Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berharap Percepatan Peremajaan Sawit

Porsi dana untuk peremajaan sawit rakyat masih jauh lebih rendah dibanding insentif untuk biodiesel.

6 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Program peremajaan sawit masih terhambat karena peraturan yang terus berubah.

  • Petani yang ingin mengikuti program peremajaan sawit harus mendapat rekomendasi dari Kementerian Agraria.

  • Namun tak banyak petani yang mampu mengurus persyaratan tersebut.

JAKARTA – Asosiasi petani kelapa sawit berharap pemerintah mempercepat peremajaan sawit rakyat, khususnya di lahan-lahan milik petani swadaya. Program ini mendesak karena para petani sawit mulai memasuki generasi kedua dan produktivitasnya sangat rendah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Gulat Manurung, menuturkan saat ini terdapat 2,27 juta hektare kebun milik petani swadaya yang membutuhkan peremajaan. Perkebunan yang dikelola para petani tersebut memiliki rata-rata produktivitas 400-600 kilogram tandan buah segar per hektare per bulan. "Padahal idealnya 2,5 ton per hektare," ujarnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Gulat, program peremajaan sawit masih terhambat karena alasan yang sama dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya peraturan yang terus berubah. Tahun ini, petani yang ingin mengikuti program peremajaan sawit harus mendapat rekomendasi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Gulat menyatakan tak banyak petani yang mampu mengurus persyaratan tersebut.

Selain itu, saat ini banyak petani yang berusaha di lahan yang terindikasi sebagai kawasan hutan. "Sementara syarat utama peremajaan sawit rakyat itu harus di luar kawasan hutan," kata dia. Gulat berharap pemerintah segera membantu penyelesaian legalitas kebun-kebun petani yang berada di kawasan hutan.

Ketua Umum Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesia, Pahala Sibuea, menuturkan kondisi perkebunan yang ada di dalam kawasan hutan juga berakibat pada pendanaan. Petani tersebut tak bisa mendapat akses pendanaan dari bank.

Pahala menyatakan para petani membutuhkan pendampingan agar bisa ikut serta dalam program peremajaan sawit pemerintah. Dia mencatat, hingga saat ini masih banyak petani yang belum mampu memenuhi persyaratannya. Ia mencontohkan, masih ada petani swadaya yang belum membentuk kelembagaan seperti kelompok tani. "Petani swadaya kebanyakan egonya masih agak tinggi, merasa bisa melakukannya sendiri, padahal program pemerintah mengharuskan adanya kelembagaan," ujarnya.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdhalifah Machmud. Ekon.go.id

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdhalifah Machmud, menuturkan pemerintah masih berkomitmen menjalankan program peremajaan sawit rakyat. "Alokasi dana untuk program itu tetap targetnya untuk 180 ribu hektare dengan bantuan Rp 30 juta per hektare," ujarnya. Dia menuturkan alokasi dana tersebut sudah naik dari sebelumnya Rp 25 juta per hektare. Dana tersebut berasal dari pungutan ekspor CPO dan produk turunannya yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Namun Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik, mengatakan hampir semua dana itu mengalir untuk subsidi biodiesel. Dari total penerimaan pungutan ekspor sebesar Rp 47,23 triliun per Desember 2019, misalnya, BPDPKS menyalurkan Rp 33,6 triliun. Untuk kebutuhan peremajaan sawit rakyat, jumlahnya hanya Rp 2,3 triliun, sementara buat insentif biodiesel Rp 29,2 triliun. "Petani susah mendapat akses dana yang proporsinya memang sudah kecil," ujarnya.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Joko Supriyono, menuturkan para pengusaha juga berupaya merangkul petani swadaya. Selama ini, perusahaan banyak bekerja sama dengan petani menggunakan skema inti plasma. Adapun dengan para petani swadaya, dia ingin menawarkan skema yang lebih variatif. "Skema kemitraan ini macam-macam, mulai dari yang paling sederhana sampai yang kompleks. Kami menawarkan mana yang paling dimaui," ujarnya.

Joko mencontohkan, kerja sama yang paling sederhana bisa berupa pendampingan hingga pelatihan untuk menjalankan perkebunan dengan baik. Sedangkan kemitraan yang kompleks dapat berupa pembiayaan jangka panjang. "Dana BPDPKS yang Rp 30 juta per hektare mungkin hanya cukup untuk tanam sampai tahun pertama, sementara sawit baru menghasilkan pada tahun keempat," kata dia. Selama periode tersebut, bahkan hingga kebun kelapa sawit menghasilkan, petani membutuhkan modal yang besar.

VINDRY FLORENTIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus