Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nilai ekspor Indonesia terus meningkat akibat kenaikan harga komoditas.
Seharusnya surplus neraca perdagangan mendongkrak rupiah dan menaikkan pajak.
Mengapa dampaknya belum terasa?
ADA banyak kabar baik tentang ekonomi Indonesia hari-hari ini. Sumber utamanya adalah melonjaknya harga berbagai komoditas di pasar global. Dolar yang masuk dari ekspor membanjir kencang. Setidaknya kabar baik itu tampak pada statistik. Surplus neraca perdagangan Indonesia terus positif. Hingga September 2021, sudah 17 bulan berturut-turut neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus secara bulanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nilainya pun luar biasa. Tak sekadar berada di area positif, neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus di atas US$ 4 miliar per bulan pada Agustus dan September 2021. Sebelumnya, surplus neraca perdagangan bulanan di atas US$ 4 miliar hanya pernah terjadi pada puncak booming komoditas 15 tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membanjirnya penerimaan dolar, secara teoretis, jelas punya efek besar pada ekonomi. Di sisi moneter, jika berlangsung terus-menerus, surplus perdagangan yang begitu gendut otomatis bakal memangkas defisit neraca pembayaran secara signifikan.
Rentetan berikutnya, pasokan dolar yang melimpah bakal memperkuat daya tahan rupiah ketika harus menghadapi gonjang-ganjing pasar global. Saat ini pasokan likuiditas dolar kembali menjadi perkara penting lantaran pasar keuangan dunia sedang mengantisipasi perubahan kebijakan moneter bank-bank sentral negara maju. Inflasi global yang sedemikian tinggi sepertinya akan memaksa The Federal Reserve lebih cepat memulai tapering alias memangkas suntikan likuiditas ke pasar finansial.
Selain memperbaiki kondisi moneter, naiknya harga komoditas akan memperbaiki kondisi fiskal pemerintah. Penerimaan perpajakan dari korporasi berbasis komoditas bakal meningkat. Pemerintah sungguh memerlukan angin segar ini. Defisit anggaran pemerintah selama dua tahun terakhir melonjak amat tajam karena pandemi Covid-19. Saat penerimaan menurun karena ekonomi melesu, pengeluaran pemerintah justru harus melonjak demi mengatasi wabah. Tahun ini, misalnya, pemerintah menetapkan target defisit sebesar Rp 1.006 triliun.
Tambahan penerimaan perpajakan karena kenaikan harga komoditas bisa mengurangi defisit itu. Perkiraan terakhir pemerintah, pada akhir 2021 defisit anggaran hanya akan mencapai Rp 939,6 triliun. Secara rasio terhadap produk domestik bruto, proyeksi defisit akan turun menjadi 5,3-5,4 persen, lumayan jauh di bawah target awal yang sebesar 5,8 persen.
Kendati semuanya tampak baik, ada satu hal yang terkesan mengganjal. Semestinya berbagai berita positif ini sudah membuat kurs rupiah melejit. Apalagi Bank Indonesia tetap berkomitmen mendukung stabilitas moneter dengan menahan suku bunga rujukan sebesar 3,5 persen, setidaknya sampai tahun depan. Laju inflasi di dalam negeri juga sangat stabil di bawah 2 persen. Nyatanya, kurs rupiah seolah-olah enggan menguat, tetap bertahan di atas 14 ribu per dolar Amerika Serikat. Sementara itu, pada Januari 2021, kurs rupiah malah sempat bergerak di sekitar level 13 ribu, sebelum segala hal baik ini tiba.
Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah dolar hasil ekspor itu memang belum benar-benar masuk ke Indonesia. Masalah ini klasik, sudah menahun. Korporasi pemilik dolar hasil ekspor cenderung menahan sebagian besar dolarnya di luar negeri dengan berbagai alasan. Otoritas moneter pun tak punya kekuasaan mutlak untuk memaksa dolar itu dibawa pulang. Tentu tak ada manfaatnya bagi ekonomi Indonesia jika statistik mencatatkan surplus besar tapi secara riil dolarnya tetap berkelana di luar sana.
Di sisi pemerintah, bukan hal yang mudah pula meningkatkan penerimaan perpajakan dari korporasi eksportir komoditas. Pemerintah sering berada di posisi lemah saat menghadapi korporasi-korporasi eksportir komoditas yang hampir semua pemiliknya mempunyai koneksi politik amat kuat. Karena itu, apakah penerimaan perpajakan akan naik dan defisit anggaran bakal turun secara signifikan karena naiknya harga komoditas? Realisasinya masih harus kita lihat hingga akhir tahun nanti.
Untuk sementara, kabar baik itu memang baru berupa statistik dan proyeksi. Efek riilnya tak kunjung tiba.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo