Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Tren pergerakan barang yang menanjak karena surplus neraca perdagangan tidak diimbangi dengan ketersediaan peti kemas. Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA), Carmelita Hartoto, mengatakan sebetulnya kontainer yang sempat terjebak di sejumlah pelabuhan hub internasional selama masa pembatasan mobilitas akibat pandemi Covid-19 sudah kembali terdistribusi secara bertahap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, hingga saat ini, jumlah peti kemas yang sudah kembali beredar tak sebanding dengan lonjakan permintaan jasa pengiriman. “Tingkat ketersediaan kontainer memang membaik karena kongesti (fenomena penumpukan) di pelabuhan berangsur cair, tapi masih ada wilayah yang kekurangan (peti kemas),” katanya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang akhir 2020, arus perdagangan dunia sempat tersendat oleh pembatasan akses keluar-masuk antarnegara. Hambatan distribusi tersebut saat itu menyebabkan ribuan kontainer kosong menumpuk di berbagai pelabuhan hub global, seperti di Singapura dan Amerika Serikat. Hingga akhir tahun lalu, perusahaan pelayaran dari Indonesia masih berebut giliran dengan operator asal negara tetangga yang juga menunggu pemulangan peti kemas kosong.
Sebelumnya, Carmelita menyebutkan stok peti kemas yang beredar di Indonesia turun separuh dari kondisi normal. Peti kemas yang beredar selama pandemi pun mayoritas kontainer ukuran 20 kaki yang jarang dipakai. Sedangkan untuk kebutuhan ekspor-impor, biasanya memakai kontainer berukuran 40 kaki.
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Akibat hal itu, Carmelita menjelaskan, tak sedikit perusahaan pelayaran yang beroperasi dengan kapasitas kargo seadanya. Padahal perdagangan Indonesia tengah bergairah karena tingginya permintaan komoditas non-migas. “Penyedia pelayaran tramper (kapal angkut) akan menyesuaikan kapasitas dengan carter (pesanan) konsumen.”
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, menyebutkan ketersediaan kontainer pada saat ini sebetulnya sudah lebih memadai dibanding situasi pada tahun lalu. Namun dia mempersoalkan masih tingginya biaya angkut (freight cost). “Dibanding negara tetangga, misalnya Vietnam, biaya pelabuhan di Indonesia juga tinggi,” ucap dia, kemarin.
Pada Agustus tahun lalu, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) melaporkan bahwa harga layanan ekspor sempat meroket karena minimnya peti kemas berukuran 40 kaki. Tarif pengiriman Jakarta-Miami, AS, yang normalnya US$ 11-12 ribu, terus naik menjadi US$ 17-20 ribu. Hal ini dianggap menyulitkan eksportir level kecil dan menengah.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan porsi biaya logistik masih berkisar 23,5 persen dari produk domestik bruto. Sebanyak 2,8 persen dari komposisi itu terkait dengan operasionalisasi moda laut dan kepelabuhanan. “Belum ada perubahan signifikan dari masa pandemi, beban logistik kita masih yang tertinggi dibanding negara lain di Asia Tenggara.”
Adapun Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk, Bani Maulana Mulia, mengklaim entitasnya masih bisa memenuhi kebutuhan peti kemas sesuai dengan permintaan pelanggan. Meski jumlah peti kemasnya tak dirinci, dia menyebut perusahaan bisa melayani 1,5-2 juta TEUs kargo per tahun. “Kami juga membeli kontainer baru yang dibuat di Cina,” ucap dia. “Secara bertahap kami terima dan langsung dioperasikan.”
YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo