Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Biaya Tinggi Produk Substitusi

Proyek perdana gasifikasi batu bara akan dimulai melibatkan dua perusahaan pelat merah. Tingginya risiko membikin alot pembahasan skema kerja sama. 

28 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Skema final tak kunjung tercapai jelang dimulainya kerja sama gasifikasi batu bara yang melibatkan PT Bukit Asam Tbk dan PT Pertamina (Persero).

  • Pemerintah mendorong gasifikasi batu bara untuk mengurangi impor, tapi proyeknya dianggap tak ekonomis.

  • Subsidi lagi-lagi jadi opsi menutup harga tinggi produk substitusi.

KERJA sama itu segera diteken pekan ini. Tapi, hingga pekan lalu, ketika agenda penandatanganan makin dekat dalam hitungan hari, tiga lakon utamanya belum juga mencapai kesepakatan. “Konsep kerja sama masih dibahas masing-masing pihak. Kami mengkaji opsi-opsi, plus-minusnya, termasuk risiko di sisi midstream ataupun downstream,” kata juru bicara PT Pertamina (Persero), Heppy Wulansari, Kamis, 26 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain Pertamina, pihak-pihak tersebut adalah PT Bukit Asam (Persero) Tbk dan Air Products and Chemicals Inc. Mereka sedianya akan berkolaborasi menggarap proyek gasifikasi batu bara untuk menghasilkan dimetil eter (DME). Produk hasil pengolahan ini digadang-gadang bakal menggantikan elpiji, yang saat ini sebanyak 75 persen dari total kebutuhan dalam negeri harus diimpor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua perusahaan milik negara, Bukit Asam (PTBA) dan Pertamina, akan menggenapi proyek ini dari sisi hulu dan hilir. Adapun Air Products, perusahaan yang berkantor pusat di Pennsylvania, Amerika Serikat, merupakan pemilik teknologi gasifikasi setelah mengakuisisi paten milik Shell pada 2018. Di Indonesia, Air Products dikenal sebagai pemasok utama teknologi dan peralatan gas alam cair (LNG) dalam 20 tahun terakhir. Perusahaan itu memiliki tiga pabrik gas di Merak, Banten; Cikarang, Jawa Barat; dan Gresik, Jawa Timur.

Bila tak ada aral melintang, ketiganya akan mengikat janji dalam penandatanganan proyek pemanfaatan batu bara yang diagendakan berlangsung secara virtual, Senin, 30 November mendatang. Rencananya, hanya ada satu perjanjian kerja sama yang ditandatangani ketiga pihak sekaligus.

Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin mengatakan ketiga perusahaan sedianya akan membentuk badan usaha patungan (joint venture). PTBA menjadi pemasok batu bara berkalori rendah ke pabrik synthetic natural gas (syngas) sekaligus menyediakan lahan dan kawasan layanan yang dibutuhkan dalam pengembangan proyek gasifikasi.

Air Products, selaku pemilik teknologi gasifikasi, juga akan bertindak sebagai investor. Mereka akan membangun pabrik untuk mengkonversi batu bara menjadi syngas yang kemudian diolah lagi menjadi produk akhir berupa dimetil eter. Sedangkan Pertamina akan menjadi pembeli alias offtaker produk untuk dijadikan substitusi elpiji. Penggantian yang dimaksudkan tidak langsung 100 persen, melainkan berupa DME 20-25 alias mencampurkan DME cair sebanyak 20-25 persen ke elpiji.

Total investasi untuk merealisasi proyek ini mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 32 triliun. Investasi awal akan dilakoni sepenuhnya oleh Air Products dengan rencana permulaan masa konstruksi pada triwulan I atau II 2021. “PTBA dan Pertamina diberi kesempatan menjadi shareholder, yakni satu tahun setelah proyek beroperasi secara komersial (COD+1),” ucap Arviyan.

Namun konsep kerja sama itu rupanya tak menyenangkan semua pihak. Seorang petinggi Pertamina yang mengikuti pembahasan proyek ini mengungkapkan, perusahaan minyak dan gas nasional itu belum sreg. Pertamina, dia menjelaskan, sebenarnya hanya ingin menjadi penyerap atau pengambil produk, tidak terlibat dalam proyek pabrik pengolahan, apalagi menjadi pemegang saham. “Kompetensi perusahaan ada di bisnis elpiji, bukan di batu bara,” tuturnya.

Masalah lain juga masih mengganjal Pertamina: harga DME. Lembaga riset keuangan energi internasional, Institute for Energy Economics and Financial Analysis, mengalkulasi pembangunan fasilitas produksi DME tidak ekonomis dan tak masuk akal. Dengan total biaya produksi US$ 470 per ton, harga DME hampir dua kali lipat biaya yang konsumen keluarkan untuk membeli elpiji saat ini. Walhasil, pembangunan fasilitas produksi DME diprediksi membikin tekor US$ 377 juta atau sekitar Rp 5 triliun per tahun.

Gara-gara masalah harga produk yang bakal lebih mahal inilah antara lain yang membuat direksi Pertamina maju-mundur, tak kunjung mengeluarkan keputusan mengenai rencana kerja sama gasifikasi batu bara. Karena itu, petinggi Pertamina tadi bercerita, dalam perjanjian yang akan diteken ketiga perusahaan pekan ini, ada kemungkinan bakal tertera kondisi preseden (condition precedent)—istilah legal yang menunjukkan adanya kondisi tertentu sebelum kewajiban para pihak dalam kontrak kerja sama diberlakukan. “Jadi ada klausul ‘if’. Artinya, jika kondisi atau prasyarat terpenuhi, perjanjian akan dilanjutkan. Dan sebaliknya,” ujarnya.

Sinyal tegas posisi Pertamina terhadap proyek ini juga telah dilontarkan dewan komisaris kepada direksi. Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama, misalnya, mengatakan perusahaan hanya akan menjadi pengambil atau offtaker produk. Dewan pengawas juga hanya mengizinkan pembelian sesuai dengan kebutuhan agar tidak berlebihan. Syarat lain yang harus dipenuhi: sesuai dengan harga pasar, tidak lebih. “Bisa dicek ke direksi. Pengarahan kami jelas, hanya membeli sebatas kebutuhan dan dengan harga pasar,” katanya, Kamis, 26 November lalu.

Heppy Wulansari membenarkan adanya beberapa alternatif peran Pertamina dalam rencana proyek ini, yakni sebagai offtaker atau toller. Pertamina terus menganalisis biaya untuk memastikan harga di tingkat pengguna akhir. “Agar harga DME dapat memenuhi keekonomian dan terjangkau konsumen,” tuturnya. Pada saat yang sama, menurut Heppy, Pertamina kini tengah mengevaluasi penawaran serupa dari produsen batu bara nasional lain yang mengembangkan proyek sejenis untuk mendapatkan penawaran paling ideal.

•••

UPAYA mempercepat pengolahan batu bara bolak-balik didengungkan Presiden Joko Widodo. Terakhir kali Jokowi kembali bersuara tentang hal ini ketika membuka rapat terbatas mengenai percepatan peningkatan nilai tambah batu bara di Istana Bogor, Jawa Barat, 23 Oktober lalu. Dia meminta proses penghiliran di dalam negeri dipercepat untuk menekan impor elpiji. “DME, yang sangat penting, sebagai substitusi elpiji,” ucapnya.

Setahun sebelumnya, hal yang sama disampaikan ketika Jokowi meresmikan pembukaan Kompas 100 CEO Forum, 28 November 2019. Kala itu, dia mengkritik tata niaga batu bara. “Kenapa terus-menerus yang namanya batu bara ini diekspor dalam bentuk raw material?”

Di Istana Bogor, Jokowi hakulyakin penghiliran batu bara akan menekan kebutuhan bahan baku impor sektor lain, seperti industri baja dan petrokimia. Proses ini diyakini bermanfaat bagi peningkatan nilai tambah komoditas mentah batu bara yang selama ini langsung diekspor ke luar negeri.

Karena itu, Jokowi meminta rencana penghiliran batu bara dipercepat. Dia memerintahkan para pembantunya menyusun peta jalan berisi strategi dan target produk turunan apa saja yang akan dihasilkan dalam penghiliran, termasuk potensi volume produksi, perhitungan kebutuhan industri sebagai pasar, dan peluang penerapan teknologi ramah lingkungan. “Pastikan wilayah yang memiliki cadangan batu bara yang cukup untuk menjamin pasokan dalam proses hilirisasi ini,” tuturnya.

Proses penandatanganan proyek Coal to Methanol antara PT Bakrie Capital Indonesia, PT Ithaca Resources, dan Air Product secara virtual pada Mei 2020. Foto: Twitter

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto memperkirakan gasifikasi batu bara bisa menghemat devisa hingga Rp 14 triliun. Perhitungan potensi penghematan ini berasal dari dua proyek gasifikasi batu bara menjadi DME. Bukit Asam akan memulainya di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Satu lagi, Grup Bakrie juga berancang-ancang menggarap gasifikasi batu bara di Batuta Coal Industrial Park, Kutai Timur, Kalimantan Timur. “Penghematan devisa dari proyek DME di Sumatera Selatan oleh PTBA bisa Rp 8,7 triliun. Sedangkan di Batuta tergantung harga metanol, tapi diperkirakan US$ 300-350 juta (sekitar Rp 5 triliun),” kata Septian, 27 Oktober lalu.

Rencana kerja sama PTBA, Pertamina, dan Air Products juga bukan barang baru. Ketiga perusahaan menggagasnya sejak dua tahun lalu dengan meneken kerja sama gasifikasi batu bara menjadi DME dan syngas di Allentown, Amerika Serikat, pada 7 November 2018. Penandatanganan dilakukan oleh Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, dan Chairman, President, & CEO Air Products Seifi Ghasemi. Rini Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara saat itu, ikut menyaksikan seremoninya.

Proyek ini sejak awal dianggap akan menyelesaikan banyak persoalan. Selain akan menghasilkan produk substitusi elpiji, gasifikasi menjadi jawaban bagi batu bara berkalori rendah yang harganya murah dan kurang diminati pasar. DME juga digembar-gemborkan sebagai solusi bagi masalah tambang batu bara, yang masih menyimpan cadangan miliaran ton tapi kerap kesulitan memperoleh pembiayaan perbankan karena dinilai tak ramah lingkungan.

Area tambang batu bara milik PT Bukit Asam Tbk di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Foto: Dok. PTBA

Semula proyek DME ini dirancang berada di mulut tambang batu bara milik PTBA di Peranap, Riau. Tapi, setahun kemudian, perusahaan mengalihkannya ke Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Keputusan ini diambil berdasarkan hasil studi kelayakan yang dilakukan PTBA dan Air Products di kedua lokasi pada November 2019.

Kala itu, Arviyan menjelaskan bahwa Tanjung Enim lebih layak dibanding Peranap, baik dari segi investasi maupun ketersediaan infrastruktur. Batal menjadi lokasi proyek gasifikasi, tambang di Peranap berlanjut menjadi lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau I. “Biaya operasional di Tanjung Enim jauh lebih efisien. Batu bara yang dibutuhkan pun sedikit karena kadar kalori lebih baik dibanding di Peranap.”

PTBA bahkan berencana mendesain empat kompleks pabrik di kawasan Bukit Asam Coal Based Special Economic Zone untuk mendukung program penghiliran tersebut. Nantinya akan ada kompleks pabrik coal to syngas, pabrik syngas to urea, pabrik syngas to DME, dan pabrik syngas to polypropylene.

Itu sebabnya, selain merangkul Pertamina, proyek ini akan menggandeng PT Pupuk Indonesia (Persero) dan PT Chandra Asri Petrochemicals—perusahaan petrokimia Grup Barito milik Prajogo Pangestu. Pencanangan kompleks penghiliran tersebut digelar di Tanjung Enim, Maret 2019, disaksikan jajaran menteri terkait saat itu, seperti Menteri Rini Soemarno, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, serta Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto—kini Menteri Koordinator Perekonomian.

•••

MASALAH harga DME bukannya tak diketahui pemerintah. Namun pembahasan soal ini belum juga kelar ketika kerja sama proyek perdana yang melibatkan dua perusahaan pelat merah akan diteken sebentar lagi.

Direktur Bina Program Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Muhammad Wafid Agung mengungkapkan, pemerintah sedang membahas aspek keekonomian program gasifikasi batu bara ini. Pembahasan itu mencakup kemungkinan menggelontorkan subsidi seperti yang diminta Pertamina.

Pemerintah, kata dia, terus mengkaji asumsi yang digunakan dan berbagai opsi yang memungkinkan untuk meniadakan subsidi tambahan. Kajian itu memperhatikan aspek hilir yang menjadi perhatian Pertamina, sisi hulu yang diperankan PTBA sebagai pemasok batu bara, serta fee atas proses gasifikasi yang dilakoni Air Products. “Kuncinya di harga DME. Kalau DME tinggi, berarti ada kemungkinan perlu subsidi,” ucap Wafid, Kamis, 26 November lalu.

Anggota staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengatakan Kementerian Keuangan sedang membahas kemungkinan memberikan insentif. Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 128A, yang mengatur ulang Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pemerintah dapat memberikan perlakuan khusus atas kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen.

Namun iming-iming ini agaknya belum cukup meyakinkan penambang batu bara. Gara-gara harga dan ketidakpastian pasar produk gasifikasi juga, para kontraktor tambang yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) kini berharap pemanfaatan batu bara untuk pembangkit listrik mulut tambang bisa dianggap sebagai peningkatan nilai tambah.  

Pandangan pemerhati industri tambang pun terbelah mengenai proyek gasifikasi batu bara. Pengamat hukum pertambangan dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, mengatakan penghiliran batu bara dalam jangka pendek memang akan menghadapi masalah harga. Namun, untuk jangka panjang, kegiatan peningkatan nilai tambah ini bakal dapat memanfaatkan batu bara kalori rendah yang selama ini belum berkembang. Selain itu, dia mengingatkan, penghiliran punya efek berganda untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. “Juga mengurangi degradasi pengurasan batu bara yang saat ini hanya menjadi bisnis keruk, angkut, dan jual,” ujarnya.

Mantan Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi, Simon Sembiring, melihat sebaliknya. Sejak awal dia menilai gasifikasi yang ditujukan untuk produk pengganti elpiji ini tak masuk akal. “Bagaimana membuat produk substitusi yang malah jauh lebih mahal? It does not make sense,” tuturnya. “Ini program genit-genitan saja.”

RETNO SULISTYOWATI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus