Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengosongkan Tangki, Mengerek Harga Sawit Petani

Harga sawit petani masih rendah meski keran ekspor CPO telah dibuka. Pemerintah mengatasinya dengan kebijakan flush-out CPO.

16 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Harga buah sawit segar petani masih di bawah Rp 2.000 per kilogram.

  • Pabrik kelapa sawit beralasan tangki penyimpanan mereka masih penuh.

  • Kebijakan DMO dan DPO dituding sebagai biang keladinya.

JAKARTA – Pekan keempat sejak pemerintah membuka kembali keran ekspor minyak kelapa sawit mentah alias CPO dan produk turunannya, harga tandan buah segar sawit petani tidak kunjung membaik. Harga buah sawit segar petani masih bertengger di bawah Rp 2.000 per kilogram. Bahkan, berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), buah sawit petani swadaya di Kabupaten Musi Banyuasin hanya dihargai Rp 1.400 per kilogram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Harga malah semakin turun. Anggota kami sudah mengeluh semua,” ujar Sekretaris Jenderal SPKS, Mansuetus Darto, kepada Tempo, kemarin. Harga itu, menurut dia, sudah kembali ke posisi dua tahun yang lalu. Padahal, sebelum adanya larangan ekspor, harga buah sawit petani bisa di atas Rp 3.000 per kilogram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Bidang Organisasi dan Anggota SPKS, Sabarudin, mengatakan, di tengah harga yang masih rendah, beberapa pabrik di wilayah cakupan organisasinya juga membatasi pembelian tandan buah segar (TBS) petani sawit swadaya dengan alasan tangki penuh. “Perusahaan beralasan masih kesulitan untuk ekspor karena regulasi terbaru Kementerian Perdagangan,” kata dia.

SPKS memperkirakan rendahnya harga TBS tersebut akan mempengaruhi produktivitas petani. Musababnya, ketika harga sawit petani rendah, harga pupuk justru membubung. Kelompok petani itu mencatat harga pupuk saat ini naik 50-70 persen. Harga pupuk NPK, misalnya, saat ini sudah dibanderol Rp 540 ribu per sak, pupuk urea Rp 520 ribu per sak, dan pupuk KCL Rp 930 ribu per sak.

“Kalau petani mengurangi dosis pupuk, misalnya dari 1,5 kilogram per pokok menjadi 1 kilogram per pokok, akan terjadi penurunan produksi, dari sebelumnya 1 ton per panen per hektare per bulan menjadi 600 kilogram,” kata Ridwan, petani sawit swadaya di Desa Belutu, Kabupaten Siak, Riau.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, menyebutkan harga sawit yang rendah tidak hanya dialami petani swadaya, tapi juga petani yang bermitra dengan perusahaan. Untuk para petani yang bermitra, TBS dihargai Rp 2.100-2.150 per kilogram. “Ini masih jauh dari harga sebelum ekspor dilarang, yang sebesar Rp 4.500 per kilogram,” ujarnya.

Gulat menduga rendahnya harga sawit petani disebabkan oleh ekspor yang belum berjalan normal, meskipun pemerintah sudah mencanangkan kebijakan percepatan atau flush-out. Ia mengatakan kebijakan itu tidak bakal efektif selama ekspor masih dibatasi melalui kebijakan wajib pasok dalam negeri (DMO) dan harga wajib domestik (DPO).

Karena itu, Gulat menyarankan agar kebijakan itu dihapus sementara untuk memperlancar ekspor. Sedangkan harga minyak goreng curah di dalam negeri disarankan dijaga dengan subsidi dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. “Paling tidak sampai situasi normal sehingga flush-out terjadi. Supaya tangki di PKS (pabrik kelapa sawit) tersedot refinery, dan refinery bisa mengekspor produk yang telah diolah,” ujar Gulat.

Warga antre membeli minyak goreng curah dalam program Distribusi Minyak Goreng HET di Pasar Senen Blok III, Jakarta, 17 Maret 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Kebijakan Flush-out CPO

Pemerintah sebelumnya mencanangkan percepatan ekspor dengan melakukan flush-out atau pengosongan tangki minyak sawit yang penuh. “Dengan mekanisme flush-out ini, pemerintah menargetkan minimal 1 juta ton CPO dapat diekspor dalam waktu dekat,” kata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, 10 Juni lalu.

Kala itu, ia menjelaskan, jika tangki-tangki yang penuh itu cepat dikosongkan, permintaan terhadap TBS petani dapat meningkat. Jika permintaan naik, harga TBS di tingkat petani akan naik. Pemerintah, kata Luhut, menargetkan harga tandan buah segar sawit dapat naik dari Rp 2.000 per kilogram menjadi di atas Rp 2.500-3.200 per kilogram.

Ihwal mekanisme flush-out, Luhut menyampaikan pemerintah memberikan kesempatan kepada eksportir CPO yang tidak tergabung dalam Sistem Informasi Minyak Goreng Curah alias Simirah untuk melakukan ekspor. “Namun syaratnya membayar biaya tambahan sebesar US$ 200 per ton kepada pemerintah. Biaya ini di luar pungutan ekspor dan biaya keluar yang berlaku,” kata Luhut.

Ketika dimintai konfirmasi mengenai dampak kebijakan tersebut, kemarin, Luhut mengklaim harga TBS sudah mulai naik. Namun ia tidak merinci data harga yang dimilikinya. Luhut mengatakan memang dibutuhkan waktu untuk mencapai target dari upaya tersebut. “Kalau sekarang audit sudah jalan, ekspor akan jalan 3 juta ton. Kan, kalau tangki kosong, dia harus beli dari petani, sehingga petani bisa menjual dengan mekanisme pasar.”

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, mengatakan kegiatan ekspor saat ini sebenarnya sudah mulai berjalan, tapi belum normal. Karena itu, ucap dia, harga TBS petani juga belum membaik. Ia berharap program flush-out bisa mempercepat aliran ekspor. “Yang sudah tercapai 1 juta ton, sekarang sedang proses pengajuan PE (persetujuan ekspor). Bulan ini seharusnya sudah mulai jalan untuk ekspor flush-out.”

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia, Sahat Sinaga, yakin harga sawit petani segera naik begitu ekspor berjalan normal. “Sabar sedikit, bulan ini akan mulai naik ke Rp 2.500 per kilogram, bahkan lebih,” ujarnya. Ia pun menyatakan akan mendorong anggota asosiasinya mulai menggerakkan pasokan agar tangki di pabrik-pabrik kelapa sawit segera kosong dan penyerapan buah petani berjalan seperti sedia kala.

Akibat Perencanaan Kebijakan yang Tidak Matang

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengingatkan bahwa, apabila kebijakan bergonta-ganti tapi tujuan tidak tercapai, kebijakan tersebut bermasalah. Ia menilai sengkarut di industri sawit ini terjadi karena rancangan kebijakan yang tidak matang. Perencanaan yang baik, menurut dia, seharusnya memitigasi semua risiko kegagalan.

“Selain itu, bisa perencanaannya terburu-buru dan masalah yang sebenarnya tidak terdefinisikan dengan baik,” ujar Yeka. Lesunya harga sawit petani, menurut dia, merupakan salah satu dampak dari kebijakan pemerintah yang luput mengantisipasi hal tersebut. Ia mengingatkan bahwa, dalam bisnis, para pelaku selalu memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan.

Pekerja melakukan pengisian Crude Palm Oil (CPO) yang telah diolah menjadi minyak goreng di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Dalam situasi larangan ekspor, misalnya, jika tidak bisa mengalir keluar, pasokan akan berlimpah. Ketika stok berlimpah, penyerapan sawit petani terbatas dan harga buah tertekan. Ketika ekspor dibuka dan pasokan belum keluar sepenuhnya, harga TBS belum bisa naik. “Apakah benar stok tersebut ada? Saya tidak bisa memastikan. Yang jelas, ada cerita yang bisa digunakan untuk menekan harga sawit,” kata Yeka.

Ke depan, Yeka meminta pemerintah mengambil kebijakan yang sesuai dengan sumber masalahnya. Pada kasus minyak goreng, masalah utamanya adalah harga tingkat konsumen yang melambung karena terkerek harga CPO dunia. Untuk itu, solusi pun harus diambil di tingkat konsumen, bukan produsen. “Solusinya adalah menata kebijakan di hilir, yaitu menurunkan harga minyak goreng di tingkat konsumen tanpa mengganggu tatanan bisnis yang sudah terbangun,” ujar dia.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, mengatakan pemerintah harus segera mengoptimalkan kebijakan flush-out. Di sisi lain, kebijakan DMO dan DPO pun harus ditinjau lagi. Musababnya, dengan target DMO 300 ribu ton per bulan dan rasio ekspor adalah 1 : 5, volume yang boleh diekspor hanya 1,5 juta ton per bulan.

Sementara itu, produksi minyak sawit domestik bisa mencapai sekitar 4 juta ton per bulan. Tungkot berujar, volume ekspor pada masa normal sekitar 3 juta ton per bulan. “Akan selalu ada yang tertumpuk di tangki penyimpanan. Akibatnya, CPO baru tak tertampung, dan TBS petani dibeli dengan harga murah. Jadi, penyebabnya adalah DMO dan DPO,” ujar Tungkot.

CAESAR AKBAR | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus