Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barang apaan, sih? Barangkali Anda sudah menduga, inilah bom dahsyat yang siap menyambut lebaran: hasil audit Bank Indonesia (BI).
Audit yang digelar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini mestinya sudah kelar sejak November lalu. Tapi, entah mengapa, molor terus. Beberapa kalangan menilai, ada pihak-pihak yang kabarnya sengaja mengulur waktu agar "bom" ini tak segera dibuka ke publik. Setelah melalui satu perundingan yang panjang, akhirnya didapat satu kesepakatan: akhir tahun ini, 31 Desember, ketika orang-orang sedang leyeh-leyeh sambil menikmati pergantian milenium, hasil audit itu akan diserahkan BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Mengapa menunggu pas hari libur? Sengaja menghindari sorotan publik? Tak tahulah. Yang pasti, pelbagai pergunjingan tentang hasil audit ini sulit diredakan. Apalagi, sejumlah pertemuan maraton yang melibatkan sejumlah lembaga terkait, seperti Departemen Keuangan, Badan Penyelidik Keuangan Pemerintah (BPKP), BPK, dan BI sendiri, sering kali digelar secara tertutup dan terkesan sembunyi-sembunyi. Pokoknya, seru.
Pertemuan tertutup di Gedung BPK, Selasa siang lalu, misalnya. Kesannya ketat dan tegang. Rincian hasil rapat empat jam itu sama sekali tak boleh ada yang dibocorkan. Rahasia. "Masalahnya gawat dan sudah banyak orang yang ngomong," kata Satrio Billy Joedono, Ketua BPK.
Billy mengakui, audit ini memang membuka segudang borok BI. Tapi, ia buru-buru menambahkan, hasil audit ini tak akan membuat BI kolaps, pingsan, seperi dugaan banyak orang. BI akan tetap jalan terus, tak mungkin bangkrut, tak mungkin dibubarkan. "BI terlalu berharga untuk dibiarkan kolaps."
Pernyataan ini didukung Menteri Kwik. Pemerintah, katanya, siap melakukan apa pun untuk menyelamatkan perahu bank sentral. "Apa pun hasil audit, tak ada perubahan di tubuh BI," kata Kwik memberi jaminan.
Tapi, seperti apa kira-kira isinya? Sampai sejauh ini, belum ada penjelasan apa pun tentang isi hasil audit yang menghebohkan itu. Hingga beberapa hari menjelang "dibeberkan" di DPR, hanya empat orang Indonesia yang sudah memegang hasil audit itu, selain orang-orang BPK. Mereka adalah Presiden Abdurrahman Wahid, Menteri Kwik, Menteri Keuangan Bambang Sudibyo, dan Ketua DPR Akbar Tandjung.
Sebetulnya, auditing terhadap bank sentral bukan hal baru. Juli tahun lalu, Menteri Keuangan (kala itu) Bambang Subianto meminta BPKP untuk mengaudit BI. Ketika itu, pemerintah perlu mengklarifikasi jumlah kasbon yang sudah ditarik oleh bank-bank nasional dari bank sentral (sering disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia alias BLBI). Dana talangan itu akan diperhitungkan sebagai utang pemerintah kepada bank sentral.
Disebut-sebut, besar utang pemerintah kepada BI saat itu mencapai Rp 144 triliunbukan jumlah yang sepele. Jumlah segede gunung es ini dipakai untuk menginjeksi bank-bank (kebanyakan swasta) yang diserbu nasabah yang ingin mencairkan tabungan.
Melihat persoalan yang demikian genting, ketua BPKP waktu itu, Soedarjono, minta tenggang dua bulan untuk merampungkan audit. Sepanjang waktu itulah terangkum kisah tarik-ulur yang membuat frustrasi. Puluhan akuntan yang dipasok BPKP ternyata tak sanggup menembus barikade BI. Pasokan data penting yang terkait pengucuran BLBI sama sekali tak memadai.
Sampai akhirnya, tenggat yang ditetapkan terlampaui. BPKP mau tak mau meminta perpanjangan waktu dua minggu. Kali ini, tak tanggung-tanggung, Soedarjono menurunkan pasukan yang berkekuatan 300 akuntan. Tapi tetap tak mempan. "Kami tak bisa mengakses data-data mutakhir tentang ke bank mana saja BI mengucurkan dana kasbon itu," kata Soedarjono. Akibatnya, tim BPKP tak sanggup berbuat maksimal.
Tapi Soedarjono bukan tak punya kesimpulan. Berdasarkan data yang ada, katanya, terdapat indikasi penyimpangan pencairan kasbon BLBI dengan pelbagai modus operandi. Misalnya, pembengkakan permintaan kasbon jauh di atas kebutuhan yang sebenarnya. Soedarjono memberi contoh, "Butuhnya cuma Rp 2 triliun, tapi mintanya sampai Rp 3 triliun."
Trik yang lain juga banyak. Yang waktu itu sempat jadi mode: pemilik bank atau pihak yang terkait dengan bank ikut-ikutan minta diberi dana talangan. Padahal, sesuai dengan keputusan presiden soal penjaminan pemerintah atas kewajiban bank, jelas dituliskan bahwa penjaminan itu tidak berlaku untuk dana pemilik atau pihak terkait.
Modus banyak, hampir semuanya tercium, tapi sayangnya, semua keganjilan itu tak bisa ditelusuri lebih lanjut. Upaya BPKP untuk mengaudit bank-bank yang menerima kasbon BLBI juga mentok karena tak ada izin dari bank sentral.
Akhirnya, diambil keputusan, BPKP tak bisa memberi opini apa pun alias memberi status disclaimer untuk BI. Artinya, data yang ada tak mencukupi untuk mencapai hasil akhir audit. Dalam dunia akuntansi, disclaimer merupakan status yang paling tidak meyakinkan.
Status ini, tak urung, membuat gusar para petinggi BI dan pemerintah. Di seluruh dunia, baru kali ini bank sentral tak bisa ditentukan baik-buruknya. Begitu amburadulnya data BI sehingga tak bisa digunakan untuk mengaudit. Alhasil, para petinggi ekonomitermasuk perwakilan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Duniasempat meminta BPKP memperbaiki rapor bank sentral. "Saya tolak," kata Soedarjono tegas, "Sebab, yang membayar kasbon BLBI itu rakyat."
Sebagai jalan keluar, Soedarjono mendesak agar BPKP diizinkan mengaudit bank-bank yang menerima kasbon BLBI itu. Lampu hijau sudah turun dari Menteri Keuangan. Sayang, sampai Soedarjono pensiun, Mei lalu, Gubernur BI Syahril Sabirin tak kunjung membuka pintu. Sementara itu, satu per satu bank penikmat BLBI sudah berganti status. Ada beberapa yang diambil oper pemerintah alias di-BTO-kan, ada juga yang ditutup. Apa boleh buat, nasib dan ke mana kasbon BLBI itu dibelanjakan pun makin gelap.
Belakangan, proses audit terhadap BI in dibuka kembali oleh BPK. Lembaga tinggi negara yang setingkat dengan DPR itu berpendapat senada dengan BPKP. Karena data memadai memang tak ada, hasilnya pun tetap sama: disclaimer.
Dengan hasil ini, Menteri Keuangan Bambang Sudibyo menilai, dokter pemeriksa BI, maksudnya BPK, belum bisa memastikan apakah pasiennya sakit kudis, kanker, atau justru sehat. "Sekarang sedang dicari jalan keluar untuk bisa menilai BI secara jernih," katanya. Dengan kata lain, Menteri Bambang mau mengatakan, vonis untuk BI belum bisa ditentukan oleh audit heboh ini.
Tapi, benarkah BI memblokade akses data kepada para pemeriksanya? Seorang pejabat BI membantah keras. "Kami telah sediakan semua data. Tolong tunjukkan kalau ada yang terlewat," katanya. Tiadanya data tentang nilai modal, agunan, atau kebenaran klaim memang berkaitan dengan situasi mendesak yang kala itu dihadapi BI.
Saat itu, kata pejabat ini, BLBI tak ubahnya seperti instalasi gawat darurat. Bank-bank yang sedang diserbu nasabah yang minta pencairan tabungan menjerit-jerit minta injeksi duit. Nah, BI tergopoh-gopoh memberi infus, memasang transfusi darah agar jangan sampai ada bank yang mati. Dalam situasi kaos seperti itu, "Mana sempat menguji kondisi sebenarnya?" katanya.
Anwar Nasution, Deputi Senior BI, membenarkan ruwetnya posisi BI. Semua kebrengsekan kasbon BLBI bersumber dari kentalnya intervensi kekuasaan. Setelah 16 bank ditutup, November 1997, bekas presiden Soeharto tak mau melihat ada bank ambruk dan memicu kerusuhan sosial. Konon, instruksi pun kemudian turun: semua permintaan BLBI harus dikabulkan tanpa reserve. Hasilnya, BI hanya berfungsi jadi kasir bank.
Namun, Anwar tak setuju jika BI cuma berlindung "di balik" Soeharto. Bagaimanapun, tanggung jawab selaku bank sentral harus diutamakan. Sistem penyaringan BLBI mestinya tak boleh jebol. Anwar tak menutup kemungkinan terjadi patgulipat antara bankir dan orang dalam BI untuk menggaet BLBI. "Makanya, sejak dulu saya bilang," katanya, "BI sarang penyamun."
Karena itu, Anwar menginginkan suatu pembedahan investigatif luar-dalam harus dilakukan segera terhadap BI. Soalnya, tanpa bank sentral yang sehat, percuma rakyat mengongkosi penyehatan perbankan.
Mardiyah Chamim, Agus Riyanto, Adi Prasetya, Arif Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo