikan dalam waktu panjang di Jerman, sehingga bisa dibilang cukup terbukti. Proyek tahun jamak ini diperkirakan menelan bujet Rp 1,7 triliun selama empat tahun. Konsep desain, estimasi biaya, dan kesiapan lokasi diharapkan kelar tahun ini. Targetnya, pembangunan dan uji coba rampung pada 2019, sehingga bisa dioperasikan tahun berikutnya.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) memelototi perkembangan buku putih itu. Sekretaris Utama Bapeten Hendriyanto Hadi Tjahyono mengatakan, jika sewaktu-waktu buku putih direalisasi sebagai proyek pembangkit nuklir, lembaga ini harus menyiapkan regulasi dari aspek teknis dan keamanan. "Lokasi, desain, konstruksi, hingga pengoperasian harus mendapatkan izin Bapeten," ia menjelaskan.
Sebagai lembaga pengawas, menurut Hendriyanto, Bapeten akan memastikan bahwa reaktor daya memenuhi aspek keselamatan dan keamanan dengan standar internasional. "Yang utama, menjamin nuklir aman bagi masyarakat."
Retno Sulistyowati, Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo