Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu set sofa kulit menghiasi sebuah ruangan di lantai 17 gedung Bursa Efek Jakarta Tower II. Nuansa cokelat dan hitam mendominasi desain interior ruangan itu. Dua resepsionis menunggu di meja penerima tamu di depan bilik bernama CEO Suite itu.
Kantor di Suite 1701 ini terasa senyap dan misterius. Tak ada papan nama yang menunjukkan identitas usaha. Kontras dengan Panin Sekuritas di seberangnya yang memasang nama perusahaan dalam ukuran besar.
Sang resepsionis memastikan bahwa perusahaan bernama Yawadwipa berkantor di sana. "Benar, di sini kantor Yawadwipa," kata salah seorang resepsionis, yang mengenakan blazer hitam, dua pekan lalu.
Penelusuran Tempo menemukan, pengelola CEO Suite adalah sebuah perusahaan partikelir bernama CEO Suite Business Center & Serviced Office Jakarta. Bisnis intinya mengelola jasa penyewaan kantor instan dan kantor maya.
Perusahaan yang dimiliki pebisnis Korea Selatan, Mee Kim, ini juga tersebar di pelbagai kota di Asia, antara lain Manila, Shanghai, Singapura, dan Seoul. Menariknya, Yawadwipa memiliki kantor serupa di lantai 37 Singapore Land Tower, gedung yang juga dimiliki CEO Suite.
Seorang konsultan properti menyebutkan kantor instan dan virtual saat ini bertebaran di kawasan bisnis Jakarta. Pada umumnya, penyewa adalah perusahaan baru yang ingin berekspansi. "Biaya operasionalnya bisa lebih murah ketimbang kantor betulan," ujar si konsultan.
Nama Yawadwipa mendadak tersohor setelah pada Senin pekan lalu menyatakan minat memborong Bank Mutiara, jelmaan Bank Century, dengan harga Rp 6,75 triliun. Angka tersebut setara dengan penempatan modal pemerintah pada 2008 di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di bank bekas milik Robert Tantular itu.
"Kami telah mengajukan minat kepada Danareksa sebagai penasihat keuangan Bank Mutiara dan kepada LPS sebagai pemegang saham Bank Mutiara," Prasetyo Singgih, chief operating officer perusahaan itu, menjawab Tempo secara tertulis.
Situs resmi perusahaan menyebutkan nama Yawadwipa merujuk pada bahasa Sanskerta, yang bermakna Pulau Jawa mulia. Perusahaan ini bergerak di bidang jasa konsultasi keuangan dan investasi.
Keterangan pers saat peresmian perusahaan pada 9 Januari 2012 menyebutkan, selain oleh Prasetyo, Yawadwipa dioperasikan oleh C. Christopher Holm, yang menjabat chief executive officer sekaligus Ketua Komite Investasi untuk Java Fund.
Holm, yang kerap disapa Chad, tertulis sudah dua dekade malang-melintang di dunia investasi. Ia mengklaim telah menyelesaikan lebih dari 50 transaksi strategis di 20 negara senilai lebih dari US$ 150 miliar.
Jabatan yang pernah ia sandang cukup mentereng. Holm pernah menjadi eksekutif senior di Bank of America Merrill Lynch, Citigroup, dan Lazard. Sejumlah kliennya termasuk BlackRock, Citigroup, Sumitomo Mitsui, AXA, GE, dan IBM.
Di Indonesia, Yawadwipa menggandeng Prasetyo Singgih sebagai chief operating officer. Prasetyo menjabat Wakil Ketua Kadin Indonesia Komite Tiongkok (KIKT) dan mitra senior di Singgih & Partners, kantor pengacara di Jakarta.
Namun kalangan bankir, pengusaha, dan pengacara tak begitu mengenal figur Prasetyo. "Kami dilantik pada akhir tahun lalu. Belum terlalu paham satu sama lain. Dalam rapat kerja pada Selasa pekan lalu, (Prasetyo) tidak hadir," kata Ketua KIKT Tahir.
Bahkan Ketua Kadin Suryo Bambang Sulisto tak mengenal Prasetyo. "Singgih yang mana? Orang India itu?" katanya melalui pesan pendek. "Anggota Kadin ada ribuan, saya tak kenal semua."
Nama Prasetyo tak pula nyaring bunyinya di kalangan pengacara. "Saya tak tahu ada nama itu," kata Hotma Sitompoel, mitra senior di kantor pengacara Hotma Sitompoel & Associates. "Kantor Singgih & Partners pernah dengar, tapi saya tak kenal dengan Prasetyo Singgih," pengacara Todung Mulya Lubis menambahkan.
Sumber lain mengungkapkan, Prasetyo adalah adik kandung Pratikto Prayitno Singgih, bekas suami Siti Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek Soeharto. Ayah Prasetyo, mendiang Prayitno Singgih, dulu pejabat di Kementerian Luar Negeri. Saat ini Prasetyo diketahui pula menjadi Ketua Departemen Hukum dan HAM Partai Golkar.
Menteri Perdagangan Gita Irawan Wirjawan dua bulan lalu mengaku pernah bertemu dengan perwakilan Yawadwipa bernama Singgih. "Katanya pengacara perusahaan," ujar dia.
Saat itu pria bernama Singgih tersebut tak mengungkapkan rencana membeli Mutiara. Dalam pertemuan itu kapasitas Gita sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. "Mereka tidak spesifik mau investasi apa. Mereka hanya mau melihat kondisi makro Indonesia."
Holm mengunci mulut ihwal identitas penyokong Yawadwipa. "Kami tak bisa membuka informasi yang terkait dengan investor potensial secara sembarangan," katanya. Yang pasti, ia mengaku memiliki sumber pendanaan untuk mengembangkan Bank Mutiara. Holm juga menegaskan visi menjadikan Bank Mutiara sebagai bank berkelas regional pertama di Indonesia, seperti CIMB dan Maybank di Malaysia.
Melalui sayap usahanya, Java Fund, tahun ini Holm berusaha mengumpulkan US$ 1 miliar atau Rp 9 triliun. Java Fund tengah menunggu izin pendirian perusahaan, yang diharapkan tuntas pada Maret mendatang.
Kepala penjualan Bank Mutiara di Lembaga Penjamin Simpanan, Mirza Mochtar, mengakui surat pernyataan minat (letter of interest) oleh Yawadwipa sudah sampai di mejanya. Tapi terlalu pagi untuk menentukan perusahaan itu sebagai pembeli. "Banyak tahap yang perlu dilalui," kata Mirza.
Niat Yawadwipa baru menjejak tahap awal, berupa penjaringan calon investor untuk ikut dalam proses penjualan. Seleksi menggaet investor sudah berlangsung sejak 1 Februari hingga 1 Mei mendatang.
Kredibilitas investor, kata Mirza, menjadi perhatian utama. Kriteria calon investor antara lain bukan pemegang saham lama atau memiliki hubungan dengan keluarga dan pemegang saham lama. Di samping itu, investor memiliki kemampuan membeli saham tepat waktu.
Proses penawaran itu terbuka buat siapa saja, asalkan LPS dan Bank Indonesia mengetahui identitas penyandang dana, termasuk Yawadwipa. "Harus jelas betul siapa ultimate investor mereka."
Sebetulnya LPS sudah menawarkan Mutiara kepada investor tahun lalu. Sayangnya, sembilan peminat urung menjadi pembeli. Salah satu alasannya, mereka tak mampu menunjukkan ultimate investor atau jati diri juragan sesungguhnya.
Menurut ketentuan, LPS memiliki masa perpanjangan dua kali setelah tahun lalu gagal menjual Mutiara. Jika Mutiara belum juga terjual pada 2013, LPS masih berpeluang melego dengan harga terbaik yang disorongkan pembeli setahun kemudian.
Direktur Utama Danareksa Sekuritas Marciano Herman tutup mulut soal Yawadwipa. "Kami tidak bisa melakukan public disclosure atas peminat Bank Mutiara," ujarnya. "Prosesnya masih panjang, tak semudah yang dipikirkan."
Dia menegaskan, langkah itu sesuai dengan etika yang harus ditaati Danareksa terkait dengan penjualan ini. "Terserah jika ada pihak yang ingin berbicara, tapi kami tetap no comment," kata Marciano.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menganggap niat Yawadwipa di luar nalar. Bukan karena usianya saja yang tergolong muda, rekam jejaknya pun tak terang-benderang. "Duitnya dari mana? Misterius," kata Tony.
Tony juga menilai harga pembelian Rp 6,75 triliun terlalu tinggi. Dengan total aset pada akhir 2011 sebesar Rp 13,13 triliun dan kewajiban Rp 11,56 triliun, nilai buku Bank Mutiara Rp 1,57 triliun. Harga Rp 6,7 triliun yang dipatok pemerintah dan DPR berarti 4,5 kali dari nilai buku Bank Mutiara. Padahal harga wajar bank di pasar saat ini hanya 2-3 kali dari nilai buku.
Rencana pembelian Mutiara tak dapat disamakan dengan akuisisi Farallon dan Djarum terhadap BCA. Ketika itu pemerintah menjual murah BCA sekitar Rp 5,3 triliun setelah pemulihan krisis keuangan.
"Saat itu BCA bank swasta terbaik. Sambil merem pun investor mau beli," ujar Tony. Kini BCA tumbuh dengan kinerja berkilap. Hingga September tahun lalu, bank itu menikmati laba Rp 7,7 triliun.
Dalam bisnis perbankan, modal investor baru kembali paling lambat sepuluh tahun. Saat mengakuisisi BCA, Djarum balik modal dalam 6-7 tahun. Dengan rapornya sekarang, modal investor anyar Bank Mutiara baru impas setelah 20 tahun.
Bobby Chandra, Retno Sulistyowati, Ezther Lastania, Gustidha Budiartie, Subkhan Jusuf Hakim, Martha Tertina
Plus-Minus Bank Mutiara
Indikator | 31-Des-2008 (Triliun Rupiah) | 31-Des-2011 (Triliun Rupiah) | Perubahan (Persen) |
Aset | 5,586 | 13,132 | 135 |
Kredit | 4,7 | 11,564 | 97,3 |
DPK | 5,115 | 11,200 | 119 |
Ekuitas | (1,535) | 1,002 | 165,3 |
Laba (Rugi) | (7,281) | 0,291 | 104 |
Rasio Keuangan (Persen) | |||
CAR | -22,3 | 9,5 | 31,8 |
NPL Gross | 35,2 | 9,5 | -29,6 |
NPL Net | 10,4 | 4 | -6,4 |
Keterangan:
DPK: Dana pihak ketiga (tabungan dan deposito)
CAR: Capital adequacy ratio (rasio kecukupan modal)
NPL: Non-performing loan (kredit seret)
Sumber: LPS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo