Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERITANYA muncul secara beruntun dan peristiwanya terjadi di
mana-mana. Misalnya yang terjadi pekan lalu: 70 buruh perusahaan
Van Houten mengadu ke LBH. Karyawan Toko Buku Gunung Agung mogok
kerja selama empat jam. Sekitar 1500 buruh pabrik tekstil Five
Star Industries Ltd di Rancaekek, Bandung mogok kerja selama
sehari.
Mengapa keresahan buruh terus menjadi jadi? Mengapa buruh seakan
semakin berani menuntut perbaikan nasibnya? Apa yang menjadi
sumber utama keresahan buruh?
Pertanyaan-pertanyaan itu rasanya terlalu sering diulang
sehingga seakan terasa seperti pertanyaan abadi. Berbagai
jawaban dan analisa yang dihasilkan lewat diskusi dan lokakarya
tampaknya masih merupakan jawaban di atas kertas saja dan belum
bisa mengatasi masalahnya secara mendasar.
"Mogok itu berarti bunuh diri. Kaum buruh menyadari mereka bisa
dipecat. Tapi mengapa mereka tetap berani mogok?" tanya Sutanto
Martoprasono, Ketua Umum Sarbumusi dan anggota DPR Komisi VI.
Jawabnya sendiri: "Itu dilakukan karena mereka memang kepepet
betul."
Kepepet. Atau tergencet. Sebagian besar buruh Indonesia
tampaknya memang merasa diri mereka terpojok. Terutama setelah
Kenop 15 pada 1978 yang mendorong buruh menuntut penyesuaian
upah.
Namun agaknya ada beberapa faktor lain di samping motif ekonomi,
yang menyebabkan naiknya jumlah kasus sengketa perburuhan. Para
buruh yang kini berani berjuang menuntut perbaikan nasib berbeda
dengan buruh satuatau dua dasawarsa yang silam.
Pembangunan di bidang pendidikan menyebabkan timbulnya generasi
buruh baru berusia muda yang pendidikannya lebih baik. Banyak di
antara mereka yang tamatan SMA, STM atau jebolan perguruan
tinggi. Sekitar 45 persen dari angkatan kerja Indonesia yang
berjumlah sekitar 60 juta orang berumur antara 14 sampai 19
tahun. Ciri kaum muda pada usia itu adalah agresif militan,
dinamis dan berani.
Pendidikan yang lebih tinggi meningkatkan juga kesadaran sosial
politik mereka. Di samping itu kesadaran akan hak-hak mereka
sebagai buruh rupanya juga tergugah oleh berbagai pendidikan
perburuhan yang diselenggarakan pemerintah, YTKI dan FBSI (lihat
box).
Perpaduan berbagai faktor ini agaknya yang mendorong dan muncul
dalam bentuk meningkatnya aksi para buruh belakangan ini. Dan
tuntutan mereka tampaknya juga tidak beranjak jauh dari
'dorongan perut"
Hal ini dibenarkan oleh Wapres Adam Malik. "Kaum buruh tidak
menuntut rumah gedung atau kendaraan yang mewah. Tuntutan kaum
buruh Indonesia sekarang menyangkut hal-hal yang wajar dan
logis," katanya pekan lalu waktu menerima para buruh peserta
Mukernas I SB Rokok dan Tembakau. Yang disebutnya tuntutan logis
tadi antara lain "upah yang memadai untuk hidup yang layak".
Itu sebabnya Adam Malik berpesan pada kaum buruh Indonesia agar
memperjuangkan dan menuntut hak-haknya tanpa keragu-raguan dan
rasa takut. "Apa yang menjadi tuntutan kaum buruh dijamin dalam
Undang-Undang Dasar dan juga merupakan cita-cita perjuangan
Revolusi Indonesia," tegas Wapres.
Menurut Wapres, Republik Indonesia diproklamasikan bukan untuk
mendirikan masyarakat kapitalisme, tapi untuk mendirikan
masyarakat Pancasila. "Republik ini didirikan untuk kepentingan
seluruh rakyat banyak termasuk kaum buruh," ujarnya.
