Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANDUNG tak cuma mengekspor sepatu Cibaduyut, atau jaket dan celana jeans. Pekan-pekan ini, sejumlah komponen pesawat buru sergap paling piawai, F-16, dikirim IPTN ke Amerika Serikat. Itulah bagian dari kontrak senilai US$ 17,7 juta -- diperoleh IPTN dari General Dynamics -- ditandatangani 28 Agustus lalu. Upacara penyerahan pertama dilaksanakan, Kamis, 8 Desember lampau. Adalah Charles A. Anderson, general manager merangkap vice president General Dynamics (GD), yang mewakili perusahaannya. "Kami merasa puas dan mengucapkan selamat atas penyerahan komponen yang tepat pada waktunya dan memenuhi standar kualitas yang prima," kata Anderson, disambut tepuk tangan riuh dari ratusan tamu. Komponen yang dibuat IPTN bukan sembarangan. Terdiri atas bagian flaperon sayap, ekor vertikal, pintu akses ke mesin, gantungan (pylon) tanki bensin ekstra, dan senjata. "Ini termasuk bagian yang vital," kata Robert K. Alexander, perwakilan departemen pertahanan AS di Bandung, yang bertugas mengawasi kualitas produk IPTN itu. Komponen itu akan digunakan untuk 400 F-16 -- sebagian besar akan dipakai oleh Amerika Serikat. "Sejauh ini saya melihat produk yang dibuat memenuhi standar, namun akan ada pengujian lanjutan di AS," katanya menjelaskan. Ini saja sudah sangat membanggakan. Betapa tidak. Hanya ada 21 perusahaan di 11 negara -- termasuk Indonesia -- yang dipercaya membuat komponen F-16. Padahal, seperti kata Duta Besar AS di Indonesia, Paul Wolfowitz, "Standar yang diterapkan departemen pertahanan AS, luar biasa ketatnya." Dia tidak melebih-lebihkan. Memang, sebuah pesawat tempur harus andal dan canggih, di udara terutama. "Jangan disamakan dengan standar membuat mobil," kata Habibie kepada TEMPO. "Kalau mobil mogok, tinggal berhenti dan diperbaiki, kalau pesawat bisa jatuh," tambahnya sambil tersenyum lebar. Karena itu menarik juga untuk diketahui: bagaimana asal-muasalnya sampai IPTN bisa memenangkan kontrak GD. Bermula dari kontrak pembelian 12 F-16 buatan AS oleh Indonesia. Satu paket dengan itu adalah "paksaan" terhadap AS agar memberikan offset 35% -- jika Washington ingin Indonesia membeli selusin F-16 yang harganya US$ 337 juta itu. Ketika itu saingan AS adalah Prancis dengan pesawat Mirage-nya yang terkenal itu. Mulanya F-16 hanya mau menawarkan nilai offset 20% saja. "Sedangkan Perancis menawarkan offset 25% jika Indonesia memilih Mirage 2000," tutur Habibie. Konon, Indonesia sempat serius mempertimbangkan tawaran Prancis -- antara lain, Pak Harto sempat mengacungkan jempol begitu keluar dari cockpit Mirage 2000 di Airshow Indonesia 1986. Akhirnya tawaran offset dari F-16 naik menjadi 35%. Offset adalah pola khusus dalam perdagangan jenis imbal beli. Dalam hal F-16, ini berarti pemerintah AS membelanjakan 35% dari nilai kontrak US$ 337 juta itu di Indonesia. Antara lain, US$ 17,7 juta berupa kontrak yang dimenangkan IPTN sebagai subkontraktor GD. GD bukan satu-satunya pihak yang harus menyerahkan 35% dari nilai kontraknya. Sebab, tak semua bagian F-16 dibuat oleh GD. Mesin, misalnya, dibuat oleh Pratt & Whitney, dan avionic dibuat oleh Westinghouse. Demikian pula perangkat persenjataan dibuat oleh pabrik lainnya. Namun yang sudah berjalan pasti, baru dengan GD. Sedangkan dengan pihak lain masih dirundingkan. Sampai Maret tahun depan, komponen yang dibuat IPTN masih berbentuk asembling. Sesudah itu baru dimanufaktur. Itu pun dengan menggunakan bahan baku dari GD. "Soalnya, kalau bahan baku sendiri, IPTN harus keluar modal valas dahulu, padahal valas 'kan lagi sulit," kata Habibie lagi. Utang valas (valuta asing) IPTN, kalau di kurskan ke rupiah menurut Habibie mencapai Rp 586,9 milyar alias 35% dari aset perusahaan. Untuk membayar utang valas, tentu, diperlukan valas pula. Padahal sebagian besar dari pendapatan IPTN -- sebesar Rp 452 milyal atau 27% dari aset -- berasal dari dalam negeri. Sedangkan untuk mengharapkan tambahan penyertaan modal pemerintah yang sudah mencapai Rp 634 milyar itu, tentu, tak mudah. Maka dengan peluang yang ada, IPTN kini giat memburu devisa. Ada dua cara yang dilakukan Habibie: mengekspor pesawat jadi, dan memenangkan pekerjaan sebagai subkontraktor industri pesawat terbang. "Kedua-duanya mendapat prioritas yang sama," begitu ungkap Habibie. Hanya saja, untuk mengekspor pesawat jadi, terutama yang komersial, IPTN terhambat di bidang pendanaan dan sertifikat dinas laik udara AS (FAA). Padahal, sertifikat ini menjadi standar internasional untuk pasaran pesawat CASA NC212 atau NC 235. Kendati demikian, bukan berarti Spanyol yang akan mengeruk untung dari penjualan 82 pesawat CN235 yang sedang mengikuti tender di banyak negara. "Sebab setiap CN235 -- yang dirakit di Spanyol ataupun di Indonesia -- mempunyai 60% komponen produksi IPTN," Habibie mcnelaskan. Siapa tahu, dengan semakin dipercayainya IPTN -- setelah memenangkan kontrak senilai US$ 30 juta dari Boeing dan US$ 17,7 juta dari GD -- jalan mendapatkan FAA akan semakin licin. Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo