Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pemerintah terus berupaya meredam potensi pembengkakan anggaran kompensasi dan subsidi energi yang tahun ini diprediksi mencapai Rp 650 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengungkapkan bahwa anggaran subsidi serta kompensasi tetap naik, meski pemerintah sudah mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan solar pada Sabtu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun kenaikan harga itu, kata Febrio, lebih kecil dibanding jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi. "Kalau (harga BBM) tidak naik, anggaran subsidi bisa makin bengkak menjadi Rp 698 triliun sampai akhir tahun," ujarnya, kemarin.
Febrio menjelaskan, tambahan anggaran subsidi dan kompensasi ada kemungkinan dipenuhi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun depan, dengan skema pembayaran carry over kompensasi kepada PT Pertamina (Persero). Defisit anggaran tahun ini, ia melanjutkan, juga masih sesuai dengan proyeksi awal, yaitu 3,92 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Dia memastikan pemerintah akan mengupayakan seluruh daya yang dimiliki untuk mengendalikan anggaran agar tidak jebol lebih dalam. Adapun tambahan utang atau pembiayaan sejauh ini tak muncul sebagai salah satu opsi.
"Dalam kondisi sekarang, kami bisa handle dan kelola bersama-sama, gotong royong, serta semakin berkeadilan, juga agar subsidi dan kompensasi ini tepat sasaran,” katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penghitungan anggaran subsidi dan kompensasi energi pada 2022 masih akan terus dilakukan, mengingat harga minyak mentah atau Indonesian crude price (ICP) masih terus bergerak naik-turun.
Sebelumnya, melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, pemerintah menaikkan anggaran kompensasi dan subsidi energi menjadi tiga kali lipat. Dalam hal ini, kenaikan subsidi untuk BBM dan elpiji dari Rp 77,5 triliun ke Rp 149,4 triliun, serta untuk listrik dari Rp 56,5 triliun ke Rp 59,6 triliun.
Kemudian kompensasi untuk BBM dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 252,5 triliun dan kompensasi untuk listrik dari semula Rp 0 menjadi Rp 41 triliun. Dengan demikian, total subsidi dan kompensasi untuk BBM, elpiji, dan listrik mencapai Rp 502,4 triliun.
"Angka Rp 502,4 triliun itu dihitung berdasarkan rata-rata ICP yang bisa mencapai US$ 105 per barel dengan kurs Rp 14.700 per dolar AS," ujar Sri Mulyani. Adapun berdasarkan hitungan terbaru, volume Pertalite diperkirakan mencapai 29 juta kiloliter dan volume solar bersubsidi 17,44 juta kiloliter.
Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 25 Agustus 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sri Mulyani merinci angka subsidi masih berpotensi membengkak menjadi Rp 653 triliun jika harga ICP sampai akhir tahun rata-rata US$ 99 per barel. Berikutnya, kenaikan subsidi dapat juga menjadi Rp 640 triliun jika harga ICP sebesar US$ 85 per barel.
"Kenaikan Rp 137 triliun atau Rp 151 triliun itu tergantung harga ICP, dan perkembangannya akan terus kami monitor karena suasana geopolitik serta proyeksi ekonomi dunia masih sangat dinamis," ucapnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM pada kenyataannya tetap tak sebanding dengan kebutuhan anggaran subsidi energi yang masih rawan jebol. "Pemerintah seperti ambil gampangnya saja dengan menaikkan harga BBM. Kesalahan dalam pengelolaan dan pengawasan malah dibebankan ke masyarakat," ujarnya.
Padahal, menurut dia, untuk mengatasi pembengkakan subsidi dan kompensasi energi, pemerintah seharusnya lebih dulu melakukan pembatasan dan pengawasan ketat dalam penyaluran BBM. Pasalnya, saat ini penikmat subsidi energi dinilai masih tidak tepat sasaran, dengan lebih dari 70 persen subsidi dinikmati masyarakat yang tidak berhak.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menambahkan, opsi lain yang sebenarnya dimiliki pemerintah adalah melakukan realokasi anggaran untuk pos-pos anggaran yang tidak mendesak. Misalnya, proyek-proyek infrastruktur yang masih bisa ditunda pembangunannya. "Opsi lainnya adalah pembatasan pembelian langsung kepada yang memang berhak menerimanya. Jika itu semua dilakukan, APBN kita sanggup menanggung subsidi BBM."
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo