Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah ekonom menilai pemerintah masih bisa menunda rencana kenaikan harga energi bersubsidi.
Jika tergesa-gesa, dampaknya tak sebanding dengan penghematan yang diincar.
Kenaikan inflasi berbahaya bagi daya beli masyarakat.
JAKARTA – Sejumlah ekonom menilai pemerintah masih bisa menunda rencana kenaikan harga energi bersubsidi. Jika tergesa-gesa, dampaknya tak sebanding dengan penghematan yang diincar. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia, Mohammad Faisal, menyatakan kenaikan harga barang bersubsidi akan membuat inflasi melambung.
Jika harga bahan bakar minyak jenis Pertamax dan pajak pertambahan nilai (PPN) naik secara bersamaan, Mohammad menghitung terdapat potensi tambahan inflasi sebesar 1 persen. “Kalau elpiji, Pertalite, dan listrik ikut naik juga, kami perkirakan bisa lebih dari 2 persen tambahannya,” kata dia saat dihubungi Tempo, kemarin.
Dengan estimasi tersebut, inflasi tahun ini diperkirakan berada di kisaran 5 persen. Angka tersebut jauh di atas kondisi saat masa pandemi, yang berada di kisaran 1 persen. Bahkan, pada 2019, inflasi tercatat hanya 2,7 persen. Dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, pemerintah menetapkan inflasi sebesar 3 persen.
Untuk menghindari kenaikan inflasi, dia menyebutkan, masih ada strategi lain guna menghadapi kenaikan subsidi. Salah satunya dengan memanfaatkan tambahan penerimaan negara dari kenaikan harga komoditas saat ini. “Surplus penerimaan bisa dialokasikan untuk menambah subsidi, bantuan sosial, dan lainnya. Tinggal kebijakan pemerintah,” tuturnya.
Petugas melayani pengisian bahan bakar Pertalite di SPBU Pertamina di Kuningan, Jakarta, 1 April 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, tambahan pendapatan negara berpotensi mencapai Rp 111 triliun hingga akhir tahun, dengan lonjakan harga minyak mentah dunia rata-rata di atas US$ 100 per barel. Angka tersebut berasal dari sensitivitas sebesar Rp 3 triliun setiap US$ 1 kenaikan harga minyak mentah dibanding asumsi Indonesian crude price (ICP) dalam APBN 2022 yang sebesar US$ 63 per barel.
Dengan tambahan pendapatan itu, Bhima berujar, pemerintah bisa menambal beban subsidi yang bakal membengkak. Merujuk pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, total subsidi energi bisa melonjak dari Rp 134 triliun menjadi Rp 320 triliun karena laju kenaikan harga minyak mentah dunia. Penyebabnya, asumsi ICP dalam APBN hanya di kisaran US$ 63 per barel. Selain itu, harga barang-barang subsidi, terutama energi, seperti elpiji, BBM, dan listrik, tidak kunjung dinaikkan dalam waktu lama.
Namun Bhima mengingatkan bahwa kenaikan harga energi bersubsidi saat ini bakal memicu inflasi. Sebab, harga barang lain, seperti pangan dan bahan bakar lainnya, juga sedang mengalami kenaikan. Dia mengestimasi inflasi tahunan sebesar 5-6 persen.
Perkiraan inflasi yang dihitung Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Indef, Nailul Huda, lebih rendah. Dia menyatakan inflasi tahunan bisa mencapai 3,5-4 persen jika kenaikan subsidi energi dilakukan berbarengan. “Ini bahaya bagi daya beli masyarakat,” ujarnya. Pada ujungnya, keuangan negara harus menanggung potensi penurunan penerimaan perpajakan karena konsumsi tertahan.
Warga mengisi pulsa listrik di rumah susun di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mengurangi beban subsidi, pemerintah disarankan mengalokasikan ulang anggaran yang belum mendesak, seperti proyek pemindahan ibu kota negara. Kalaupun tetap harus dibangun, Kepala Pusat Kajian Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef, Abra Tallatov, mengusulkan agar proyek tersebut diserahkan kepada Indonesia Investment Authority yang bertugas menarik investasi. “Diarahkan saja ke sana, jangan menggunakan dana APBN,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, menyatakan pemerintah perlu mengatur waktu implementasi kenaikan harga barang subsidi jika tetap berkeras menaikkan harga. Penyesuaian pertama bisa dimulai dengan menaikkan tarif listrik, elpiji bersubsidi, baru kemudian Pertalite dengan memperhatikan rentang waktu yang cukup agar masyarakat bisa mempersiapkan diri. Selain itu, perlu dipastikan penyaluran subsidi ini tepat sasaran.
Kalau kenaikan harga tetap dipaksakan, dia meminta Presiden Joko Widodo langsung yang mengumumkan kepada masyarakat. Dalam kesempatan tersebut, kepala negara harus terbuka menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Dengan begitu, agenda berbagi beban bisa dipahami masyarakat. “Presiden harus berani ngomong seperti saat mengumumkan soal ibu kota negara,” katanya.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo