Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih disekitar perut

Keresahan para buruh muncul secara beruntun. berbagai faktor mendorong dan muncul dalam bentuk aksi para buruh, yang beranjak dari masalah ekonomi. beberapa kasus pemogokan di indonesia. (eb)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITANYA muncul secara beruntun dan peristiwanya terjadi di mana-mana. Misalnya yang terjadi pekan lalu: 70 buruh perusahaan Van Houten mengadu ke LBH. Karyawan Toko Buku Gunung Agung mogok kerja selama empat jam. Sekitar 1500 buruh pabrik tekstil Five Star Industries Ltd di Rancaekek, Bandung mogok kerja selama sehari. Mengapa keresahan buruh terus menjadi jadi? Mengapa buruh seakan semakin berani menuntut perbaikan nasibnya? Apa yang menjadi sumber utama keresahan buruh? Pertanyaan-pertanyaan itu rasanya terlalu sering diulang sehingga seakan terasa seperti pertanyaan abadi. Berbagai jawaban dan analisa yang dihasilkan lewat diskusi dan lokakarya tampaknya masih merupakan jawaban di atas kertas saja dan belum bisa mengatasi masalahnya secara mendasar. "Mogok itu berarti bunuh diri. Kaum buruh menyadari mereka bisa dipecat. Tapi mengapa mereka tetap berani mogok?" tanya Sutanto Martoprasono, Ketua Umum Sarbumusi dan anggota DPR Komisi VI. Jawabnya sendiri: "Itu dilakukan karena mereka memang kepepet betul." Kepepet. Atau tergencet. Sebagian besar buruh Indonesia tampaknya memang merasa diri mereka terpojok. Terutama setelah Kenop 15 pada 1978 yang mendorong buruh menuntut penyesuaian upah. Namun agaknya ada beberapa faktor lain di samping motif ekonomi, yang menyebabkan naiknya jumlah kasus sengketa perburuhan. Para buruh yang kini berani berjuang menuntut perbaikan nasib berbeda dengan buruh satuatau dua dasawarsa yang silam. Pembangunan di bidang pendidikan menyebabkan timbulnya generasi buruh baru berusia muda yang pendidikannya lebih baik. Banyak di antara mereka yang tamatan SMA, STM atau jebolan perguruan tinggi. Sekitar 45 persen dari angkatan kerja Indonesia yang berjumlah sekitar 60 juta orang berumur antara 14 sampai 19 tahun. Ciri kaum muda pada usia itu adalah agresif militan, dinamis dan berani. Pendidikan yang lebih tinggi meningkatkan juga kesadaran sosial politik mereka. Di samping itu kesadaran akan hak-hak mereka sebagai buruh rupanya juga tergugah oleh berbagai pendidikan perburuhan yang diselenggarakan pemerintah, YTKI dan FBSI (lihat box). Perpaduan berbagai faktor ini agaknya yang mendorong dan muncul dalam bentuk meningkatnya aksi para buruh belakangan ini. Dan tuntutan mereka tampaknya juga tidak beranjak jauh dari 'dorongan perut" Hal ini dibenarkan oleh Wapres Adam Malik. "Kaum buruh tidak menuntut rumah gedung atau kendaraan yang mewah. Tuntutan kaum buruh Indonesia sekarang menyangkut hal-hal yang wajar dan logis," katanya pekan lalu waktu menerima para buruh peserta Mukernas I SB Rokok dan Tembakau. Yang disebutnya tuntutan logis tadi antara lain "upah yang memadai untuk hidup yang layak". Itu sebabnya Adam Malik berpesan pada kaum buruh Indonesia agar memperjuangkan dan menuntut hak-haknya tanpa keragu-raguan dan rasa takut. "Apa yang menjadi tuntutan kaum buruh dijamin dalam Undang-Undang Dasar dan juga merupakan cita-cita perjuangan Revolusi Indonesia," tegas Wapres. Menurut Wapres, Republik Indonesia diproklamasikan bukan untuk mendirikan masyarakat kapitalisme, tapi untuk mendirikan masyarakat Pancasila. "Republik ini didirikan untuk kepentingan seluruh rakyat banyak termasuk kaum buruh," ujarnya. Suara Adam Malik yang blak-blakan itu tentu saja disambut gembira para buruh. Keadaan buruh Indonesia saat ini memang menyedihkan. Menurut Ketua Umum FBSI Agus Sudono, sekitar 60% gaji buruh Indonesia saat ini berkisar antara Rp 100 dan Rp 600. "Artinya 60% dari mereka masih hidup di bawah Keperluan Hidup Minimal," katanya. Jumlah buruh Indonesia yang terlibat dalam pemogokan memang meningkat. Menurut catatan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pada 1979 terjadi 81 pemogokan di 81 perusahaan. Jumlah buruh yang ikut mogok 18.080 dari keseluruhan jumlah buruh 36.232 orang Jam kerja yang hilang 134.533 jam. Pada 1980, tercatat 77 kali pemogokan di 86 perusahaan. Buruh mogok 21.999 orang dari 43.271 buruh. Yang hilang 167.603 jam kerja. Untuk 1981 sampai akhir Maret lalu, ada 17 kali pemogokan di 15 perusahaan. Yang mogok 522 buruh dari jumlah 842. Jam kerja yang hilang 58.638 jam. Pemerintah jelas tidak gembira dengan munculnya pemogokan tersebut. Menteri Nakertrans Harun Zain misalnya, beberapa kali menyerukan agar para buruh tidak cepat-cepat menggunakan senjata pemogokan sekalipun tuntutan mereka belum dipenuhi pengusaha. "Kalau sering-sering digunakan, nilainya akan menjadi lebih murah," kata Harun Zain bulan lalu. Menteri sebaliknya juga menganjurkan agar para pengusaha tidak cepatcepat melakukan PHK (pemutaran Hubungan Kerja). Diharapkannya agar sebelumnya diusahakan perundingan melalui P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah). Namun buat para buruh, saluran itu rupanya dianggap kurang memuaskan. Contohnya kedatangan 70 buruh Van Houten ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta pekan lalu. Yang mereka adukan adalah kasus lama penyekapan 34 buruh oleh pimpinan perusahaan PMA tersebut tatkala mereka menuntut perbaikan nasib pada Juni 1978. Kemudian PHK terhadap Ketua SB di situ, Sugema Wahab, akhir 1978 disusul tindakan serupa pada delapan aktivis SB lain. Juga kasus penodongan terhadap para buruh oleh salah seorang pimpinan perusahaan tatkala mereka meminta penjelasan atas pemecatan Sugema (TEMPO, 21 Juni 1980). Menurut penilaian para buruh, semua kasus itu belum rampung sampai sekarang. Hingga mereka tak sabar. Kabarnya mereka telah menarik surat kuasa terdahulu pada Tim Bantuan Hukum FBSI dan memberikan surat kuasa baru pada LBH untuk menyelesaikan kasus itu. PIHAK PT General Food Industry yang memproduksikan cokelat Van Houten mempunyai versi lain. Menurut Rifai, Asisten Manajer Personalia GFI, semua persoalan yang diungkapkan para buruh itu sudah bukan urusan GFI. Soal penodongan sudah di tangan kepolisian. Sedang yang menyangkut PHK ada di tangan P4P. "Jadi kami tinggal tunggu saja," katanya kalem. Tidak adanya suatu peradilan perburuhan yang berdiri sendiri selama ini memang sering dikecam. Banyak keputusan P4P yang tidak bisa dilaksanakan karena pelaksanaannya tergantung pada keputusan peradilan umum. Sedang berbagai peraturan perburuhan yang ada umumnya dianggap ketinggalan zaman. Sebagai wadah tunggal buruh, FBSI bisa dianggap masih bayi. Bisa dimengerti bila para pengusaha melihat meningkatnya aksi buruh itu dengan was-was. Menghadapi keresahan buruh ini, menurut anggota pengurus KADIN Harlan Bekti, para pengusaha seharusnya meninggalkan cara pendekatan lama yang tradisional dan memakai sistem baru yang modern dan positif. Yang dimaksudnya adalah: mencegah pemogokan, menghindarkan keluhan, melaksanakan peraturan yang berlaku, mempromosikan hubungan kekeluargaan bukan dengan pemaksaan disiplin dan berani tampil ke hadapan publik. Menurut Altink B. Salaki yang menjurubicarai perusahaan PMA Caltex, keributan perburuhan yang terjadi belakangan ini terutama disebabkan oleh belum adanya ketetapan yang jelas untuk pegangan pengusaha dan buruh. "HPP (Hubungan Perburuhan Pancasila) itu benar ada, tapi tidak jelas sampai di mana hak buruh dan hak pengusaha," katanya. HPP memang menetapkan buruh dan pengusaha adalah partner dalam produksi dan keuntungan. "Partner dalam produksi jelas. Tapi apa artinya partner dalam keuntungan? Kalau perusahaan rugi, risiko kehilangan modal apakah akan ditanggung pengusaha bersama buruh?" tanyanya. Banyaknya perusahaan yang mengadakan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sering dianggap ukuran makin majunya hubungan perburuhan di Indonesia. Bila pada 1975/1976 baru terdapat 82 PKB, pada 1980 sudah terdapat 1.200 PKB yang meliputi lebih dari 200 perusahaan. Namun belakangan ini sistem PKB juga sering dipermasalahkan: apakah sesuai dengan Pancasila? Soalnya PKB dianggap berasal dari sistem Liberalisme yang mempertentangkan buruh dan pengusaha. Lagi pula menurut suatu sumber, lebih 75 persen dari PKB yang ada tidak memenuhi syarat namun toh lolos dari penelitian Depnakertrans. Bagaimana jalan keluar dari kemelut perburuhan ini? Terlaksananya HPP sering dianggap sebagai resep utama penyembuh gejolak perburuhan. Namun bagaimana kondisi HPP sendiri? Dasar falsafah HPP dirumuskan dalam suatu seminar nasional pada 1974 dan kemudian diterima menjadi suatu konsensus nasional oleh pemerintah, buruh dan penguasa. Tapi HPP praktis menjadi hanya keputusan di atas kertas karena belum ada penjabarannya untuk dilaksanakan secara operasional. Itu mendorong diselenggarakannya suatu Lokakarya Nasional tentang Peningkatan Operasional HPP di Jakarta awal April lalu oleh Depnakertrans bekerjasama dengan YTKI dan Friedrich Ebert Stiftung. Hasilnya? Suatu keputusan panjang 31 halaman meliputi berbagai bidang. Sebagian besar berupa anjuran tentang sarana dan perundangan yang harus diadakan. Jelas semua itu akan memakan waktu. Ada pihak buruh yang khawatir dengan istilah HPP. "Memang sejauh ini tidak terjadi sanksi apa pun. Tapi kalau suatu waktu kebetulan buruh melanggar HPP, janganjangan buruh itu dicap anti Pancasila," kata Idris P, Sekretaris SB Niba (Niaga, Bank dan Asuransi) DKI Jaya. Tampaknya masih sangat panjang sebelum HPP sungguh-sungguh bisa dilaksanakan di sini. Apakah selama itu gejolak perburuhan akan terus berlangsung? "Selama ini kita mudah terombang-ambing sebab kita lebih banyak melihat masalah yang insidental, dan belum memecahkan masalah perburuhan itu secara konsepsional," kata Suhardiman, Ketua Umum DPN Soksi. Menurut Brigjen TNI (Purn) ini, tujuan akhir dari politik perburuhan adalah kesejahteraan seluruh masyarakat kerja. Untuk itu perlu adanya pemilikan bersama, pengusahaan bersama dan pemanfaatan bersama atas keuntungan oleh buruh dan pengusaha. "Jadi harus ada sosialisasi dalam kehidupan perusahaan," ujarnya. Buat sebagian besar buruh Indonesia, semuanya itu mungkin masih merupakan impian yang terlalu tinggi. Seperti dikatakan Adam Malik, tuntutan buruh Indonesia tidak terlalu muluk: bagaimana bisa memperoleh cukup upah untuk bisa hidup layak. Sebagai manusia Indonesia, setelah 35 tahun merdeka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus