Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari kelak, entah kapan, Anda bisa menyaksikan siaran
berita pertempuran atau kudeta di Amerika Latin, misalnya, atau
menikmati film hot keduanya langsung dari studio televisi AS di
New York. Dan, sudah bisa dipastikan, kelak Anda bisa disuguhi
siaran parade militer ulang tahun Revolusi Oktober langsung dari
televisi Uni Soviet diMoskow.
Itu bisa terjadi cukup dengan memasang antena piring berdiameter
kecil, yang harganya kini sekitar Rp 500.000 - yang dalam
tahun-tahun mendatang bisa ditekan menjadi Rp 100.000 sampai Rp
200.000. Selain itu, juga menggunakan converter untuk mengubah
gelombang berrekuensi tinggi menajadi gelombang yang bisa
ditangkap televisi. Siarannya dipancarkan melalui DBS (direct
broadcasting satelitte) alias satelit siaran langsung (SSL) -
tidak lagi lewat stasiun bumi.
Siaran dari Moskow dengan leluasa bisa menerobos karena selain
lima satelit milik Indonesia ada 18 satelit milik Uni Soviet
dari sebanyak 30 satelit - berada dalam jalur orbit (disebut
GSO, Geostationer Satelitte Orbit) di atas udara katulistiwa.
Melihat kenyataan itu, para ahli di sini cemas. Dua kali mereka
berbincang dalam seminar 22 Agustus dan 31 Oktober lewat. Banyak
yang tidak setuju dengan penggunaan SSL di sini, misalnya,
Menpora Abdul Gafur. Dirjen RTF Subrata juga mengkhawatirkan
kerawanan yang bakal muncul akibat peluberan siaran televisi
asing karena kita menggunakan SSL. "Yang paling berbahaya jika
peluberan itu disengaja untuk tuuan politis," katanya. Ia
menunjuk Muangthai yang sering keluberan siaran televisi Moskow
yang memang diarahkan ke Laos dan Vietnam. "Lain halnya kalau
acaranya sepak bola," katanya tertawa.
Memang banyak ahli tak setuju. Misalnya, Dr. M. Alwi Dahlan,
asisten Menteri Negara PPLH. "Dengan menggunakan SSL, siaran
TVRI bisa diterima merata di seluruh tanah air, tapi rakyat
kecil tak mampu membeli antenanya. Selain itu, siaran langsung
dari pusat menimbulkan sentralisasi informasi. Artinya, semua
informasi hanya datang dari pusat. Dan 210 stasiun daerah
menganggur," katanya. "Padahal, menurut penelitian, acara yang
termasuk digemari antara lain siaran daerah," tuturnya lagi.
Mengenai kecemasan menerobosnya siaran televisi asing, ahli
komunikasi itu justru tenang-tenang saja. "Kita terlalu
memandang enteng masyarakat. Toh sekarang juga banyak orang kena
pengaruh luar - lewat majalah atau buku. Setiap bangsa punya
ketahanan budaya hingga tak gampang meniru begitu saja,"
katanya. "Kalau masih takut, acara TVRI harus diperbaiki."
Bagaimana mengatasi peluberan itu? Menurut Alwi, sudah ada
aturannya. Misalnya, salah satu pasal ketentuan dalam Persatuan
Telekomunikasi Internasional (ITU, 1977): jika suatu negara
mengunakan SSL, siarannya tidak boreh meluber ke negara lain
kecuali ada izin. Selain itu, juga ada pengaturan
kapling-kapling frekuens dan jangkauan siaran.
Indonesia, misalnya, agar siarannya yang menggunakan SSL tidak
meluber, harus membuat lima jejak jangkauan (footprint):
Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, Irian Jaya, Sulawesi dan
Maluku, serta Kalimantan. "Kalau kita hanya menggunakan satu
jejak jangkauan - dengan satu lingkaran besar meliputi seluruh
Indonesia - banyak negara lain keluberan," kata Alwi. Aturan ini
sebagai syarat mendapatkan kapling GSO seperti telah disebut.
Menurut Prof. Dr. Prijatna Abdurrasjid, S.H., ahli hukum
dirgantara internasional, kapling GSO kita yang terpanjang di
dunia - hampir 34.000 km atau 13% dari panjang GSO seluruhnya.
"Sekarang lintasan GSO merupakan daerah tak bertuan, sebagai
kawasan di luar konsepsi wilayah negara. Penempatan satelit di
wilayah itu berdasarkan hukum: siapa cepat dia dapat," kata
Prijatna. Di sepanjang GSO sekeliring bumi, terdapat 220
satelit, 2/3 di antaranya milik AS dan US. "Padahal, menurut
teori, maksimum hanya bisa ditempatkan 180 satelit di sepanjang
GSO seluruhnya," ujar Prijatna.
Ia melihat bahwa ruang angkasa belum banyak dijamah hukum.
Beberapa peraturan, misalnya dari PBB, sebagian besar menyankut
kepentingan AS dan US, "karena mereka takut akibat-akibatnya."
Karena itu, meskipun sudah ada beberapa peraturan kedirgantaraan
internasional, Prijatna menganggap perlu segera disusun UU
tentang Pokok-pokok Kedirgantaraan Nasional. "Kita tidak boleh
pasif menghadapi kegiatan negara lain di udara," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo