Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit atau PPDS telah diresmikan Presiden Joko Widodo pada Senin lalu, 6 Mei 2024. Untuk tahun pertama Kementerian Kesehatan menyediakan 38 kursi, namun Jokowi minta kuotanya ditambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya mengatakan bahwa pihaknya mengupayakan penambahan kuota peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) berbasis rumah sakit guna mempercepat pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di Indonesia.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, Arianti mengatakan bahwa terdapat kuota sebanyak 38 pada gelombang pertama. Namun, katanya, Presiden Jokowi meminta penambahan kuota awal itu.
"Tentu kami akan berusaha karena itu akan terkait dengan rasio dokter. Tetapi teman-teman karena kita ini di bawah pengawasan ACGME (Accreditation Council for Graduate Medical Education) tadi, tentunya kita juga akan diskusi dengan mereka," katanya.
Dia menjelaskan bahwa saat ini, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan sedang memetakan rumah sakit yang mampu menjadi rumah sakit jejaring dalam program tersebut.
"Kalau dilihat dari awal memang 38. Tetapi kan nantinya kita akan membuka jejaring lebih banyak lagi. Kalau sekarang kan jejaringnya masih yang tahap awal tentu masih pembelajaran. Nanti tahap kedua ini akan kita tambah jejaring lebih banyak lagi di rumah sakit-rumah sakit, di RSUD-RSUD," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, terdapat 6 RS milik Kemenkes yang sudah ditunjuk sebagai RSP-PU Pilot atau percontohan untuk program studi dokter spesialis, yakni RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (6 kuota), RS Anak dan Bunda Harapan Kita (6 kuota), RS Ortopedi Soeharso (10 kuota), RS Mata Cicendo (5 kuota), RS Pusat Otak Nasional (5 kuota), dan RS Kanker Dharmais (6 kuota).
Dalam kesempatan itu dia mengatakan bahwa program pendidikan dokter spesialis dengan rumah sakit pendidikan sebagai penyelenggara utama (PPDS RSPPU) bertujuan memenuhi kebutuhan tujuh dokter spesialis yang harus ada di setiap rumah sakit umum daerah, sesuai dengan standar pelayanan kesehatan.
Indonesia masih kekurangan lebih dari 27.000 dokter spesialis. Menurut Arianti, selain peralatan, tenaga medis menjadi salah satu faktor penting guna mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terutama untuk menangani empat penyakit penyebab kematian tertinggi, yakni stroke, penyakit jantung, kanker, dan penyakit ginjal.
Oleh karena itu, katanya, program tersebut memprioritaskan para dokter dari daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK), guna percepatan pemenuhan dokter spesialis di RI.
Pada dokter tersebut, ujarnya, tak perlu membayar biaya pendidikan, tapi malah dibayar oleh Kementerian Kesehatan. Setelah selesai menempuh pendidikan, ujarnya, mereka dikembalikan ke tempat asalnya untuk melayani masyarakat.
Dia mengatakan, pemerintah juga menggandeng Accreditation Council for Graduate Medical Education (ACGME), yang mengakreditasi program sejenis yang ada di Amerika, Singapura, Filipina, dan lain-lain, guna memastikan standar PPDS berbasis RS berkualitas global.
Berikutnya: Kemenkes Siap Batu Peserta PPDS yang Depresi atau Dibuli Senior
-
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya mengatakan, selain untuk memastikan keselamatan pasien, pihaknya melakukan skrining sebagai upaya menyusun kebijakan untuk membantu para residen atau peserta PPDS yang depresi.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, Azhar mengatakan bahwa dari seluruh komponen di RS, yaitu dokter, perawat, residen, dan lain-lain, residen atau peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) memiliki beban mental terberat.
"Anda bisa bayangin mereka pendidikan, melayani pasien, tidak bekerja pula, anak istrinya butuh uang, kadang-kadang mereka bukan lagi tinggal sama orang tua, sudah berkeluarga, dan sebagainya. Nah merekalah yang dalam tanda kutip, yang menanggung beban berat di rumah sakit, sehingga kami skrining dulu," katanya.
Hal tersebut dia ungkapkan sebagai respons pertanyaan media tentang pemantauan dan penanganan peserta PPDS yang mengalami gangguan mental. Azhar mengatakan, skrining tersebut dilanjutkan dengan diagnosis mendalam oleh psikiater.
Dia menilai, depresi bukanlah sebuah penyakit yang tak dapat disembuhkan. Apabila beban yang membuat depresi tersebut hilang, katanya, maka gangguan mental itu hilang.
Dia mencontohkan, sebelum masuk ke program pendidikan dokter spesialis, pihaknya bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek untuk Tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) untuk mengetahui kesiapan kejiwaan peserta.
Atau, ujarnya, untuk masalah keluarga peserta, seperti perceraian, anak sakit, tidak didukung pasangan atau keluarga, maka pihaknya mencoba mengumpulkan keluarganya untuk memberikan pemahaman agar dapat mengetahui dan siap menerima kehidupan peserta PPDS itu selama pendidikannya berlangsung.
"Terus kemudian kita bisa tahu juga, salah satunya, bahwa ini adalah masalah keuangan. Kita coba dengan (program pendidikan) hospital-based kita, tidak berbayar," katanya.
Adapun untuk masalah perundungan dari senior, kata Azhar, pihaknya mencoba mengatasi melalui berbagai peraturan dan sistem pencatatan.
"Kami tegas betul, residen senior yang membuli residen juniornya, nanti mereka akan mendapatkan catatan. Di dalam sistem logbook, jadi misalnya terlibat bullying dalam jangka waktu tertentu," katanya.
Dia menjelaskan, perilaku tersebut tercatat selama beberapa waktu tertentu, tergantung tingkat keparahan perundungan tersebut. Misalnya, kata dia, apabila ringan maka catatannya hanya sekitar lima bulan, namun apabila perundungannya berat, maka catatan tersebut bertahan hingga dua tahun.
ANTARA