Suara Adam Malik yang blak-blakan itu tentu saja disambut
gembira para buruh. Keadaan buruh Indonesia saat ini memang
menyedihkan. Menurut Ketua Umum FBSI Agus Sudono, sekitar 60%
gaji buruh Indonesia saat ini berkisar antara Rp 100 dan Rp 600.
"Artinya 60% dari mereka masih hidup di bawah Keperluan Hidup
Minimal," katanya.
Jumlah buruh Indonesia yang terlibat dalam pemogokan memang
meningkat. Menurut catatan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, pada 1979 terjadi 81 pemogokan di 81 perusahaan.
Jumlah buruh yang ikut mogok 18.080 dari keseluruhan jumlah
buruh 36.232 orang Jam kerja yang hilang 134.533 jam.
Pada 1980, tercatat 77 kali pemogokan di 86 perusahaan. Buruh
mogok 21.999 orang dari 43.271 buruh. Yang hilang 167.603 jam
kerja.
Untuk 1981 sampai akhir Maret lalu, ada 17 kali pemogokan di 15
perusahaan. Yang mogok 522 buruh dari jumlah 842. Jam kerja yang
hilang 58.638 jam.
Pemerintah jelas tidak gembira dengan munculnya pemogokan
tersebut. Menteri Nakertrans Harun Zain misalnya, beberapa kali
menyerukan agar para buruh tidak cepat-cepat menggunakan senjata
pemogokan sekalipun tuntutan mereka belum dipenuhi pengusaha.
"Kalau sering-sering digunakan, nilainya akan menjadi lebih
murah," kata Harun Zain bulan lalu.
Menteri sebaliknya juga menganjurkan agar para pengusaha tidak
cepatcepat melakukan PHK (pemutaran Hubungan Kerja).
Diharapkannya agar sebelumnya diusahakan perundingan melalui P4D
(Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah).
Namun buat para buruh, saluran itu rupanya dianggap kurang
memuaskan. Contohnya kedatangan 70 buruh Van Houten ke LBH
(Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta pekan lalu. Yang mereka adukan
adalah kasus lama penyekapan 34 buruh oleh pimpinan perusahaan
PMA tersebut tatkala mereka menuntut perbaikan nasib pada Juni
1978. Kemudian PHK terhadap Ketua SB di situ, Sugema Wahab,
akhir 1978 disusul tindakan serupa pada delapan aktivis SB lain.
Juga kasus penodongan terhadap para buruh oleh salah seorang
pimpinan perusahaan tatkala mereka meminta penjelasan atas
pemecatan Sugema (TEMPO, 21 Juni 1980).
Menurut penilaian para buruh, semua kasus itu belum rampung
sampai sekarang. Hingga mereka tak sabar. Kabarnya mereka telah
menarik surat kuasa terdahulu pada Tim Bantuan Hukum FBSI dan
memberikan surat kuasa baru pada LBH untuk menyelesaikan kasus
itu.
PIHAK PT General Food Industry yang memproduksikan cokelat Van
Houten mempunyai versi lain. Menurut Rifai, Asisten Manajer
Personalia GFI, semua persoalan yang diungkapkan para buruh itu
sudah bukan urusan GFI. Soal penodongan sudah di tangan
kepolisian. Sedang yang menyangkut PHK ada di tangan P4P. "Jadi
kami tinggal tunggu saja," katanya kalem.
Tidak adanya suatu peradilan perburuhan yang berdiri sendiri
selama ini memang sering dikecam. Banyak keputusan P4P yang
tidak bisa dilaksanakan karena pelaksanaannya tergantung pada
keputusan peradilan umum. Sedang berbagai peraturan perburuhan
yang ada umumnya dianggap ketinggalan zaman. Sebagai wadah
tunggal buruh, FBSI bisa dianggap masih bayi.
Bisa dimengerti bila para pengusaha melihat meningkatnya aksi
buruh itu dengan was-was. Menghadapi keresahan buruh ini,
menurut anggota pengurus KADIN Harlan Bekti, para pengusaha
seharusnya meninggalkan cara pendekatan lama yang tradisional
dan memakai sistem baru yang modern dan positif.
Yang dimaksudnya adalah: mencegah pemogokan, menghindarkan
keluhan, melaksanakan peraturan yang berlaku, mempromosikan
hubungan kekeluargaan bukan dengan pemaksaan disiplin dan berani
tampil ke hadapan publik.
Menurut Altink B. Salaki yang menjurubicarai perusahaan PMA
Caltex, keributan perburuhan yang terjadi belakangan ini
terutama disebabkan oleh belum adanya ketetapan yang jelas untuk
pegangan pengusaha dan buruh. "HPP (Hubungan Perburuhan
Pancasila) itu benar ada, tapi tidak jelas sampai di mana hak
buruh dan hak pengusaha," katanya.
HPP memang menetapkan buruh dan pengusaha adalah partner dalam
produksi dan keuntungan. "Partner dalam produksi jelas. Tapi apa
artinya partner dalam keuntungan? Kalau perusahaan rugi, risiko
kehilangan modal apakah akan ditanggung pengusaha bersama
buruh?" tanyanya.
Banyaknya perusahaan yang mengadakan Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) sering dianggap ukuran makin majunya hubungan perburuhan
di Indonesia. Bila pada 1975/1976 baru terdapat 82 PKB, pada
1980 sudah terdapat 1.200 PKB yang meliputi lebih dari 200
perusahaan.
Namun belakangan ini sistem PKB juga sering dipermasalahkan:
apakah sesuai dengan Pancasila? Soalnya PKB dianggap berasal
dari sistem Liberalisme yang mempertentangkan buruh dan
pengusaha. Lagi pula menurut suatu sumber, lebih 75 persen dari
PKB yang ada tidak memenuhi syarat namun toh lolos dari
penelitian Depnakertrans.
Bagaimana jalan keluar dari kemelut perburuhan ini?
Terlaksananya HPP sering dianggap sebagai resep utama penyembuh
gejolak perburuhan. Namun bagaimana kondisi HPP sendiri?
Dasar falsafah HPP dirumuskan dalam suatu seminar nasional pada
1974 dan kemudian diterima menjadi suatu konsensus nasional oleh
pemerintah, buruh dan penguasa. Tapi HPP praktis menjadi hanya
keputusan di atas kertas karena belum ada penjabarannya untuk
dilaksanakan secara operasional.
Itu mendorong diselenggarakannya suatu Lokakarya Nasional
tentang Peningkatan Operasional HPP di Jakarta awal April lalu
oleh Depnakertrans bekerjasama dengan YTKI dan Friedrich Ebert
Stiftung.
Hasilnya? Suatu keputusan panjang 31 halaman meliputi berbagai
bidang. Sebagian besar berupa anjuran tentang sarana dan
perundangan yang harus diadakan. Jelas semua itu akan memakan
waktu.
Ada pihak buruh yang khawatir dengan istilah HPP. "Memang sejauh
ini tidak terjadi sanksi apa pun. Tapi kalau suatu waktu
kebetulan buruh melanggar HPP, janganjangan buruh itu dicap anti
Pancasila," kata Idris P, Sekretaris SB Niba (Niaga, Bank dan
Asuransi) DKI Jaya.
Tampaknya masih sangat panjang sebelum HPP sungguh-sungguh bisa
dilaksanakan di sini. Apakah selama itu gejolak perburuhan akan
terus berlangsung?
"Selama ini kita mudah terombang-ambing sebab kita lebih banyak
melihat masalah yang insidental, dan belum memecahkan masalah
perburuhan itu secara konsepsional," kata Suhardiman, Ketua Umum
DPN Soksi. Menurut Brigjen TNI (Purn) ini, tujuan akhir dari
politik perburuhan adalah kesejahteraan seluruh masyarakat
kerja. Untuk itu perlu adanya pemilikan bersama, pengusahaan
bersama dan pemanfaatan bersama atas keuntungan oleh buruh dan
pengusaha. "Jadi harus ada sosialisasi dalam kehidupan
perusahaan," ujarnya.
Buat sebagian besar buruh Indonesia, semuanya itu mungkin masih
merupakan impian yang terlalu tinggi. Seperti dikatakan Adam
Malik, tuntutan buruh Indonesia tidak terlalu muluk: bagaimana
bisa memperoleh cukup upah untuk bisa hidup layak. Sebagai
manusia Indonesia, setelah 35 tahun merdeka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo