Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tarif Listrik Industri Tunggu Giliran

Pemerintah diminta mulai mengkaji kenaikan tarif listrik untuk golongan bisnis dan industri nonsubsidi. Tahun depan dinilai sebagai waktu yang tepat. 

15 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Golongan bisnis dan industri nonsubsidi menikmati sekitar 67 persen dari total kompensasi listrik.

  • Pemerintah disarankan kembali menerapkan penyesuaian tarif listrik otomatis per tiga bulan.

  • Tarif listrik industri dan bisnis dinilai masih jauh dari harga keekonomian.

JAKARTA – Sejumlah kalangan meminta pemerintah mulai mengkaji kenaikan tarif listrik untuk golongan bisnis dan industri nonsubsidi. Musababnya, saat ini dua golongan tersebut menikmati sekitar 67 persen dari total kompensasi yang diberikan pemerintah. Angka tersebut dihitung dari data terbaru setelah pemerintah memutuskan menaikkan tarif listrik untuk rumah tangga dengan daya di atas 3.500 VA dan sektor pemerintahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tarif mereka (industri dan bisnis) masih jauh dari keekonomian. Makanya saya mendorong tahun depan harus ada penyesuaian untuk golongan industri dan bisnis agar beban keuangan negara tidak semakin besar," ujar Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, kepada Tempo, kemarin.

Meski begitu, Mamit menyadari bahwa kenaikan tarif itu akan ditransmisikan pada harga yang ditebus konsumen. Karena itu, kenaikan tarif disarankan memperhatikan momentum pemulihan ekonomi. Kalaupun kenaikan tarif tidak bisa menyesuaikan harga keekonomian, kata Mamit, paling tidak harus ada penyesuaian untuk mengurangi beban negara.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan penyesuaian tarif tenaga listrik triwulan III tahun 2022 atau periode Juli-September 2022. Penyesuaian tarif ini diberlakukan kepada golongan pelanggan rumah tangga berdaya mulai 3.500 VA ke atas (R2 dan R3) dan golongan pemerintah (P1, P2, dan P3) yang jumlahnya sekitar 2,5 juta atau 3 persen dari total pelanggan PT PLN (Persero).

Menurut hitungan Mamit, penyesuaian itu hanya bisa menghemat Rp 3 triliun dari biaya kompensasi pemerintah. Sementara itu, berdasarkan data pemerintah, dengan penyesuaian tersebut, potensi besaran kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah pada 2022 diperkirakan masih mencapai Rp 62,82 triliun. Dari angka anyar tersebut, sektor industri menikmati kompensasi Rp 31,95 triliun atau 50,9 persen dan bisnis Rp 10,84 triliun atau 17,3 persen. Adapun rumah tangga menikmati kompensasi Rp 18,95 triliun atau 30,2 persen dan layanan khusus Rp 1,08 triliun atau 1,7 persen.

Pembuatan tas kamera di Manggarai, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Ahli ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan penyesuaian harga yang dua hari lalu diumumkan pemerintah memang baru mengurangi kompensasi sekitar 0,5 persen. Namun, menurut dia, langkah itu logis jika melihat kondisi ekonomi, khususnya industri dan bisnis yang masih belum pulih setelah dihantam pandemi. Namun ia mewanti-wanti pemerintah untuk berani menaikkan tarif tersebut pada tahun depan apabila perekonomian terus mengalami pemulihan.

Fahmy mengatakan penyesuaian tarif itu bisa saja dikecualikan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. "Selain UMKM, bisnis dan industri pukul rata saja kenaikannya ketika mereka sudah pulih. Mungkin tahun depan bisa," ujar dia.

Untuk saat ini, menurut Fahmy, menjaga tarif bisnis dan industri dianggap cukup tepat karena pemerintah perlu menjaga laju inflasi serta momentum pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, ia meminta ke depannya pemerintah harus kembali menerapkan automatic tariff adjustment setiap tiga bulan dengan mempertimbangkan harga minyak, inflasi, kurs, dan harga batu bara. Dengan demikian, masyarakat akan terbiasa dengan penyesuaian harga yang berfluktuasi dan perubahan tarif tidak begitu signifikan. "Kalau sekarang naiknya tinggi dan mengagetkan," ujarnya.

Daya Beli Masyarakat Jadi Prioritas

Sebelumnya, Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo, menjelaskan bahwa pemerintah menghentikan penyesuaian tarif otomatis sejak 2017 guna menjaga daya beli masyarakat dan mengendalikan inflasi. Karena itu, sejak lima tahun lalu, tarif dasar listrik untuk semua golongan tidak berubah. "Konsekuensi yang timbul akibat penghentian automatic tariff adjustment, pemerintah melalui PLN sudah mengeluarkan subsidi sebesar Rp 243 triliun sejak 2017 hingga 2021. Lalu, pada 2022, kompensasi ditambah sebesar Rp 94 triliun."

Untuk saat ini, Darmawan mengatakan penyesuaian yang dilakukan masih menyasar pelanggan yang dianggap masuk golongan mampu. Pasalnya, setiap kWh listrik yang disalurkan ke rumah tangga mampu ini ada komponen bantuan pemerintah, yaitu sebesar Rp 255 per kWh. Angka tersebut dihitung dari biaya tarif listrik saat ini sebesar Rp 1.444,70 per kWh, sedangkan biaya pokok produksi dengan adanya faktor eksternal akan meningkat menjadi Rp 1,699,53 per kWh.

"Untuk rumah tangga dengan daya di bawah 3.500 VA, yaitu keluarga yang perekonomiannya memang perlu dibantu dan membutuhkan dukungan pemerintah, sebanyak 74,2 juta pelanggan tidak mengalami perubahan," ujar Darmawan. Menurut dia, belum adanya penyesuaian selain pada lima golongan yang telah diumumkan bertujuan menjaga daya beli masyarakat dan menekan laju inflasi.

Anggota Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha, menyebutkan kebijakan pemerintah ini diambil dengan niatan menekan kompensasi, tapi tetap memperhatikan ekonomi yang belum pulih. Karena itu, kenaikan tarif listrik hanya dilakukan pada lima golongan dan belum menyentuh bisnis dan industri. Ia mengakui bahwa penyesuaian tarif listrik pada Juli mendatang itu masih belum setara dengan uang yang dikeluarkan pemerintah untuk kompensasi.

Satya mengatakan, ke depan, penyesuaian untuk golongan lain bisa dilakukan secara bertahap agar bantuan yang digelontorkan pemerintah bisa lebih tepat sasaran, tapi inflasi bisa tetap terjaga. Pasalnya, merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional, subsidi listrik semestinya diberikan kepada masyarakat yang menjadi target dan tidak berbasiskan komoditas.

"Jadi, kalau memakai filosofi subsidi tepat sasaran, mereka yang berkemampuan bisa menjadi target penyesuaian. Di sini yang ditargetkan kelompok 3.500 VA ke atas, sambil benahi data di bawah itu. Karena yang di bawah itu kan rawan juga, apakah sudah berkecukupan," ujar Satya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sarman Simanjorang, meminta pemerintah mengkaji secara mendalam dan komprehensif ihwal usul kenaikan tarif listrik di kalangan dunia usaha. Musababnya, hal tersebut akan berdampak pada biaya operasional yang ujung-ujungnya akan mengerek harga berbagai produk. Kenaikan harga itu selanjutnya diperkirakan menekan daya beli masyarakat.

"Ini kan saling berkaitan. Kalau daya beli belum normal, tentu akan menekan laju pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga. Konsumsi kan menopang hampir 60 persen pertumbuhan ekonomi. Harus jadi pertimbangan karena (kenaikan tarif listrik) akan berdampak kalau momentumnya belum tepat," ujar dia.

CAESAR AKBAR
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus