Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Musabab Pelemahan Rupiah

Surplus neraca perdagangan dianggap tidak mampu membendung melemahnya nilai tukar rupiah. Salah satu penyebabnya diduga adalah devisa hasil ekspor tidak masuk Tanah Air.

15 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Surplus neraca perdagangan yang terus berlangsung tidak membendung tren depresiasi rupiah hingga saat ini. Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) mencatat kurs rupiah kemarin berada di angka 15.619 per dolar Amerika Serikat, atau melemah 9,45 persen dibanding pada awal tahun yang sebesar 14.270 per dolar AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, menduga tren pelemahan rupiah disebabkan oleh dua faktor. Pertama, fenomena strong dollar yang terus berlanjut lantaran kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, yang masih mempertahankan suku bunga acuannya di tingkat yang sangat tinggi guna mengendalikan inflasi yang masih di kisaran 9 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal November lalu, The Fed menaikkan Fed Fund Rate 75 basis point menjadi 3,75-4 persen. Dengan keputusan ini, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan 75 basis point keempat secara berturut-turut. Ini juga merupakan level suku bunga tertinggi sejak 2008.

Meski telah beberapa kali menaikkan suku bunga acuannya, Yusuf melihat The Fed masih belum akan menghentikan kebijakan pengetatan likuiditas itu pada tahun depan. Bahkan ia memperkirakan bank sentral AS masih akan mengerek naik suku bunganya lagi beberapa kali. Tingginya suku bunga acuan The Fed membuat arus modal di dalam negeri mengalir ke Amerika sehingga rupiah melemah. 

"BI (Bank Indonesia) sebenarnya telah melakukan langkah penyesuaian seiring dengan tekanan arus modal keluar dan depresiasi rupiah. Bahkan BI dengan sangat agresif menaikkan suku bunga acuannya hingga 175 basis point dalam tiga bulan terakhir," ujar Yusuf kepada Tempo, kemarin, 14 Desember 2022.

Lantaran kebijakan kenaikan suku bunga BI tersebut terlihat belum cukup menekan sentimen negatif terhadap rupiah, Yusuf lantas menduga ada faktor berikutnya yang membayangi nilai tukar: rendahnya pasokan dolar. Ia heran karena dalam 30 bulan terakhir, Indonesia selalu mencatatkan surplus neraca perdagangan.

Bahkan Indonesia diperkirakan mengalami surplus neraca perdagangan setidaknya US$ 60 miliar tahun ini. "Meski pada akhir tahun kebutuhan terhadap dolar relatif tinggi, rupiah tidak perlu melemah jika ketersediaan dolar di pasar mencukupi. Selain itu, tidak ada alasan kekeringan dolar di pasar seharusnya," kata Yusuf.

Neraca perdagangan pada November 2022 diperkirakan kembali surplus atau melanjutkan tren positif selama 30 bulan. Kendati demikian, sejumlah ekonom memperkirakan surplus neraca perdagangan pada November turun dibanding pada Oktober. Berikut ini data neraca perdagangan selama 2022 dan perkiraan untuk November 2022.

Devisa Hasil Ekspor Diperkirakan Tidak Parkir di Dalam Negeri

Karena itu, Yusuf mengatakan kekeringan dolar di pasar ketika surplus perdagangan terus terjadi hanya mungkin disebabkan oleh dua skenario. Pertama, pendapatan devisa hasil ekspor (DHE) tidak kembali ke Indonesia. Kedua, DHE sudah kembali ke Indonesia, tapi tidak dikonversi ke rupiah sehingga dolar dari ekspor tersebut tidak beredar di pasar.

"DHE tidak kembali ke Tanah Air ini masalah yang sudah lama belum terselesaikan. Salah satunya adalah sebagai implikasi dari rezim devisa bebas yang kita adopsi. Dengan rezim devisa bebas, penduduk yang memiliki devisa bebas menggunakannya untuk apa saja," kata dia.

Namun Yusuf mengingatkan bahwa upaya meningkatkan pasokan dolar di pasar valuta asing akan makin krusial ke depan karena fenomena dolar kuat belum akan selesai dalam waktu dekat. Di sisi lain, ekspor diperkirakan makin melemah seiring dengan turunnya harga komoditas dan permintaan global.

Berdasarkan data BI, cadangan devisa Indonesia cenderung menurun seiring dengan kebijakan intervensi yang dilakukan bank sentral untuk mengintervensi pasar di tengah tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Pada Januari 2022, cadangan devisa Indonesia berada di kisaran US$ 141 miliar, sedangkan pada Oktober telah berada di kisaran US$ 130 miliar atau turun sekitar US$ 11 miliar.

Rupiah Melemah karena Defisit Neraca Pembayaran

Persoalan lain yang diduga menjadi penyebab melemahnya nilai tukar rupiah dalam jangka panjang adalah defisit neraca pembayaran Indonesia. Musababnya, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, defisit tersebut menunjukkan nilai total impor dan aliran modal keluar lebih besar daripada ekspor dan aliran modal masuk. "Artinya, butuh valuta asing lebih besar dibanding yang dikonversi ke rupiah. Maka, efek defisit bisa sebabkan pelemahan kurs dalam jangka panjang," ujar dia.

Laporan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang dirilis BI beberapa waktu lalu menunjukkan NPI mengalami defisit sebesar US$ 1,3 miliar, kendati neraca transaksi berjalan mencatatkan surplus US$ 4,4 miliar. Tekanan terhadap neraca pembayaran muncul akibat tekanan pada transaksi modal dan finansial seiring dengan ketidakpastian pasar keuangan global.

Akibat ketidakpastian pasar global tersebut, kinerja transaksi modal dan finansial mencatatkan defisit sebesar US$ 6,1 miliar pada triwulan III 2022. "Aliran keluar neto investasi portofolio meningkat akibat ketidakpastian di pasar global yang makin tinggi dan kebutuhan pembayaran surat utang swasta yang jatuh tempo," demikian termaktub dalam laporan BI tersebut.

Aktivitas bongkar-muat peti kemas di Pelabuhan New Priok Container Terminal One, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan


Transaksi investasi lainnya juga mencatatkan kenaikan defisit akibat peningkatan aset swasta, terutama yang berkaitan dengan operasi kegiatan usaha. Di sisi lain, investasi langsung disebut masih cukup baik sehingga dianggap menunjukkan kepercayaan investor pada prospek perekonomian.

Ihwal dugaan-dugaan tersebut, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nawir Messi, yakin pelemahan rupiah dalam beberapa pekan ini bukan disebabkan oleh sesuatu yang fundamental. Fenomena itu disebut muncul akibat kuatnya daya tarik aset-aset keuangan Amerika karena kebijakan-kebijakan pengetatan likuiditas yang dilakukan The Fed. Akibatnya, permintaan dolar pun meningkat pesat.

"Sifatnya bukan fundamental, melainkan insidental dari kebijakan AS yang menarik orang keluar dan membeli dolar. Aset semua negara ditukar dengan surat berharga AS," kata Nawir. Namun ia tidak memungkiri bahwa Indonesia tetap memiliki masalah lantaran tidak bisa mengonversi surplus perdagangan selama 30 bulan ini menjadi kekuatan terhadap nilai tukar rupiah lantaran duit hasil ekspor itu tidak semuanya masuk ke Indonesia. Kalaupun masuk, tidak bertahan lama. "Ini harus segera dikaji agar pelaku ekspor mau menyimpan dananya di Indonesia."

Perkara terbatasnya dolar di tengah surplus neraca dagang berkepanjangan ini pun turut dicermati pemerintah. Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Rahadian Zulfadin, mengatakan pemerintah tengah berupaya membuat kebijakan agar devisa hasil ekspor bisa bertahan lebih lama di dalam negeri. "Sebab, walaupun sekarang 30 bulan surplus, masih belum bisa beri dampak pada nilai tukar," ujar dia.

Rahadian mengatakan selama ini ada indikasi bahwa nilai ekspor tidak masuk semuanya ke Indonesia, melainkan terhenti di Singapura. Ia menduga fenomena itu terjadi karena saat ini masih sedikit peluang atau opsi untuk memutar valuta asing di dalam negeri ketimbang di luar negeri.

"Kita harus melihat, misalnya kita bikin eksperimen, uang (DHE) itu masuk semua ke Indonesia, perbankan kan harus ngasih bunga. Pada saat yang sama, kita harus bertanya apakah di dalam negeri ada peluang bisnis yang membutuhkan valas. Kalau itu enggak ada, perbankan enggak punya bisnis, dia hanya terima valas dan memberikan bunga tapi tidak tahu harus disalurkan ke mana," ujar dia.

Persoalan itulah, kata Rahadian, yang kemudian ingin dicarikan solusinya oleh pemerintah. Sebab, tren surplus ini pun diperkirakan masih akan berlanjut. Sejumlah ekonom memperkirakan surplus neraca berdagangan akan memasuki bulan yang ke-31 setelah diumumkan Badan Pusat Statistik pada hari ini. Kendati demikian, para ekonom itu memperkirakan surplus tersebut akan menyusut ketimbang capaian Oktober yang tercatat sebesar US$ 5,67 miliar.

Ekonom BNI Sekuritas, Damhuri Nasution, misalnya, memperkirakan neraca perdagangan masih akan surplus, tapi capaiannya lebih rendah daripada bulan sebelumnya, yakni sebesar US$ 4,51 miliar. Menurut dia, berkurangnya surplus tersebut disebabkan oleh adanya perlambatan pertumbuhan ekspor menjadi sekitar 6,07 persen secara tahunan lantaran turunnya permintaan dari mitra-mitra dagang Indonesia. Meski demikian, impor juga melambat menjadi hanya tumbuh 2,04 persen year-on-year karena menurunnya aktivitas sektor manufaktur di dalam negeri.

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memperkirakan neraca dagang November 2022 surplus U$ 5,18 miliar, dengan kinerja ekspor diperkirakan tumbuh sekitar 10,37 persen year-on-year dan impor tumbuh 3,65 persen year-on-year. "Volume ekspor cenderung meningkat terbatas terindikasi dari peningkatan aktivitas manufaktur dari mitra dagang utama Indonesia, seperti kawasan Eropa, Tiongkok, India, dan Korea," kata dia.

CAESAR AKBAR | NOVA YUSTIKA SINAGA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus