Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penerapan insentif gas industri satu harga terhambat pasokan yang terbatas.
Penyerapan gas industri di sisi hilir juga masih rendah karena banyak industri belum sepenuhnya pulih.
Kementerian Perindustrian masih mengkaji dampak penerapan gas industri satu harga.
JAKARTA — Penyaluran gas dengan harga khusus untuk industri (gas industri satu harga) masih mengalami sejumlah kendala. Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, menyebutkan salah satu persoalan krusial adalah keterbatasan pasokan, khususnya di wilayah Jawa bagian timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Febri, pasokan di kawasan tersebut hanya bisa dicukupi hingga 60 persen dari nilai kontrak setiap harinya. Pasalnya, produktivitas sumur-sumur tua penyuplai gas bumi di sekitar Jawa bagian timur mulai menurun. Tahun lalu, pemerintah berencana menambah stok dari proyek Jambaran Tiung Biru, Bojonegoro. Namun rencana produksi lapangan gas berkapasitas 192 juta kaki kubik per hari tersebut mundur dari target pada kuartal III 2021 menjadi pada kuartal II 2022 akibat pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan harian, para pelaku industri harus membeli gas dengan harga pasar. "Hal ini menambah beban biaya produksi bagi industri yang sedang berusaha bangkit setelah dihantam pandemi Covid-19 dua tahun ini," kata Febri saat dihubungi, kemarin.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, pemerintah menjaga harga gas untuk industri tertentu sebesar US$ 6 per million British thermal unit (MMBTU). Menurut Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi, Yustinus Gunawan, selisihnya dengan harga pasar cukup tinggi. Harganya dimulai dari kisaran US$ 8 per MMBTU.
Petugas memeriksa alat pengukur distribusi 'Compressed Natural Gas (CNG)' di lokasi fasilitas penyimpanan gas alam di Tambak Lorok, Semarang, Jawa Tengah. ANTARA/R. Rekotomo
Saat pasokan gas yang tersedia tidak sesuai dengan kontrak penyaluran, pelaku usaha penerima insentif terpaksa menambal kekurangan volume dengan mencari gas di pasar. "Dibela-belain agar volume produksi bisa semaksimal mungkin, khususnya untuk memenuhi permintaan ekspor yang bisa menambah devisa dan penyerapan tenaga kerja," tuturnya.
Yustinus berharap kendala ini bisa terselesaikan lantaran insentif harga gas yang mulai berlaku sejak April 2020 ini membantu meningkatkan kapasitas produksi. Saat ini terdapat tujuh industri yang menikmati harga gas khusus, yaitu pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Menurut catatannya, rata-rata utilitas dari para penerima manfaat pada 2021 sudah meningkat mendekati realisasi sebelum masa pandemi. "Trennya meningkat pada kuartal pertama 2022, tapi agak terhambat karena pasokan kurang dari hulu, khususnya di Jawa bagian timur," kata dia.
Kendala pasokan menjadi salah satu pemicu pemanfaatan insentif gas industri belum optimal. Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat sepanjang 2021 penyerapan gas oleh industri tertentu hanya 85 persen dari alokasi sebesar 1.235,1 billion British thermal unit per day (BBTUD).
Menurut Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas, Arief Setiawan Handoko, realisasi tersebut juga dipengaruhi permintaan dari sektor hilir. "Dari hilir, penyerapan agak berkurang karena masih periode pandemi, kebutuhan gas industri belum naik signifikan," ujarnya, beberapa waktu lalu.
Terlepas dari kendala penyaluran gas berharga khusus ini, pemerintah tengah mempertimbangkan untuk menambah penerima manfaatnya. Kementerian Perindustrian mengusulkan 15 industri baru sebagai penerima insentif sejak tahun lalu. Total terdapat 109 perusahaan yang diharapkan mendapat harga khusus dengan total volume 189 BBTUD.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Ignatius Warsito, menyatakan usul tersebut sedang dibahas dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, serta Sekretariat Kabinet. Dari 15 sektor tersebut, tersisa dua yang belum dibahas. Sementara itu, dari 13 sektor industri yang sudah dikaji, tiga di antaranya belum mendapat restu sebagai penerima manfaat.
Sembari menanti keputusan, Kementerian Perindustrian mengkaji dampak penerapan gas industri satu harga ini. "Tujuannya untuk mengetahui efek berganda dari pemberlakuan harga gas bumi tertentu ini. Khususnya dalam peningkatan daya saing, penciptaan lapangan kerja, dan keuntungan lain baik secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat," kata Ignatius.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menyarankan agar pemerintah menunggu kajian tersebut sebelum memulai perluasan program gas industri satu harga. Selain menghitung dampaknya terhadap industri penerima dan keuangan negara, dia berharap ada perhitungan mengenai pengaruh kebijakan ini ke industri hulu dan tengah gas Indonesia. Dengan penjualan harga gas untuk industri di bawah harga pasar, investor di hulu dan tengah migas perlu menyesuaikan keuntungan mereka. "Ini bisa membuat iklim investasi terganggu," tuturnya. Hal lain yang juga perlu dikaji adalah penyebab penyerapan gas yang belum optimal.
VINDRY FLORENTIN
Baca Juga:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo