Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Para pelaku usaha pariwisata tetap mendesak pemerintah membatalkan rencana kenaikan tarif tiket Pulau Komodo. Pasalnya, hingga saat ini pemerintah menyatakan hanya akan menunda penerapan tarif baru itu sampai 31 Desember 2022. Artinya, tarif masuk Taman Nasional Komodo dan Pulau Padar akan dibanderol sesuai dengan rencana, yakni Rp 3,75 juta, pada 1 Januari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami maunya pembatalan, bukan penundaan," ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo), Pauline Suharno, kepada Tempo, kemarin, 9 Agustus 2022. Ia mengatakan, pengenaan tarif Rp 3,75 juta untuk satu tahun sangat tidak realistis untuk diterapkan. Karena itu, ia meminta agar rencana itu dikaji ulang. "Siapa yang bakal bolak-balik ke Pulau Komodo berkali-kali dalam setahun?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan tinjauan Astindo, Pauline mengatakan, selama ini tidak ada turis yang mengunjungi Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo berkali-kali dalam rentang waktu singkat, kecuali para pelaku pariwisata lokal. Di sisi lain, kenaikan tarif ini justru memicu banyaknya pembatalan kunjungan wisatawan ke sana. "Menurut asosiasi di Labuan Bajo, (pembatalan) mencapai ribuan," kata dia.
Pauline pun menyoroti pemerintah yang menjadikan konservasi sebagai alasan kenaikan tarif tersebut. Menurut dia, trekking di Pulau Komodo hanya menggunakan lahan seluas 2-3 hektare dari luas pulau yang mencapai 30 ribu hektare. Dengan demikian, semestinya aktivitas pariwisata tidak terlalu mengganggu habitat dan lingkungan Pulau Komodo secara keseluruhan.
"Konservasi alam bukan hanya dengan menaikkan harga tiket atau menutup suatu area, tapi memerlukan program jangka panjang dengan mengedukasi masyarakat, pengunjung, menggunakan teknologi ramah lingkungan, dan lain sebagainya," ujar dia.
Senada dengan Pauline, pelaku biro perjalanan wisata di Labuan Bajo, Ervis Budisetiawan, mengatakan para pelaku usaha wisata akan tetap menyuarakan dua poin penolakan. Pertama, ihwal kebijakan penyerahan pengelolaan zona eksklusivitas kepada PT Flobamor. Menurut dia, berdasarkan rancangan saat ini, perusahaan tersebut akan mengambil penuh peran yang selama ini dijalankan oleh pelaku usaha biro perjalanan wisata setempat.
Kedua, penolakan yang terus disuarakan juga berkaitan dengan penetapan biaya masuk Taman Nasional Komodo. "Kalau kebijakan ini tetap dipaksakan untuk diterapkan, kami tetap berharap bahwa nilainya tidak lebih dari Rp 1,5 juta per orang untuk wisatawan mancanegara dan tidak lebih dari Rp 500 ribu per orang untuk wisatawan domestik," tuturnya.
Ervis mengatakan para pelaku usaha setempat akan terus memperjuangkan suara mereka agar pemerintah tetap memikirkan dampak bagi perekonomian daerah. Salah satu upaya yang juga dilakukan adalah berdiskusi bersama para pemangku kepentingan dan pemerintah daerah.
Untuk saat ini, kata Ervis, penundaan penerapan tarif baru itu memang bisa membuat pasar kunjungan wisata ke Labuan Bajo bergeliat kembali. Hanya, ia waswas dinamika kembali terjadi pada awal tahun depan. "Untuk 2023, saya yakin kebijakan ini akan menurunkan minat orang berkunjung ke sini. Investasi besar melalui pembangunan infrastruktur akan mubazir."
Pemerintah Menunda Tarif Baru Taman Nasional Komodo
Sebelumnya, pemerintah mengumumkan penundaan penerapan tarif baru Taman Nasional Komodo hingga 31 Desember 2022. Dengan demikian, harga tiket masuk taman nasional tersebut kembali ke asal, yakni untuk wisatawan Nusantara mulai dari Rp 5.000 per orang pada Senin-Sabtu dan Rp 7.500 per orang untuk Minggu dan hari libur nasional. Sementara itu, wisatawan mancanegara dikenakan harga tiket mulai dari Rp 150 ribu per orang pada Senin-Sabtu dan Rp 225 ribu per orang pada Minggu dan hari libur nasional.
Dengan adanya penundaan tersebut, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, selama lima bulan ke depan Kementerian akan memastikan komunikasi dengan masyarakat berjalan baik. "Agar masyarakat betul-betul mengerti kebijakan yang seharusnya berpihak kepada kesejahteraan masyarakat," kata dia.
Sandiaga mengklaim pemerintah terus membuka ruang diskusi publik guna menampung aspirasi masyarakat. Ia berharap upaya konservasi dan pemulihan ekonomi bisa dilakukan secara beriringan. Namun, ia menjelaskan, skema pemberlakuan tarif bukan ranah kementeriannya. Pasalnya, fungsi kementeriannya, kata Sandiaga, hanya memberi koordinasi dan komunikasi. Sedangkan TN Komodo berada di bawah lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Provinsi NTT.
"Kami dilibatkan dalam rangka diseminasi dari keputusan yang diambil untuk memastikan Labuan Bajo menjadi destinasi super-prioritas," ucap Sandiaga. Destinasi super-prioritas yang ia maksudkan adalah memiliki daya tarik wisata, pelayanan, dan kemampuan infrastruktur untuk menampung kunjungan wisatawan secara aman dan nyaman.
Pulau Rinca, di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, 2019. TEMPO/Subekti
Sandiaga menyebutkan 1,1 juta wisatawan dapat ditampung dengan adanya bandara baru. Namun, karena ada tujuan konservasi, kapasitas wisatawan di Pulau Komodo dan Pulau Padar akan berkurang sampai 200 ribu lebih. Menurut dia, pembatasan tetap harus diimplementasikan agar habitat dan kelangsungan hidup komodo terjaga.
Ia juga mengusulkan agar wisatawan bisa datang ke kawasan wisata lain di NTT, seperti Pulau Rinca, Gua Batu Cermin, Water Front, hingga desa wisata Wae Rebo. "Ini yang sedang kami kembangkan, sehingga travel pattern ke depan akan mendistribusikan wisatawan mancanegara maupun Nusantara di kawasan tersebut," ucap Sandiaga.
Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Vinsensius Jemadu, mengatakan pihaknya telah dua kali berdialog bersama pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif yang sempat berdemonstrasi akibat kenaikan harga tiket masuk TN Komodo. Diskusi tersebut dilakukan di Labuan Bajo pada 4 dan 8 Agustus 2022.
Ia berujar, tiket masuk TN Komodo tetap mengacu pada PP Nomor 12 Tahun 2014. Tarif baru itu nantinya dialokasikan untuk PNBP (penerimaan negara bukan pajak), PAD (pendapatan asli daerah), fasilitas, dan biaya konservasi. Sejumlah lembaga terkait juga akan bersama-sama menyusun mekanisme, pelaksanaan, dan tim pelaksana komunikasi publik sebelum tarif baru itu diberlakukan.
Penundaan penerapan tarif anyar tersebut juga dikonfirmasi oleh Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Zet Sony Libing. Namun ia menegaskan bahwa mulai 1 Januari 2023 tarif tiket Pulau Komodo dan Pulau Padar akan tetap naik. "Tetap akan berlaku harga konservasi sebesar Rp 3,75 juta per orang," ujar Zet. Ia berjanji Pemerintah Provinsi akan memberi sosialisasi lebih lanjut perihal kenaikan tarif itu kepada semua pihak.
Wisatawan berkunjung di Pulau Rinca, Kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Tempo/Tony Hartawan
Tarif Baru Memberatkan Wisatawan
Pemerhati pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman, Chusmeru, mengingatkan bahwa kenaikan harga tiket masuk Taman Nasional Komodo, yang rencananya menjadi Rp 3,75 juta per orang, terlampau tinggi. Sehingga kebijakan tersebut bisa memberatkan wisatawan kelas menengah ke bawah. Imbasnya, angka kunjungan wisata ke destinasi super-prioritas itu pun akan turun dan mengganggu perputaran ekonomi daerah setempat.
Menurut Chusmeru, konservasi memang diperlukan untuk menjaga kelestarian habitat komodo. Namun biayanya jangan dibebankan sepenuhnya kepada wisatawan. "Semestinya pemerintah dan pengelola taman nasional memiliki alokasi anggaran untuk konservasi komodo," ujar dia. Chusmeru menyebutkan bahwa hal yang diperlukan wisatawan adalah edukasi kesadaran untuk berperilaku di destinasi wisata agar komodo tetap terjaga lestari.
Chusmeru pun sepakat dengan permintaan agar pemerintah membatalkan kenaikan harga tiket tersebut. Musababnya, industri pariwisata, termasuk di NTT, baru saja akan bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19 selama dua tahun. Karena itu, menurut dia, pemerintah seharusnya tidak membuat kebijakan yang justru menghambat pemulihan industri pariwisata Tanah Air.
Chusmeru juga menyarankan agar pemerintah berdiskusi dengan para pemangku kepentingan pariwisata di Taman Nasional Komodo agar mendapatkan solusi yang diterima semua pihak. Misalnya, agar konservasi dan pembatasan jumlah pengunjung dapat dilakukan tanpa kenaikan harga tiket yang terlalu mahal. Ia mengatakan batas kepatutan harga tiket itu pun harus dibicarakan bersama.
"Prinsipnya, industri pariwisata semestinya mampu membuat ekosistem lestari dan masyarakat sejahtera. Sehingga tidak memunculkan kesan kenaikan harga tiket Pulau Komodo yang tinggi itu sebagai kapitalisasi ekosistem, kapitalisasi sumber daya alam, dan komersialisasi komodo untuk kepentingan pariwisata dengan dalih konservasi," tutur Chusmeru.
CAESAR AKBAR | RIANI SANUSI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo