Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Tentu Cuan Akibat Lesu Permintaan

Penguatan nilai tukar dolar biasanya disambut para eksportir, karena mereka berpotensi mendapat untung lebih. Situasi tersebut tak mereka rasakan kali ini. 

6 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Penguatan nilai tukar dolar terhadap rupiah tidak serta-merta membuat para pelaku ekspor panen cuan. Musababnya, mereka juga dihadapkan dengan gangguan pasar di tengah krisis global yang terjadi saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Dari kaca mata sebagai eksportir, kami sangat senang dengan naiknya nilai dolar, karena kami jualan dengan dolar. Namun saat ini terjadi penurunan order besar-besaran, jadi kami juga kurang dapat dolar," ujar Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Heru Prasetyo, kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, depresiasi rupiah yang terjadi saat ini tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan penurunan pesanan yang terjadi belakangan ini. "Kondisi ini menguntungkan kalau kami kebanjiran order," ujarnya.

Menyitir data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, kurs rupiah terhadap dolar AS berada di Rp 15.196 pada 5 Oktober 2022 atau melemah 6,4 persen dibanding kurs 3 Januari 2022, yang berada di level Rp 14.270 per dolar AS. Sementara itu, HIMKI mencatat penurunan pesanan furnitur pada semester II 2022 ini bisa mencapai 30 persen.

Pras--panggilan akrab Heru--mengatakan saat ini hampir 60 persen ekspor perabot dari Indonesia ditujukan ke Amerika Serikat. Dengan adanya gonjang-ganjing ekonomi di sana, otomatis penjualan mebel dan kerajinan pun ikut terimbas. hanya pasar furnitur kelas atas--yang porsinya 15 persen dari ekspor perabot nasional--yang permintaannya masih stabil.

Untungnya, kata dia, bahan baku produksi untuk industri furnitur di Tanah Air berasal dari dalam negeri, sehingga tidak terkena tekanan dari selisih kurs. "Jika kita fokuskan ekspor di furnitur, akan sangat bagus buat nilai mata uang kita, beda dengan tekstil dan sepatu yang bahan bakunya impor," ujar dia.

Dengan lesunya pasar Amerika dan Eropa, Pras mengatakan, para pelaku industri furnitur tengah berupaya mengalihkan ekspor ke pasar Asia dan Australia, serta mengembangkan penjualan di dalam negeri. "Tapi ini perlu waktu lama. Peran pemerintah pun dibutuhkan untuk membantu promosi."

Adapun Ketua Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia, Redma Gita Wirawasta, mengatakan menguatnya dolar biasanya bisa memberikan tekanan terhadap industri tekstil dan garmen apabila situasi pasar sedang normal. Namun, kini, depresiasi rupiah tak begitu berpengaruh bagi industri sandang. Musababnya, saat ini industri kain dan pakaian juga tengah mengalami perlambatan.

Redma menuturkan, beberapa produsen sudah menurunkan utilisasi produksi hingga 30-40 persen, bahkan merumahkan pegawai. "Hal ini terjadi karena pasar ekspor yang turun dan pasar domestik yang diserbu barang impor," ujar dia. "Jadi, kondisi rupiah saat ini tidak terlalu berpengaruh, karena ekspor sedang slow down dan pembelian bahan baku juga minim."

Pekerja perkebunan sawit di Pekanbaru, Riau, 27 April 2022. REUTERS/Willy Kurniawan

Dibayangi Fluktuasi Harga Komoditas 

Hal berbeda dirasakan industri sawit. Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kelapa Sawit Indonesia, Eddy Martono, mengatakan depresiasi rupiah berimbas pada naiknya harga lokal. "Kenapa harga lokal naik? Karena eksportir dibayar dengan dolar, waktu dikonversi ke rupiah jadi lebih banyak terima rupiahnya," ujar dia.

Pada saat yang sama, permintaan sawit di pasar global juga masih normal. Hanya, industri ini masih dibayang-bayangi fluktuasi harga komoditas. Pada pekan lalu, Gapki mencatat harga minyak sawit mentah berdasarkan Bursa Rotterdam adalah US$ 1.000-1.100 per metrik ton. Namun, belakangan, harga tersebut berada di kisaran US$ 880-980 per metrik ton. "Kalau harapan pelaku usaha, pasti harga tinggi. Tapi harga US$ 1.300-1.400 sudah cukup bagus," ujar Eddy.

Secara garis besar, menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia Toto Dirgantoro, depresiasi rupiah tak melulu menguntungkan para pelaku usaha ekspor. Musababnya, di balik kuatnya dolar itu ada ancaman krisis global dan kebijakan pengetatan likuiditas oleh bank sentral berbagai negara. "Dolar tinggi belum tentu menguntungkan eksportir. Kami lebih senang yang stabil," Kata Toto.

Alih-alih menambah keuntungan dari selisih kurs dari transaksi valuta asing, Toto justru khawatir depresiasi rupiah akan membebani industri manufaktur yang masih banyak menyerap bahan baku impor. Karena itu, ia mengatakan perlu ada solusi dari pemerintah untuk bisa menyokong lini usaha berorientasi ekspor, salah satunya dengan berbagai relaksasi yang menghambat ekspor. "Ini supaya (industri) bisa tetap survive."

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan nilai pada neraca perdagangan tidak akan terlalu terimbas pelemahan rupiah. Alasannya, nilai ekspor yang didapatkan akan semakin besar karena pelemahan rupiah, begitu pula dengan nilai impor yang akan semakin tinggi. Masalahnya, ekspor Indonesia masih didominasi komoditas yang bergantung pada pergerakan harga di pasar internasional.

Josua memperkirakan harga komoditas berpotensi semakin tertekan sejalan dengan ekspektasi resesi ekonomi global yang akan menurunkan permintaan komoditas. Sementara itu, impor Indonesia didominasi oleh bahan baku yang akan terus meningkat sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional. "Dengan demikian, ada potensi surplus perdagangan ke depan akan menyempit dibanding level saat ini," ujar dia.

Di sisi lain, pelemahan nilai tukar juga berpotensi menurunkan minat investasi lantaran cukup banyak barang modal yang masih harus diimpor dari luar negeri, sehingga penanaman modal akan menjadi lebih mahal. Dengan perspektif kondisi makroekonomi tersebut, Josua memperkirakan sektor-sektor yang akan diuntungkan oleh pelemahan rupiah ke depan adalah sektor-sektor yang masih mengandalkan ekspor, misalnya pertambangan batu bara dan CPO.

"Sementara itu, sektor-sektor yang diperkirakan akan terkena dampak dari adanya pelemahan rupiah adalah industri yang mengandalkan bahan baku impor, misalnya makanan dan minuman, terutama yang banyak bahan baku impor seperti gandum, gula, dan kedelai. Sektor lain yang juga perlu waspada adalah farmasi, elektronik dan barang elektrikal, serta tekstil," ujar Josua.

CAESAR AKBAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus