Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Lembaga spesialis sosial ekonomi, Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), mengindikasikan besarnya penolakan penumpang angkutan roda dua berbasis aplikasi atau ojek online terhadap lonjakan tarif moda tersebut. Kenaikan harga terjadi karena penyesuaian dua aplikasi ojek daring, Grab dan Go-Jek, terhadap aturan baru Kementerian Perhubungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua peneliti RISED, Rumayya Batubara, mengatakan beban penumpang kini terlampau tinggi. "Dari riset kami, sampai 75 persen konsumen nasional yang menolak. Terbanyak di Jabodetabek," ucap dia saat merilis riset tersebut, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Survei yang digelar sejak akhir bulan lalu ini diyakini cukup mewakili mayoritas penumpang. RISED menyasar 3.000 pengguna ojek online dengan intensitas tinggi, di sembilan wilayah operasional ojek online. Penelitian disesuaikan dengan tiga zona pembagian tarif yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019 (Koran Tempo edisi Kamis, 2 Mei 2019, "Beban Konsumen Bisa Lampui Batas Tarif").
"Kami beri simple size besar untuk menangkap variasi tarif di daerah," ujar Rumayya.
Menurut dia, ketentuan batas atas dan bawah pada Kepmenhub 348 Tahun 2019 masih berupa pendapatan bersih pengemudi. Di Jabodetabek, tarif termurah yang hingga Februari lalu masih berkisar Rp 1.800 dan kini menjadi Rp 2.000 per kilometer sesuai dengan aturan anyar.
"Ingat, itu nett. Kami hitung jika termasuk pungutan 20 persen dari aplikator, angka yang dibayar konsumen menjadi Rp 2.500 per kilometer," kata Rumayya.
Padahal, dia menambahkan, terdapat 52 persen pengguna yang memakai ojek daring karena tarifnya murah. Jenis pengguna ini, dikategorikan RISED, memiliki penghasilan menengah ke bawah yang tak mencapai Rp 3 juta per bulan. "Terutama berdomisili di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya, wilayah utama ojol."
Jumlah penumpang untuk penggunaan jarak dekat diyakini akan tergerus. Alasan utamanya, kata Rumayya, adalah penerapan tarif minimal (flagfall) berkisar Rp 7.000–10 ribu untuk 4 kilometer perjalanan pertama. "Yang memakai untuk feeder ke stasiun, dulu bisa Rp 3.000 atau Rp 4.000, sekarang merasakan mahalnya."
Ekonom dari Universitas Indonesia, Fihtra Faisal, mengatakan tambahan tarif bisa berdampak ke layanan lain, di luar transportasi. Apalagi Grab dan Go-Jek memiliki berbagai ragam layanan. "Sebagian besar servis lain juga berbasis kendaraan, tambahan ongkos bisa juga mengalir ke situ," kata dia.
Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Agus Suyatno, mendesak peningkatan layanan dari penyedia aplikasi, seiring dengan naiknya tarif ojek online. Menurut dia, sejak pengumuman aturan baru, konsumen hanya dipersulit tanpa benefit yang jelas. "Kan tarif naik, lalu apa saja perubahan positif untuk konsumen?" ujar dia.
Direktur Angkutan Multimoda Angkutan Darat Kementerian Perhubungan, Ahmad Yani, mengaku mendengar keluhan soal lonjakan tarif. Saat menerbitkan aturan, Kementerian memang mengakui tarif akan melonjak berkisar 20 persen dari sebelumnya. "Dari sisi driver merasa cukup, dari sisi pengguna ada yang bilang naiknya gila-gilaan," ujar dia. "Kami masih penelitian di lapangan, biar dilihat berdasarkan data riil."
Chief of Corporate Affairs Go-Jek, Nila Marita, mengatakan entitasnya tetap menerapkan berbagai diskon guna menjaga tingkat pemintaan konsumen. "Subsidi berlebihan untuk promosi memberikan kesan harga murah. Namun hal ini semu karena promosi tidak dapat berlaku permanen," kata dia.
YOHANES PASKALIS PAE DALE | FRANSISCA CHRISTY ROSANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo