Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Musabab Banjirnya Produk Cina di Tanah Air

Produk lokal kalah dalam hal kualitas dan harga dari produk Cina. Indonesia gagal meningkatkan kapasitas produksi nasional.   

29 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Karena adanya perjanjian perdagangan bebas, tarif impor produk Cina hanya 0-5 persen.

  • Skala ekonomi industri di Cina jauh lebih besar dan didukung ongkos produksi yang sangat rendah.

  • Pemerintah akan berfokus melakukan modernisasi di sisi produksi.

JAKARTA - Banjir produk impor asal Cina menjadi salah satu pemicu pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PPMSE). Aturan itu antara lain mengatur batasan-batasan kegiatan pada social commerce, seperti TikTok Shop, juga soal perdagangan produk impor di e-commerce.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Informasi yang diterima Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menyebutkan 74 persen produk yang dijual oleh PPMSE atau e-commerce berasal dari impor. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun menunjukkan perdagangan lintas batas pada 2019 terjadi di lokapasar atau marketplace digital. Sebanyak 98,71 persen dari barang kiriman impor tersebut bernilai di bawah US$ 75.

Buah dari Perjanjian Perdagangan Bebas

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan salah satu penyebab banyaknya produk impor dari Cina masuk ke Indonesia adalah minimnya hambatan tarif masuk yang hanya 0-5 persen. Padahal hambatan tarif akan membuat harga barang impor lebih mahal.

Minimnya tarif penghambat tersebut disebabkan oleh perjanjian area perdagangan bebas ASEAN dan Cina yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2005. “Jadi soal impor itu sudah lama, tapi tren digitalisasi dan e-commerce membuat produk impor semakin murah dan mudah dijangkau,” ujar Faisal kepada Tempo, kemarin. Tren perdagangan digital ini pun semakin marak gara-gara pandemi Covid-19 lantaran mobilitas masyarakat terbatas untuk menjangkau pasar fisik. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Faisal mengatakan kebijakan hambatan tarif dan nontarif sejatinya diperlukan untuk memberi tameng agar produk domestik tidak benar-benar bersaing langsung dengan produk impor karena dipastikan bakal kalah. Alasannya, harga produk Cina lebih murah ketimbang produk lokal karena skala ekonomi industri Cina yang lebih besar dan didukung ongkos produksi yang sangat murah karena adanya insentif dari pemerintah setempat.

“Dari biaya energi yang lebih murah, logistik yang lebih efisien, teknologi produksi dan ongkos buruh ditekan, lalu ditambah berbagai insentif pajak dan nonpajak,” ujar Faisal. Berbagai faktor tersebut menyebabkan barang yang diproduksi di Cina harganya sangat murah, bahkan pada tingkat konsumen eceran di negara tujuan ekspor.

Sejumlah tas buatan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dari Tasikmalaya dipamerkan dalam Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2023 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, 27 Juli 2023. TEMPO/Tony Hartawan


Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, sepakat bahwa produk UMKM susah bersaing dengan barang impor lantaran harganya lebih tinggi. Harga tinggi itu timbul karena persoalan bahan baku yang lebih mahal hingga adanya biaya-biaya administrasi dan perpajakan.   

“Kalau di Cina, kan, ongkos ekspor negara dinihilkan karena nanti kalau ada penjualan, mereka bayar pajak. Kalau di Indonesia, semua sudah dikenai pajak dan biaya logistik juga biasanya sudah mahal,” ujar dia. Contoh paling hangat soal kalah saingnya produsen lokal adalah pada industri konfeksi menjelang Pemilihan Umum 2024. 

Hermawati melihat pesanan yang masuk ke para pengusaha konfeksi tidak sebesar pemilu-pemilu sebelumnya. Informasi yang diperoleh Akumandiri, salah satu penyebabnya adalah karena para kontestan memesan langsung atribut kampanye ke Cina yang harganya miring.

“Di sini kaus tipis buat kampanye Rp 13 ribu per potong, di Cina cuma Rp 6.000 per potong.”

Karena itu, ia mengatakan, para pemangku kepentingan harus turun tangan mengarusutamakan produk lokal. Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah juga harus bergerak meningkatkan daya saing produk UMKM, misalnya dengan melakukan edukasi hingga memfasilitasi transformasi digital.

Sebagian besar pelaku UMKM, menurut Hermawati, masih belum memahami teknologi. Karena itu, banyak pelaku usaha yang menjerit belakangan ini muncul dari pasar-pasar offline, seperti Pasar Tanah Abang Jakarta, Pasar Johar Semarang, serta pasar-pasar fisik lainnya.  

Pengunjung melihat produk dalam pameran produk "China Homelife Indonesia" yang diikuti sekitar 700 suplier asal Cina di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, 17 Maret 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Empat Celah Masuknya Produk Cina

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menganalisis empat celah yang menyebabkan produk Cina membanjiri Indonesia, selain karena harga jualnya yang murah. Pertama, integrasi data antara Kementerian Perdagangan dan Direktorat Jenderal Bea-Cukai belum efektif. 

“Barang yang bisa dipenuhi oleh produsen lokal seharusnya bisa dilacak dan dilakukan berbagai hambatan, misalnya masuk ke red line (jalur merah) di pelabuhan,” ujar dia.

Kedua, beberapa produk impor menggunakan sistem bulk atau curah yang menyebabkan barang-barang murah bercampur dengan barang lainnya dalam satu dokumen impor. Ketiga, pintu masuk barang impor ilegal masih terbuka lebar, seperti pada kasus masuknya baju bekas lewat pelabuhan di luar pengawasan pemerintah. Keempat, ada indikasi barang-barang impor menggunakan platform digital dengan subsidi terselubung.

Selain menutup berbagai celah tersebut, Bhima mengatakan pemerintah harus menyokong UMKM lewat subsidi bunga yang lebih rendah, misalnya KUR khusus produsen yang menjual barang di e-commerce dengan bunga hanya 0,1 persen. Selain itu, ada satu pintu program pemberdayaan UMKM oleh kementerian, lembaga, dan BUMN.

Pameran industri tekstil dan produk tekstil Indo Intertex-Inatex 2023 di Jakarta International Expo Kemayoran Jakarta, 30 Mret 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Modernisasi Proses Produksi

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyadari bahwa persoalan daya saing menjadi pangkal utama persoalan melempemnya produk domestik dalam persaingan dengan produk impor. Karena itu, kata dia, solusi jangka menengah-panjang yang disiapkan pemerintah adalah meningkatkan kualitas produk Indonesia.

“Sekarang saya dengan entrepreneur hub di Kemenkop sedang menyiapkan startup-startup baru untuk membantu UMKM di sektor produksi,” kata Teten. 

Ia mengatakan saat ini transformasi digital lebih banyak ke sisi hilir dibanding ke hulu alias produksi. Imbasnya, produksi barang-barang dalam negeri belum banyak disokong oleh teknologi dan prosesnya tidak efisien. Walhasil, daya saing pun lemah.

Untuk itu, pemerintah akan berfokus melakukan modernisasi pada sisi produksi, misalnya membantu penyediaan bahan baku, keterhubungan dengan pasar, hingga pendanaan untuk bisa mengefisienkan sisi hulu, ketimbang menambah lagi platform-platform perdagangan di sisi hilir. 

“Investasi ke platform perdagangan hanya menambah jumlah pemain (pedagang) reseller. Setelah itu, diserbu pula oleh produk Cina yang sangat murah. Habis kita,” ujar Teten.  

Kegagalan Kebijakan Berbasis Infrastruktur

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny Sasmita, menambahkan, adanya fenomena ini seharusnya membuat pemerintah melakukan introspeksi dan melihat kembali berbagai kebijakannya. Pemerintah juga harus berfokus meningkatkan kapasitas produksi nasional dari tingkat UMKM sampai korporasi. 

Kenyataannya, berbagai kebijakan berbasis infrastruktur yang digadang-gadang pemerintahan Presiden Joko Widodo malah mempermurah biaya transportasi barang-barang impor “Kapasitas produksi nasional tak disentuh oleh pemerintah,” tutur Ronny. “Lihat saja industri tekstil, nyaris gulung tikar semua. Padahal infrastruktur sudah dibangun di mana-mana.”

CAESAR AKBAR | VINDRY FLORENTIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus