Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Suku Bunga Rendah Pendorong Pemulihan

Tingkat suku bunga dipertahankan selama tingkat inflasi tetap terjaga.

 

11 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bank Indonesia menetapkan suku bunga acuan tetap di level 3,5 persen.

  • Tingkat inflasi yang masih terjaga rendah menjadi alasan bank sentral tak mengubah tingkat suku bunga acuan.

  • Suku bunga rendah diharapkan dapat membantu proses pemulihan ekonomi.

JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan tingkat suku bunga acuan bank sentral masih akan dipertahankan di level 3,5 persen hingga ada tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental. “Kami memperkirakan kenaikan tingkat inflasi baru terjadi pada 2023. Sampai saat ini, inflasi masih berada di kisaran 2,18 persen atau relatif terjaga dari target 3 plus-minus 1 persen,” ujar Perry, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penetapan tingkat suku bunga yang cukup rendah tersebut, menurut Perry, merupakan bagian dari kebijakan moneter yang dirancang agar akomodatif untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi. Termasuk di tengah lonjakan angka kasus Covid-19 varian Omicron. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perry mengatakan ada empat alasan yang menguatkan proyeksi tingkat inflasi masih akan tetap terkendali sepanjang 2022. Pertama, kenaikan permintaan tahun ini masih bisa dipenuhi oleh kapasitas produksi nasional. Kedua, ekspektasi peningkatan inflasi di publik masih terjaga. Ketiga, nilai tukar rupiah yang bergerak stabil sehingga kenaikan harga-harga barang atau komoditas internasional tidak tertransmisikan ke dalam negeri.

Adapun alasan keempat ialah bank sentral bersama pemerintah pusat dan daerah terus berupaya mengendalikan inflasi, khususnya terkait dengan harga bahan pangan. “Inflasi rendah inilah yang menjadi dasar bagi kami dalam merumuskan kebijakan suku bunga.”

Keputusan mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen itu diambil dalam rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia edisi Februari, kemarin. Tingkat suku bunga di level tersebut dipertahankan sejak setahun lalu. Kebijakan itu pun tetap diambil di tengah potensi percepatan tapering off dan kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (The Fed).

Adapun pada tahun ini, Bank Indonesia memprediksi The Fed setidaknya akan mengerek suku bunga kebijakannya sebanyak empat kali. Kebijakan peningkatan suku bunga ini akan dimulai pada akhir kuartal I atau pada Maret mendatang.

Aktivitas transaksi perbankan di kantor Bank Mandiri cabang Patra Jasa, Jakarta, 2021. TEMPO/Tony Hartawan

“Kami perkirakan ada peningkatan masing-masing sebesar 25 basis point atau mungkin juga pada Maret 2022 sebesar 50 basis point, kemudian naik lagi pada Juni dan September,” kata Perry. Dia tak menampik normalisasi kebijakan moneter Amerika akan berdampak pada perekonomian Indonesia.

Kenaikan imbal hasil atau yield surat utang pemerintah Amerika juga akan mempengaruhi peningkatan yield surat berharga negara (SBN), yang kemudian berdampak pada pergerakan aliran modal asing. Namun Perry yakin dampaknya kali ini akan lebih terbatas. “Hal itu seiring dengan fundamental perekonomian Indonesia yang lebih kuat dan pemulihan ekonomi yang masih terus berjalan.”

Kondisi fundamental yang kokoh itu, menurut Perry, tecermin dalam data-data indikator perekonomian pada awal tahun ini, seperti Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur, keyakinan konsumen, dan penjualan eceran. Dengan demikian, bank sentral memprediksi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini diperkirakan mencapai 4,7-5,5 persen, didukung oleh percepatan vaksinasi dan stimulus kebijakan pemerintah.

Ekonom makroekonomi dan pasar keuangan dari LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, berujar suku bunga acuan masih perlu dipertahankan rendah, terlebih di tengah lonjakan angka kasus Covid-19 varian Omicron. “Beberapa indikator ekonomi masih menunjukkan pertumbuhan yang progresif sehingga membutuhkan dukungan kebijakan moneter yang longgar,” ucapnya.

Di sisi lain, volatilitas nilai tukar rupiah juga perlu dijaga akibat peningkatan ketidakpastian perekonomian global. Hal ini kian menguatkan alasan bank sentral untuk tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuannya di level saat ini.

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menilai, jika harus melakukan pengetatan dari sisi moneter, bank sentral diprediksi akan menempuh normalisasi kebijakan non-suku bunga lebih dulu. “Hal ini menimbang proses pemulihan ekonomi masih berjalan. Apalagi saat ini varian Omicron kembali mendorong kenaikan level PPKM, sehingga proses pemulihan ekonomi terancam terhambat.”

GHOIDA RAHMAH

Baca Juga:

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus